| 48 Views
Badai PHK Karyawan PT Sritex, Dampak Dahsyat Dari Buruknya Sistem Kapitalisme

Oleh : Kiki Puspita
Tangis haru diawal Ramadhan menyelimuti ribuan karyawan PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex). Bagaimana tidak, PT Sritex adalah salah satu perusahan tekstil terbesar di Asia Tenggara, Namun akibat dari penerapan Sistem Kapitalisme, Pemerintah akhirnya membuat kebijakan yang memudahkan produk Cina masuk ke Indonesia.
Kemudahan produk Cina yang masuk ke Indonesia melalui ACFTA maupun UU cipta kerja menjadikan perusahaan PT Sri Rezeki Isman, akhirnya harus berhenti beroperasi pada Sabtu, 1 Maret 2025 karena mengalami pailit. UU Cipta Kerja yang kemudian diganti Perpu Cipta Kerja 2020 makin membuat Indonesia kebanjiran barang impor, hingga industri dalam negeri seperti PT Sritex ini, tak mampu bersaing. Negara juga tak mampu melindungi dan menjaga daya saing produk dalam Negeri. Akhirnya badai PHK pun tak terhindarkan.
Inilah akibat dari diterapkannya penerapan liberalisasi pasar bebas dalam Sistem Kapitalisme. Sistem ini mengakibatkan hilangnya kontrol oleh negara dalam menyediakan lapangan pekerjaan dan membuat pihak swasta mala menguasai industri dalam negeri. Akhirnya rakyatlah yang menjadi korbannya. Jakarta, CNBC Indonesia - Kurator dari Pengadilan Niaga memutuskan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex sebanyak 8.400 orang.
Jumlah karyawan Sritex yang terkena PHK, menambah daftar pengangguran di negara ini.
Meskipun mereka mendapat pesangon dari Kurator dan Jaminan hari tua dari BPJS Ketenagakerjaan, namun tidak mampu menjamin kelangsungan hidup mereka. Ketika uang yang didapat dari pesangon habis, pekerjaan tidak mereka dapatkan, melihat kebutuhan hidup sekarang yang meningkat 2 kali lipat, tentu hal ini bukanlah solusi bagi mereka untuk mendapatkan kesejahteraan hidup.
Negara berwatak populis otoriter, yang menjalankan perannya hanya sebagai regulator, yang mementingkan kepentingan para oligarki. Dalam Sistem Kufur kapitalisme ini, bahkan PT Sritex dijanjikan akan selamat jika karyawannya memilih calon tertentu, pada pemilu kemarin, namun janji tinggal janji. Sistem Kapitalisme ini terbukti tak mampu menjamin kesejahteraan masyarakatnya.
Dalam Sistem Kapitalisme ini, perekonomiannya berdiri atas asas kebebasan kepemilikan, yang melahirkan pasar bebas. Siapa yang memiliki modal besar dialah yang berkuasa dalam pasar bebas ini. Pertukaran perdagangan antarnegara yang berjalan tanpa batas dan tidak ada keharusan untuk membayar pajak (bea cukai), sehingga menjadikan negara tak mampu untuk mengontrol ekspor maupun impor.
Berbeda ketika Sistem Islam diterapkan, Negara dalam Sistem Islam akan mengelola industri dalam negeri maupun luar negeri sesuai dengan syariat Islam. Dalam syariat Islam negara akan mengelola kepemilikan umum, yang nantinya keuntungan dari pengelolaan itu akan diberikan untuk kemaslahatan masyarakat.
Negara dalam Sistem Islam akan memelihara akal dan pemikiran masyarakatnya sesuai dengan hukum syara'. Negara akan menuntun individu terutama para laki-laki untuk bekerja. Apabila dia tidak mampu, maka negara wajib mengusahakan pekerjaan untuknya. Apabila seseorang tidak mampu bekerja karena sakit, tua renta, atau karena salah satu ketidakmampuan karena cacat, maka negara akan bertanggung jawab menanggung nafkah untuknya.
