| 49 Views

Tidak Ada Efek Jerah Pelaku Koruptor di Sistem Kapitalis

Oleh : Ummi balqis
Aktivis muslimah

Memiliki kepribadian baik seperti bersikap sopan memanglah menyenangkan. Hanya saja, bahaimana jika pelaku kejahatan divonis ringan karena alasan sopan? Memilukan. Ini realitas yang terjadi pada kasus korupsi timah yang mengakibatkan kerugian negara Rp300 triliun oleh Harvey Moeis.

Mengutip dari tempo.co (29/12), dalam sidang putusan yang berlangsung pada 23 Desember 2024, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi memvonis Harvey pidana penjara 6 tahun 6 bulan dan ganti rugi senilai Rp 210 miliar. Jika tidak dipenuhi dari harta bendanya, maka diganti dengan pidana penjara selama 2 tahun. Vonis ini lebih ringan dari tuntutan penuntut umum, yakni pidana penjara selama 12 tahun dan denda Rp 1 miliar, serta uang pengganti Rp 210 miliar.

Alasan yang mencuat di media salah satunya adalah karena terdakwa bersikap sopan selama di persidangan. Faktor lain, yakni memiliki tanggungan keluarga yang harus dipertimbangkan dalam penjatuhan hukuman, dan belum pernah dihukum sebelumnya. Tak hanya Harvey, pelaku korupsi timah yang lain pun mendapat hukuman yang lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Menanggapi vonis ringan yaitu hanya 6,5 tahun Harvey Moeis terdakwa kasus korupsi yang telah merugikan negara ratusan triliun, Direktur Pamong Institute Wahyudi al-Maroky mengatakan itu sangat tidak adil. 

"Ini tentu melukai rasa keadilan publik atau bahkan kalau kita bilang sangat tidak adil," ungkapnya dalam program Kabar Petang: Hasto dan Harvey di kanal YouTube Khilafah News, Selasa (31/11/2024).

Ia menegaskan penegakan hukum tidak adil karena buatan orang-orang yang tidak adil dan ditegakkan oleh aparat yang jauh dari rasa keadilan. Karenanya, sistem penegakan hukum yang bisa diubah-ubah sedemikian rupa di negeri ini menurutnya bukan menjadi hal yang baru lagi.

"Tentu mereka tidak akan membuat hukum itu seadil-adilnya, dengan hukum yang tidak adil buatan orang-orang yang tidak adil apalagi ditegakkan oleh orang-orang atau aparat yang jauh dari rasa keadilan," ujarnya.

Ia mengatakan bahwa hukum dan undang-undang yang diterapkan saat ini adalah warisan penjajah (Belanda). Tentu dengan melihat juga di sistem undang-undang yang diperbaharui pun dilakukan dan dibuat oleh para politisi yang juga banyak terlibat kasus hukum. Karenanya, ungkap dia, tidak bisa diharapkan keadilan bisa ditemukan di negeri ini.

Kejahatan Luar Biasa

Sejatinya korupsi masuk ke dalam jenis kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Sifatnya yang merusak, kompleks dan sistemik menimbulkan kerugian besar bagi masyarakat dan negara. Di Indonesia sendiri, pemberantasan korupsi masih jadi pekerjaan rumah berat bagi pemerintah. Sepanjang tahun 2024, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menangani 93 tindak pidana korupsi dengan 100 tersangka.

Bagaimana bisa teratasi jika pelaku korupsi dihukum seringan mungkin? Indonesia Corruption Watch (ICW) pun mengungkapkan bahwa rata-rata vonis majelis hakim terhadap para koruptor berada pada kategori ringan. Keseriusan pemberantasan korupsi di negeri ini masih dipertanyakan. Akankah oknum yang sudah menzalimi, mengambil hak rakyat dan negara itu dihukum ringan? Bukankah ini justru membuat celah aksi korupsi semakin terbuka lebar.

