| 108 Views

UU KIA dan Utopis Kesejahteraan Perempuan di Era Kapitalisme

Oleh : Vikhabie Yolanda Muslim

Pada Selasa, 4 Juni 2024 lalu, DPR RI melakukan pengesahan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu Dan Anak Pada Fase 1000 Hari Pertama Kehidupan (RUU KIA) menjadi UU dalam rapat paripurna DPR di kompleks parlemen Senayan. Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Diah Pitaloka, menjamin Undang-Undang Kesejahteraan Ibu Dan Anak yang sudah disahkan dalam rapat paripurna, tak akan mendiskriminasi perempuan. Hal ini merespons anggapan Undang-Undang KIA dinilai mendiskriminasi perempuan di tempatnya bekerja (tirto.id, 07/06/2024).

Pengesahan ini mendapat respon positif dari sejumlah kalangan, seperti Ketua Departemen Kajian Perempuan, Anak dan Keluarga BPKK DPP PKS, Kementerian Ketenagakerjaan, dan Dirjen PHI dan Jamsos Kemnaker, Indah Anggoro Putri. Pengesahan RUU KIA menjadi undang-undang, dianggap akan membawa angin segar bagi perempuan untuk dapat tetap berkarir karena mendapat cuti dan tetap bisa tenang bekerja. Namun, apakah memang benar seperti itu? Sudahkah para perempuan hari ini mendapatkan penjaminan dari negara sesuai dengan fitrahnya?

Memang benar, saat ini perempuan dikatakan berdaya ketika mereka mampu menghasilkan uang melalui bekerja. Akan tetapi, cara pandang yang kita anggap ladzim hari ini, lahir dari sebuah sistem yang bernama kapitalisme. Kapitalisme adalah ideologi yang orientasi idenya fokus untuk menghasilkan materi. Wajar jika ideologi ini menjadikan standar dalam mengukur keberhasilan atau penghargaan hanya dari standar materi. 

Fakta yang ada di masyarakat saat ini, stereotipe perempuan berdaya dan produktif ialah dari seorang perempuan yang bekerja. Cara pandang seperti ini tentu sebenarnya salah, sebab hal ini menjauhkan fitrah perempuan sebagai al-Umm wa Rabbatul Bayt (ibu dan pengatur rumah tangga). 

Status al-Umm wa Rabbatul Bayt adalah tugas mulia. Peran ini memiliki peran yang sangat strategis, dan memiliki dampak besar bagi sebuah peradaban. Dari tangan-tangan perempuan yang menjadi ibu, mereka diberi amanah besar untuk mendidik, mendampingi, dan merawat anak-anaknya yang akan menjadi pengisi peradaban. Tentu tugas ini tidak akan setimpal dengan pemberian cuti 6 bulan saja, karena anak butuh didampingi dan diberi pengasuhan terbaik dari ibu hingga usia mumayyiz (memiliki kesadaran), bahkan hingga usia baligh. 

Sistem kapitalisme hari ini telah membuat kaum muslimin hilang arah dalam mencari solusi atas permasalahan hidup. Sebab sistem ini dibangun dari akidah batil yang bernama sekularisme, yakni akidah yang memisahkan agama dari kehidupan. Pemisahan Ini yang menjadikan kaum muslimin sibuk berdiskusi dan berdebat seputar metode untuk mengatasi persoalan. 

Bukannya mendapatkan solusi yang mengakar, faktanya kita malah terjauhkan dari mengkaji hakikat persoalan yang sebenarnya. Mereka sibuk membuat undang-undang yang diharapkan mampu menciptakan keluarga yang utuh dan bahagia. Padahal, akar masalahnya adalah penerapan sistem sekularisme-kapitalisme yang telah mematikan fitrah perempuan sebagai seorang ibu. Jika penguasa negeri hari ini benar-benar ingin memuliakan perempuan yang notabenenya adalah seorang ibu, maka seharusnya aturan yang mereka sahkan adalah aturan yang mengembalikan peran perempuan sesuai fitrahnya. Yakni sebagai al-Umm wa Rabbatul Bayt. 

Jika menarik benang merah dari berbagai fakta yang kita rasakan saat ini, satu-satunya sistem yang mampu mewujudkan aturan tersebut ialah sistem Islam. Sistem Islam yang diterapkan secara menyeluruh oleh negara di bawah kepemimpinan Islam. Dengan melihat secara menyeluruh terkait syariat Islam, maka perempuan pun akan diperlakukan sebagaimana syariat memberikan perlakuan yang sesuai dengan fitrah perempuan.

Rasulullah telah bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya. Seorang Imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawabannya. Laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya dan ia akan dimintai pertanggung jawabannya. Seorang perempuan memimpin rumah suaminya dan anak-anaknya. Ia akan ditanya tentang kepemimpinannya.” (HR. Bukhari)

Tentu saja menjalankan peran sebagai al-Umm wa Rabbatul Bayt tidaklah mudah. Peran ini membutuhkan kesabaran, keikhlasan, keluasan ilmu, dan tabiah motherhood pada diri perempuan. Karena itu, Rasulullah memberi kabar gembira dalam sabdanya, “Barang siapa yang mendapat ujian atau menderita karena mengurus anak-anaknya, kemudian ia berbuat baik kepada mereka, maka anak-anaknya akan menjadi penghalang baginya dari siksa neraka.” (HR. Bukhari-Muslim dan Tirmidzi)

Melalui hadis ini, Islam memberi motivasi akidah untuk para ibu, agar dapat menjalankan perannya sebagai al-Umm wa Rabbatul Bayt. Namun secara teknis, Islam juga memiliki aturan agar peran strategis dan politis ini bisa berjalan secara all-out, yakni melalui penerapan sistem ekonomi Islam. 

Dalam hal ini, negara akan memastikan setiap laki-laki mendapatkan pekerjaan yang layak untuk memberi nafkah keluarganya. Pemastian ini sesuai dengan perintah syariat yang mewajibkan laki-laki bekerja. Ketika seorang suami dijamin mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang layak, mereka pun dapat mencukupi kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, dan papannya secara baik. Dengan begitu, seorang ibu tidak khawatir dengan masalah finansial keluarga dan fokus membangun profil generasi cemerlang di rumah-rumah mereka.

Di sisi lain, sistem ekonomi Islam membuat negara bertanggung jawab penuh terhadap kebutuhan dasar publik yang meliputi pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Semua kebutuhan dasar publik ini dapat diperoleh masyarakat secara gratis, jika nafkah dalam keluarga sudah terjamin oleh peran suami, dan kebutuhan publik dijamin oleh negara, maka perempuan akan sangat dimudahkan menjalankan perannya. Bahkan mungkin tidak ada alasan bagi perempuan bekerja untuk menopang ekonomi keluarga seperti saat ini. 

Bekerja adalah sebuah pilihan bagi perempuan, dan ini adalah opsi jika seorang perempuan ingin memanfaatkan ilmunya bagi kemaslahatan Islam dan kaum muslim. Bukan sebagai tulang punggung keluarga seperti yang kita lihat pada saat ini. Negara pun akan memberi regulasi jam kerja agar tidak melalaikan peran utama perempuan sebagai al-Umm wa Rabbatul Bayt.  

Benang merah dari semua yang telah terurai disini ialah, bahwa hanya Islam yang tulus memperhatikan kesejahteraan ibu dan anak demi berjalannya fungsi strategis dan politis peran seorang ibu dalam membangun generasi cemerlang. Islam memuliakan perempuan dengan semua peran fitrahnya, bukan dari beberapa banyak uang yang dihasilkan.


Share this article via

80 Shares

0 Comment