| 20 Views

Adakah Kemenangan Hakiki saat Palestina Membara di Hari Idul Fitri?

Oleh : Siti Zulaikha, S.Pd
Aktivis Muslimah dan Pegiat Literasi

1 Syawal 1446 Hijriah sebagai hari raya Idul Fitri telah berlangsung pada 30 Maret 2025 lalu. Umat Islam menyambut hari kemenangan ini dengan penuh kegembiraan dan kebahagiaan. pada hari ini dilangsungkan di berbagai negara, seperti di Arab Saudi, Qatar, UEA, Yaman, Kuwait, Lebanon, Sudan termasuk Palestina yang sedang dilanda penderitaan dengan genosida yang terus menumpahkan ribuan darah kaum muslimin.

Di Indonesia, salat Ied pada Ahad lalu berlangsung di berbagai kota di Indonesia, seperti Makassar, Surabaya, Gresik, Kediri, Blora Jawa Tengah, Mojokerto, Tuban, Bojonegoro, Tulungagung, Palembang, Sumatera Utara, Purwokerto, Bandung, Samarinda, Probolinggo, Banjarmasin, Indramayu, Cirebon, Sumber, Malang, Palangkaraya dan berbagai kota lainnya.

Idul Fitri merupakan hari kemenangan bagi kaum muslimin, namun tak sedikit dari mereka yang memaknai kemenangan itu hanya dengan perlengkapan hidup yang serba baru di hari raya idul fitri atau sekedar perubahan personal setelah melalui Madrasah Romadhon. Sejatinya kemenangan Hakiki adalah ketika umat Islam bertakwa kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Sayang saat ini kita menyaksikan masih banyak perintah Allah yang belum diamalkan dan masih banyak pula larangan Allah yang dilanggar.

Di negeri ini misalnya, kita menyaksikan banyak aksi kriminal, pergaulan bebas, bahkan yang dilakukan oleh pejabat negara seperti korupsi. Kebijakan-kebijakan yang diberlakukan negara juga sangat jauh dari penerapan syariat Islam, seperti riba masih diberlakukan, sumber daya alam diserahkan kepada pihak swasta, hingga sistem hukum yang tidak mengikuti Alquran.

Singkatnya, masih banyak hukum syariah yang diabaikan, terutama dalam aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara, seperti pemerintahan, ekonomi, sosial hukum pidana, pendidikan, serta politik luar negeri dan lainnya. Selama Syariah Islam belum diterapkan secara Kaffah dalam kehidupan, umat muslim terus mengalami keterpurukan, penjajahan, kehancuran dan penindasan. Saudara-saudara kita di Palestina, Suriah, Irak, Myanmar, Yaman dan wilayah lainnya dijajah, disiksa, serta banyak yang terusir dari tanah air mereka tanpa perlindungan dan pembelaan.

Mirisnya, penguasa negeri-negeri muslim malah seolah buta dan bisu menghadapi persoalan ini. Bahkan mereka memposisikan diri sebagai penghianat, mereka terlibat dalam perjanjian perdamaian dengan Zionis, hingga menyepakati solusi-solusi ilusi yang ditawarkan PBB, Amerika Serikat dan negara-negara Barat. Keterpurukan ini bermula dari jauhnya umat Islam dari penerapan Alquran dalam kehidupan.

Allah subhanallahu wa Ta'ala memperingati kita tentang hal ini dalam Quran Surah Thaha ayat 124 yang artinya;  "Siapa saja yang berpaling dari peringatanku Alquran sungguh bagi dia penghidupan yang sempit dan kami akan menghimpunkan dirinya pada hari kiamat dalam keadaan buta." (QS. Thaha: 124)

Menurut Imam Ibnu Katsir, makna berpaling dari peringatanku adalah menyalahi perintahku dan apa saja yang aku turunkan kepada rasulku melupakannya dan mengambil petunjuk dari selainnya. (Ibnu Katsir dalam tafsir Alquran al-Aznim, V/323)

Penghidupan yang sempit di dunia tak lain adalah kehidupan yang diliputi kemiskinan, penderitaan, penjajahan dan penindasan seperti yang kita saksikan dan rasakan di dunia islam. Keterpurukan dan lemahnya tubuh umat Islam juga kita rasakan pada perbedaan dalam penetapan hari raya Idul Fitri hingga Idul Adha. Hal ini mencerminkan betapa umat ini belum berada dalam satu kesatuan.