Senada dengan diungkapkan peneliti ICW, Kurnia Ramadhana sebuah omong kosong kalau ada yang mengatakan ‘kita sudah serius’ dalam menindak pelaku korupsi, karena ternyata proses penyelidikannya dan penindakannya bermasalah. Dimana sepanjang 2023, hukuman penjara pelaku korupsi hanya 3 tahun 4 bulan penjara. Sementara pidana lain seperti denda rata-rata penjatuhannya hanya Rp 180 juta per-orang (tempo.co, 15/10/24).

Fakta ini semakin membuktikan saat sistem sekularisme-kapitalisme diterapkan, tidak akan mampu menekan pelaku kejahatan. Mulai dari individu yang jauh dari pemahaman agama menjadi sebabnya. Agama tak lagi menjadi pijakan manusia dalam melakukan perbuatan. Individu mudah digiring dengan pemahaman hidup ala Barat, yang semakin menambah kerusakan.

Kehidupan sekuler menumbuhkan gaya hidup hedonisme-liberal. Kebahagiaan bestandar pada pencapaian materi dengan sebanyak-banyaknya. Alhasil, korupsi dipilih untuk memuaskan nafsu duniawi. Pemangku kepentingan yang seharusnya menjadi garda terdepan melindungi rakyat pun menjadi pelaku korupsi. Nauzubillah!

Sungguh, vonis ringan bagi pelaku kejahatan korupsi adalah sebuah ironi. Sampai kapan korupsi akan selesai, jika pelaku penikmat harta haram ini tidak mendapat hukuman yang setimpal? Masihkah kita berharap pada sistem kapitalisme-demokrasi yang seolah “memelihara” pelaku korupsi ini?

Berantas Korupsi dari Akar 

Sebagaimana ditulis di awal bahwa korupsi adalah kejahatan luas biasa yang bersifat sistemik. Oleh karena itu, penyelesaiannya juga memerlukan solusi sistemik. Solusi pemberantasan dari akarnya, yakni mengganti sistem kehidupan dengan sistem dari Allah SWT. sebagai pencipta dan pengatur hidup manusia.

Allah SWT. menurunkan Islam sebagai agama terbaik yang diciptakan untuk mengatur kehidupan. Di dalam Islam, aturan yang sempurna dan paripurna menimbulkan dampak baik untuk kehidupan manusia.

Islam mewajibkan setiap manusia memiliki landasan kehidupan, yakni akidah. Akidah Islam menghantarkan manusia menjadi individu yang beriman dan bertakwa. Buah dari takwa adalah manusia akan melakukan setiap perbuatan sesuai aturan dan larangan dari Allah SWT. Terlebih, pemangku kepentingan akan memahami bahwa korupsi adalah perbuatan yang dilarang oleh agama, maka ia tidak akan melakukannya.

Allah juga menjelaskan dalam  Alqur'an sangat jelas  di Surat Al-Baqarah ayat 188

وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ

Artinya: Janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.

Jadi jelas apa yang ada di alqur'an bahwa  setiap  perbuatan kita akan di mintai pertanggung jawaban. Selanjutnya adalah sistem sanksi dalam Islam yang menjerakan pelaku korupsi. Sanksi hudud diterapkan pada pelaku korupsi karena dianggap sebagai tindakan mencuri atau menipu, sanksinya adalah dipotong tangan atau hukuman cambuk. Jika pelaku korupsi tidak memenuhi syarat untuk hukuman hudud, maka sanksinya adalah ta’zir (hukuman yang ditentukan oleh penguasa). Seperti denda, penjara, atau hukuman lain sesuai kadar pencuriannya. 

Selain itu, wajib bagi para koruptor mengembalikan harta yang dicurinya, mereka akan dicopot dari jabatannya, dan mereka akan kehilangan kredibilitasnya. Demikianlah, sanksi bagi pelaku korupsi diberlakukan dengan memperhatikan tindak kejahatan yang diperbuat. Satu yang pasti, negara dalam sistem Islam (Khilafah) tidak akan melindungi pelaku korupsi, apalagi memberikan vonis ringan. Sebab, sistem hukum dalam Islam sejatinya membuahkan dua hal, yakni jawabir (penebus dosa) dan zawajir (pencegahan).

Walahualam bhisawab


Share this article via

23 Shares

0 Comment