| 90 Views
Tunjangan Guru Naik, Tarik Ulur Ala Kapitalisme

Oleh : Fitri Alby
Jakarta (28/11/2024) ― Presiden Prabowo Subianto mengumumkan akan menaikkan anggaran untuk kesejahteraan guru ASN dan non-ASN pada puncak Hari Guru Nasional, Kamis lalu. Sebagaimana diketahui di tahun 2025 mendatang akan mengalami kenaikan sebesar Rp. 16,7 triliun dibandingkan tahun sebelumnya, yakni menjadi Rp. 81,6 triliun.
Dengan kebijakan tersebut diharapkan bisa menjadi bagian dari langkah konkret pemerintah dalam memastikan guru,apakah mendapatkan penghargaan yang layak atas kontribusi mereka dalam mencerdaskan kehidupan bangsa atau tidak.
Namun alih-alih mendapat respon baik, organisasi guru dan aktivis pendidikan justru mempertanyakan rencana tersebut. Kebijakan yang digadang-gadang sebagai “kado manis” bagi para guru pada Hari Guru Nasional, 25 November lalu, justru menimbulkan harap-harap cemas dan kegalauan bagi para guru ASN," ujar Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan salim dalam keterangannya yang dikutip Sabtu, (30/11/2024).
Presiden juga merinci, guru ASN mendapatkan tambahan kesejahteraan sebesar satu kali gaji pokok. Sedangkan gaji guru non-ASN nilai tunjangan profesinya akan naik sebesar Rp 2 juta per bulan itu pun hanya berlaku bagi guru non-ASN yang lulus sertifikasi/pendidikan profesi guru (PPG).
Untuk guru ASN, sebenarnya kenaikan tunjangannya sudah menjadi kebijakan dari tahun ke tahun. Sedangkan untuk guru non-ASN, jika dihitung kenaikan tunjangannya hanya sebesar Rp. 500.000 per bulan. Ironisnya lagi ternyata juga dibebani syarat harus memiliki 24 jam mengajar (jam tatap muka dengan peserta didik).
Untuk kita ketahui, durasi satu jam mengajar sekitar 35—45 menit disesuaikan dengan jenjang pendidikan peserta didik. Sedangkan realitasnya banyak guru non-ASN yang telah lulus PPG, tetapi tidak mendapatkan gaji sebesar itu karena jam mengajarnya masih kurang dari 24 jam, alhasil sangat kecil kemungkinan untuk mendapatkan gaji total Rp. 2 juta perbulan.
Jika dihadapkan pada realitas yang ada, nominal kenaikan tunjangan guru jelas tidak sebanding. Tarik ulur gaji guru dalam sistem kapitalisme hanya memposisikan guru tidak ubahnya pekerja. Posisi guru tak ayal layaknya para buruh bagi industri. Dalam sistem kapitalisme guru hanya dipandang sebagai bagian dari faktor produksi. Kapitalisme telah menempatkan pendidikan sebagai komoditas ekonomi. Padahal jasa guru bagi murid-muridnya tidak bisa dinilai dengan nominal sebesar apa pun.
Islam memandang ilmu dan pendidikan sebagai perkara yang sangat vital serta tidak bisa diukur hanya dari dimensi keuntungan. Keberadaan pendidikan tidak ubahnya fasilitas umum bagi rakyat. Sebab itu pendidikan semestinya diselenggarakan sepenuhnya oleh negara dengan memberikan jaminan pendidikan kepada rakyat, mulai dari penyediaan guru selaku pendidik, menjamin kualitas guru, menyediakan infrastruktur, sarana, prasarana, dan fasilitas pendidikan, serta menganggarkan seluruh pembiayaannya dari kas negara.
Gaji guru juga harus dipastikan layak tanpa ada tambahan ataupun tunjangan tertentu dan itu dilakukan oleh negara.
Terkait pembiayaan pendidikan, Khilafah akan mengambilnya dari baitulmal untuk membiayai pendidikan. Seperti, pos fai dan kharaj yang merupakan kepemilikan negara, seperti ghanimah, khumus (seperlima harta rampasan perang), jizyah, dan dharibah (pajak).
Pembiayaan akan didistribusikan ke seluruh unsur dan berbagai jenjang (dasar, menengah, tinggi), yakni menyangkut gaji para guru/dosen, serta pengadaan infrastruktur, sarana, dan prasarana pendidikan yang seluruhnya menjadi kewajiban negara.
Sistem Islam telah membuktikan keberhasilannya dalam mensejahterakan guru. Sejarah mencatat, gaji guru pada masa Khilafah Abbasiyyah sangat fantastis, Gaji para pengajar di masa itu setara dengan gaji para muadzin, yakni 1.000 dinar/tahun (sekitar 83,3 dinar/bulan). Dengan nilai 1 dinar sama dengan 4,25 gram emas dan harga emas saat ini sekitar Rp1,5 juta/gram, ini berarti gaji guru pada masa itu sekitar Rp6,375 miliar/tahun atau Rp531 juta/bulan.
Begitu pula pada masa Khalifah Al-Watsiq, seorang ulama yang bernama Al-Jari diberi gaji 500 dinar/bulan. Berbeda dengan masa kepemimpinan Khalifah Harun Ar-Rasyid, yang pernah menghargai untuk kitab-kitab karya para ulama, dengan menimbang kitab tersebut dengan emas. menimbang berat kitab itu dengan emas.
Demikianlah gambaran kesejahteraan guru dalam sistem Islam. Dimana para guru dan ulama benar-benar sangat dimuliakan, dihargai, dan diposisikan sebagai pahlawan dengan tanda jasa seutuhnya.
Kesejahteraan guru hanya bisa terwujud di dalam naungan Daulah Khilafah.
Wallahu a'lam bishawab.