| 177 Views

Tragedi LPG Adakah Sesuatu yang Ingin Ditutupi?

Oleh : Sri Subekti Handayani
Aktivis Muslimah

Kasihan Menteri ESDM..seluruh jagat di dunia maya dan nyata tanah air memarahinya. Belum lama setelah antrian panjang di pangkalan gas yg menjadikannya dimarahi seorang bapak-bapak yang anak-anaknya kelaparan menunggunya pulang. Bahlil juga mendapat kabar jika ada warga masyarakat yg meninggal karena kecapean setelah mengantri gas melon selama beberapa jam dibawah terik matahari agar bisa membawa sebuah tabung yg sudah berisi. Drama yg berujung meregangnya nyawa ini tentu membuat miris warga karena urusan OK gas yang benar-benar tidak OK ini. 

Dengan alasan agar distribusi gas bersubsidi bisa dipastikan tidak salah sasaran dan menghindari harga gas yang tidak terkendali sang menteri menetapkan kebijakan lewat SE Nomor B-570/MG.05/DJM/2025 bahwa gas hanya dijual di pangkalan resmi terhitung sejak 1 Februari 2025. Maka semenjak 1 Februari itu deretan melon besi memanjang di setiap pangkalan. 

Memunculkan berbagai problematika lain

Informasi yang relatif tiba-tiba ini juga memicu aroma penimbunan diantara pemilik pangkalan. Hal itu seiring beredarnya isu kelangkaan gas dan pemerintah akan mengurangi subsidi gas. Masalah kelangkaan gas terjadi karena pengurangan titik distribusi yg tadinya mudah didapat diwarung-warung menjadi tidak tersedia. Saat itu dipangkalanlah gas-gas mereka harusnya berada. 

Pangkalan resmi yang stok gasnya terbatas tiba-tiba didatangi warga yang ingin membeli gas dengan asumsi warung memindahkan hak beli mereka ke warga karena pemerintah tidak membolehkan membeli gas untuk dijual ke warga. Pangkalan yang dalam kondisi biasa memperkirakan jumlah pembelian  secara terukur menjadi kuwalahan pada jumlah warga yg tiba- tiba membludak hingga tidak semua warga bisa mendapat gas. 

Adanya syarat pemakaian KTP juga menjadikan pangkalan yg tidak terbiasa menangani hal-hal birokratik menjadikan lambat dalam proses jual beli. Selain itu masyarakat juga belum beradaptasi dengan aturan baru. Tentu bagi seorang individu warga yang membeli karena memang sedang membutuhkan lebih ingin segera selesai urusannya dan kembali ke rumah menemui keperluan pihak-pihak yang menunggu. Merekalah pihak yang pantang pulang dengan tangan kosong. 

Sebenarnya, Gas bersubsidi masih diberikan kepada rakyat tetapi hanya bisa di dapat di pangkalan. Hal itu dilakukan agar pemerintah  bisa mengawasi ketepatan peruntukannya yaitu untuk rumah tangga, UMKM, Nelayan sasaran dan petani sasaran. Namun prakteknya tidak sedikit industri yang seharusnya bukan pengguna gas subsidi ikut menggunakannya. Beberapa oknum bahkan mengoplos gas yaitu memindahkan isi dari gas LPG 3 Kg bersubsidi ke tabung 12 kg kemudian dijual kepada masyarakat dengan harga non subsidi. Untuk itulah aturan ini dibuat. 

Akibat dari aturan baru ini menyebabkan pengecer tidak bisa menjual gas dan memunculkan kesulitan di pihak konsumen dan para pengusaha kecil. Bagi pengecer agar bisa berjualan ia harus merubah usahanya menjadi pangkalan. Untuk menjadi pangkalan setidaknya memiliki modal lima puluh sampai seratus tabung. Ini dari tabungnya saja. Belum gasnya dan perijinannya. Untuk menjadi sub pangkalan juga tentu susah. Katakanlah setidaknya sub pangkalan pasti perlu ada modal tabung misal sepuluh atau 15 tabung. Belum gasnya. Belum izin menjadi sub pangkalan...Dari mana warung bisa memiliki modal untuk menjadi sub pangkalan?

Memahami keluhan masyarakat pemerintah mengaktifkan kembali para pengecer gas. Yang lebih mengejutkan lagi Wakil ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad bahkan mengatakan bahwa sebenarnya bukan perintah Presiden Prabowo untuk melarang pengecer menjual gas LPG 3 KG. Jadi Perintah siapa? Banyak pertanyaan yang berkeliaran di benak warga. Tapi penulis sedang malas menjawab. Pendek kata terhitung sejak 4 Februari 2025 warung bisa berjualan gas lagi.

Kapitalisme pangkal masalah

Lepas dari isu adanya upaya untuk menutupi kasus pagar laut 30 KM di Tangerang yang hingga saat ini kasus masih berjalan, kasus IKN yg tetap hangat-hangat tai ayam, dan Nominasi OCCRP yang bagi penulis bukannya untuk menutupi tetapi menambah problematika yang notabene-nya problematik, ini wajar akan terus terjadi sepanjang sistem yang diterapkan adalah sistim kapitalisme yang hanya menguntungkan pihak pemilik modal.