Dalam situasi ini, para ahli ilmu harus menjunjung tinggi kejujuran dan menyampaikan kebenaran, sebab persoalan ini bukan sekedar perbedaan jarak mathla dalam penentuan hilal, jarak qashar dalam salat, atau keterbatasan penyebaran informasi di era modern. Ini adalah persoalan mendasar tentang hilangnya otoritas pemersatu yang seharusnya menaungi umat sehingga perpecahan terus berlanjut tanpa ada solusi yang Hakiki.

Lebih dari sekedar perdebatan fiqih, perkembangan sains atau kemajuan teknologi informasi. Permasalahan utama yang mendasari perbedaan penentuan awal bulan hijriyah justru berakar pada realitas politik yang terbentuk pasca perjanjian Sykes-Picot pada tahun 1916. Sebuah kesepakatan antara Britania Raya dan Prancis yang kemudian disetujui oleh kekaisaran Rusia yang telah menciptakan sekat-sekat negara bangsa (Nation-state) didunia muslim. Akibatnya masing-masing negara melakukan rukyat dan menentukan awal bulan hijriyah secara mandiri,  bukan semata-mata karena perbedaan mathla melainkan lebih karena faktor politik dan batasan administratif yang telah diwariskan oleh kesepakatan kolonial tersebut. Sebuah kenyataan pahit yang harus diakui dengan jujur.

Sungguh umat Islam tidak boleh membiarkan kondisi umat yang terpuruk ini terus berlangsung. Umat Islam harus membuktikan bahwa mereka adalah umat yang layak dan berhak untuk disebut sebagai umat yang bertakwa di hadapan Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Yakni yang siap tunduk secara total kepada syariahnya, dan pada saat itulah umat Islam layak dikatakan meraih sejatinya kemenangan hakiki.

Sejatinya, kemengan umat islam adalah karunia dari Allah. Yang wajib kita lakukan adalah melakukan ikhtiar dalam perjuangan untuk mengubah keadaan dunia yang sebelumnya jauh dari aturan Islam menuju keadaan yang tunduk dan patuh pada aturan Allah Subhanahu Wa Ta'ala. inilah perubahan menuju penerapan Syariah Islam secara Kaffah.

Allah subhanahu wa ta'ala berfirman dalam Quran surah ar-ra'd ayat 11 yang artinya; "Sungguh Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum hingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri." (QS. Ar-Ra'd: 11) 

Upaya untuk meraih kemenangan hakiki membutuhkan aktivitas dakwah yang mengarah pada terwujudnya penerapan Islam secara sempurna di bawah institusi Khilafah. Dakwah tersebut wajib mengikuti metode dakwah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Diantara kriterianya adalah berjamaah dan ideologi.

Sungguh jamaah Islam ideologis tersebut telah hadir di tengah umat Islam. Kita tidak boleh melupakan sejarah gemilang penaklukan masjid Al-Aqsha oleh Salahuddin Al-Ayyubi, yang dengan keteguhan Iman, strategi cemerlang dan semangat jihadnya berhasil membebaskan tanah suci dari cengkraman musuh. Kini tugas besar mengembalikan kejayaan Islam dan membebaskan tanah suci Palestina ada di pundak umat Islam hari ini. Tidak kah iman kita terpanggil untuk mengemban tugas mulia ini?

Wallahualam bissawab


Share this article via

28 Shares

0 Comment