Dalam Sistem Islam tidak ada istilah menganggur, negara juga akan memberi kemudahan bagi masyarakatnya untuk menjaga dan memberikan pekerja tertentu agar di garap, baik itu tanah pertanian agar mereka bekerja. Khalifah Umar bin Khaththab ra. pernah memberikan kepada para petani di Irak harta dari Baitul mal yang bisa membantu mereka untuk menggarap tanah pertanian serta memenuhi hajat hidup mereka tanpa meminta imbalan dari mereka (Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah dalam kitab An-Nizham al-Iqtishadiy fil Islam, hlm, 257).
Selain itu, kebijakan politik luar negeri dalam sistem Islam tidak akan menghilangkan peran vital negara sebagai ra‘in (pelayan dan pengurus rakyat). Perdagangan luar negeri sebagai salah satu bentuk hubungan negara dengan negara, bangsa, dan umat-umat lain semuanya harus tunduk kepada kekuasaan negara. Sehingga negara lah yang harus mengatur dan mengarahkan perdagangan tersebut secara langsung, baik perdagangan tersebut merupakan hubungan antar-individu, ekonomi, ataupun perdagangan (Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah dalam kitab An-Nizham al-Iqtishadiy fil Islam, hlm, 692).
Adapun perdagangan luar negeri Negara Khilafah dapat dibagi menjadi dua, yakni berhubungan dengan ekspor dan impor. Berkaitan dengan ekspor komoditas ke luar negeri, warga negara muslim atau kafir jimmi dilarang menjual persenjataan, sistem komunikasi, alat-alat berat dan strategis kepada negara atau perusahaan, atau kepada kafir, karena bisa jadi komoditas itu akan digunakan untuk memerangi negara dalam Sistem Islam(Khilafah). Adapun barang-barang yang tidak strategis seperti pakaian, makanan, perabotan dan lain sebagainya, maka kaum muslim atau kafir jimmi boleh menjualnya ke negara kafir. Namun jika komoditas tersebut sedikit jumlahnya maka akan membahayakan ketahanan ekonomi khilafah, khilafah pun akan melarang warganya untuk menjual ke negara kafir.
Perdagangan luar negeri dengan negara-negara kafir harbi fi’lan, yakni negara kafir yang memiliki hubungan permusuhan dan peperangan secara langsung dengan Negara Khilafah, jelas diharamkan. Terhadap negara-negara seperti ini, Khilafah tidak mengizinkan warga negara maupun perusahaan-perusahaan yang berada di dalam negara Khilafah untuk melakukan perdagangan luar negeri dengan negara kafir harbi fi’lan, apa pun komoditas dagangnya. Adapun ketentuan yang berkaitan dengan impor komoditas dari luar negeri, Khilafah akan mengizinkan kaum muslim dan kafir jimmi untuk mengimpor komoditas dari negara-negara kafir.
Terhadap kafir mu’ahid, yakni orang kafir yang negaranya menjalin perjanjian dengan Khilafah maka mereka akan diperlakukan sesuai dengan butir-butir perjanjian tersebut, baik yang menyangkut komoditas yang mereka impor dari Negara Khilafah, maupun komoditas yang mereka ekspor ke Negara Khilafah. Hanya saja, mereka tetap tidak boleh mengimpor persenjataan dan alat-alat pertahanan strategis dari Negara Khilafah. Namun, orang kafir yang membuat perjanjian dengan Khilafah (kafir mu’ahid) dibolehkan memasukkan komoditas perdagangannya ke dalam Negara Khilafah.
Terhadap negara kafir harbi fi’lan, tidak ada hubungan perdagangan dengan mereka. Yang ada hanyalah hubungan perang. Kafir harbi tidak dibolehkan masuk ke wilayah Khilafah, kecuali ada izin masuk (visa) dari negara. Jika mereka masuk tanpa visa, mereka diperlakukan sebagaimana halnya kafir harbi fi’lan, yakni harta dan jiwa mereka tidak mendapatkan perlindungan.
Demikianlah, sistem Khilafah menjamin terbukanya lapangan pekerjaan yang luas dan memadai dengan berbagai mekanisme tersebut. Sistem Khilafah juga memberikan penjelasan secara rinci terkait kebijakan eskpor impor serta hubungan dan perdagangan antarnegara. Mekanisme ini dapat berjalan tatkala penguasa menjalankan sistem kepemimpinan sesuai dengan Sistem Islam.
Wallahua'lam bisowab.