Masyarakat yang didalamnya ada orang kaya dan orang miskin, pelaku usaha menengah keatas dan bawah apalagi, tentu juga ingin ikut menikmati subsidi gas yang peruntukannya memang 'bagi yang membutuhkan'. Melihat peluang cuan yang besar dari bisnis gas ini memang menjadi godaan tersendiri bagi sebagian penjual. Apalagi jika ada aturan yang memberi peluang.  Jika aturan bisa dijadikan pelindung untuk mendapatkan cuan mengapa harus dibiarkan? . 

Inilah yang menyebabkan gas bocor seolah di arus bawah dan menyebabkan negara sampai menggelontorkan dana hingga 87 triliun rupiah. Tetapi hal ini sudah diprediksi akan terjadi selama panduan negara dalam mendasarkan kebijakan adalah kapitalisme tanpa memandang kelas. Bagaimanapun kelas menengah dan kelas atas tetap warga masyarakat bukan?. Perubahan aturan distribusi warung ke pangkalan bahkan ke sub pangkalanpun sudah diprediksi akan terjadi. Bahkan bisa dikatakan sebagai keniscayaan. 

Salah satu sifat sistem kapitalisme adalah memudahkan para pemilik modal besar menguasai pasar. Penguasaan tersebut bahkan dari bahan baku hingga bahan jadinya. Adalah hal yang mudah dipahami juga bahwa migas juga bagian yg di rindukan korporasi untuk dikelola sebagai bagian sumber daya alam yang sebenarnya milik rakyat dari pangkal hingga ujungnya. Jika tidak dapat semuanya bagian manapun bisa.

Sebagaimana disampaikan dalam acara Kontroversi di Metro TV  duduk permasalahannya  bukan pada negara yang salah dalam membuat aturan tidak boleh membeli gas di pengecer karena negara sudah mengambil peran dengan benar. Juga bukan karena subdidi yang tidak tepat sasaran dll. Tetapi pada regulasi. Demikian diungkap oleh Defiyan Cory seorang ekonom konstitusi yang menjadi salah satu Nara sumber dalam acara tersebut. Dalam regulasi Perpres 191 th 2024 tidak jelaskan siapa kelompok sasaran yang dimaksud. Subsidi dalam kerangka paradigmanya  diberikan kepada orang yang memang membutuhkan. Tetapi permasalahannya peraturannya tidak menyatakan 'orang yang membutuhkan' secara tegas. Perpres 191 maupun Permen 26 dan 28 tahun 2001 diberikan melalui barang. Jadi subsidinya langsung disebutkan dalam bentuk komoditi bukan kepada 'siapa'nya.

Problem ini juga dikatakan beliau sebagai problem yg sudah berlalu-lalu sejak dulu. Maksudnya problem yang sudah berlaku lama tanpa ada perhatian sedikitpun terhadap obyek yg dikenai subsidi. Jadi wajar saja jika semua merasa membutuhkan bukan? Mengapa ketika sudah diatur distribusinya,masyarakat sudah menepati aturan tetiba pemerintah menjadi panik saat kas negara bocor hingga 87 T?.Kacau bukan? 

Pengaturan Migas dalam Islam

Dalam islam urusan Migas adalah urusan yg di kelola oleh negara karena Migas adalah kepemilikan umum (public property). Rasulullah bersabda : 

الناس شركاء فى ثلاث :   الماء و الكلاء والنار

" kaum muslimin berserikat dalam tiga hal yaitu air ,padang gembalaan dan api". (HR. Ahmad) 

Berserikat yang dimaksud adalah berserikat dalam memanfaatkan. Yaitu, semua warga masyarakat bisa memanfaatkan tanpa harus ijin saat menggunakan. 

Ketika pemanfaatannya bisa bersama-sama maka ada larangan pula untuk menguasai dan memonopolinya bagi individu atau kelompok tertentu. Disinilah peran negara yang harus menjaga agar peruntukannya selalu terjaga. Tidak boleh negara menyerahkan pengelolaan kepada Individu dan korporasi seperti dalam sistem kapitalisme ataupun kepada Ormas. 

Ketika negara memberikan pemanfaatan itu kepada masyarakat maka seluruh masyarakat bisa memanfaatkan baik kalangan orang kaya kalangan menengah maupun orang miskin karena mereka adalah warga negara atau yang disebut dalam hadits tersebut sebagai an nãs (الناس). 

Dalam hal pendistribusian secara langsung kholifah bisa menyalurkan gas-gas tersebut kedalam rumah-rumah kaum muslimin dan tempat-tempat yang di kehendak inya semisal kantor atau masjid dengan gratis atau biaya yang murah. Kelak biaya yang diambil dari warga juga akan dikembalikan ke baitul mal dan digunakan lagi untuk kepentingan umum. Negara memasang instalasinya dengan peralatan seaman mungkin. 

Terkait dengan pengecer, posisi pengecer adalah sebagai mitra pemerintah yg terkait dengan teknis pengiriman gas. Misalnya ke daerah pelosok. Negara justru sangat terbantu dengan adanya para pengecer ini bukan? Khilafah menghargai setiap jerih payah para pengecer sebagai hal yg mubah dilakukan warga untuk mencari nafkah.

Wallahu a'lam bisshowab


Share this article via

55 Shares

0 Comment