| 262 Views

Tapera: Tabungan Perumahan Rakyat Atau Tak Peduli Rakyat?

Oleh : Khairunnisa, S.Pd

Polemik Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 perihal Pelaksanaan Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera menuai penolakan serempak. Tak hanya buruh, pengusaha pun menolak pemotongan gaji pekerja sebesar 2,5% dan 0,5% dari perusahaan guna membantu pembiayaan pembelian rumah. Koordinator Dewan Buruh Nasional Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Nining Elitos mengungkapkan, Tapera hanyalah beban tambahan dari sepersekian potongan gaji melalui pembiayaan iuran BPJS kesehatan, pensiun hingga jaminan hari tua (sindonews.com, 29/05/2024).

Kebijakan Tapera

Tentu ada alasan di balik kebijakan Tapera. Seperti yang disampaikan oleh BP Tapera, Heru Pudyo Nugroho, program ini dibuat untuk menekan angka ketimpangan pemilikan rumah atau backlog yang dilaporkan 9,95 juta anggota keluarga. Sementara kemampuan pemerintah untuk menyediakan rumah klaimnya sangat terbatas. Maka Tapera dinilai menjadi jalan yang mampu mengatasi persoalan ini. Bahkan Jokowi melihat Tapera sebagai kebutuhan mendesak atas kondisi kesenjangan antara jumlah rumah terbangun dengan jumlah rumah yang dibutuhkan rakyat mencapai 9,9 juta. Apakah ini solusi yang tepat?

Pemerintah mengeluarkan kebijakan yang akan memotong 3% gaji pekerja untuk Tapera yang memiliki 2 manfaat umum yaitu peserta mendapatkan pembiayaan perumahan sesuai syarat dan ketentuan serta memperoleh pengembalian simpanan dan hasil pemupukan saat masa kepesertaan berakhir. Dengan demikian alasan pemerintah memotong gaji ini agar pembiayaan perumahan jangka panjang menjadi lebih murah bagi masyarakat. Tapi kenyataan yang ada kebijakan ini tidak masuk akal selama pemerintah tidak melakukan intervensi apapun terhadap penguasaan tanah, harga tanah dan pengembangan kawasan baru. Belum lagi potongan-potongan lain yang justru membebani karyawan seperti PPh 2%, BPJS kesehatan 1%, BPJS ketenagakerjaan 2%, jaminan hari tua 1% dan kini ditambah Tapera 3%.

Tapera ini dinilai sebagai grand design yang melibatkan masyarakat bersama pemerintah dengan konsep menabung, bukan iuran. Bagi para pekerja yang sudah punya rumah maka sebagian tabungannya digunakan untuk mensubsidi KPR yang belum punya rumah. Itu dilakukan agar bunga kreditnya tetap lebih rendah dari KPR komersial yang saat ini mencapai 5%.

Jika merujuk pada besaran potongan yang diwajibkan pemerintah sebesar 2,5% hingga 3% mustahil bisa membeli rumah dengan harga pasaran. Jikapun ada maka lokasi rumahnya jauh dari kota. Sementara rumah KPR yang harga rumahnya Rp180 juta di atas tanah tidak lebih dari Rp250.000 per meter. Jika pemerintah berniat menekan angka ketimpangan pemilikan rumah seharusnya membangun hunian terjangkau dan murah yang dekat dengan layanan publik. Sementara kenyataannya justru kawasan atau hunian yang dekat dengan transportasi publik justru dikuasai oleh pengembang swasta bukan pemerintah. Mirisnya tidak semua pekerja merasa butuh rumah, mengingat untuk memenuhi kebutuhan saja sangat sulit. Tapera justru tumpang tindih terhadap realitas kebijakan lain yang menyengsarakan rakyat. 

Tapera Bukti Kezaliman Penguasa

Tapera ini menjadi bukti negara tidak memiliki politik penyediaan rumah bagi rakyat. Padahal rumah adalah kebutuhan dasar (papan) yang harus dipenuhi negara, bukan memungut harta secara paksa, apapun alasannya. Pungutan yang disertai sanksi bagi karyawan negeri dan swasta seolah mewajibkan penerima kompensasi secara sukarela atau terpaksa menyetor 3% gaji setiap bulannya. Apakah ini tidak zalim?

Pemenuhan kebutuhan dasar ini tidak boleh dibebankan pada tiap individu rakyat, bahkan haram dilimpahkan tanggung jawab penjaminannya ke pihak lain walau dikatakan sebagai tabungan atau membantu masyarakat yang belum punya rumah. Kebijakan ini justru semakin menunjukkan kezaliman atau tipu-tipu atas penderitaan rakyat. Ironisnya baru-baru ini masyarakat dikejutkan dengan mahalnya UKT, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) naik menjadi 12% di awal tahun 2025, kenaikan Harga Eceran Tertinggi (HET) beras dan lain-lain.

Di sisi lain kekhawatiran akan penyalahgunaan dana rakyat patut menjadi perhatian, seperti potensi korupsi dan sebagainya. Sebagaimana yang tercantum dalam pasal 2 ayat 2 atas besaran gaji komite Tapera untuk posisi Ketua Komite yang jabatannya ex officio dari unsur menteri sebesar Rp 32,508 juta. Lalu besaran honorarium komite Tapera unsur profesional sebesar Rp 43,344 juta. Sedangkan menteri lainnya yang menjabat anggota komite Tapera ex officio di BP Tapera mendapat gaji Rp 29.257.200 per bulannya. Apakah besaran gaji yang fantastis ini adil bagi para pekerja yang sebenarnya tanpa dipotong telah dikebiri sejak lama? Artinya ada pihak yang diuntungkan dari iuran ini.

Kebijakan ini sejalan dengan napas kapitalisme sekuler yang diemban oleh negara ini. Negara tidak hadir untuk melayani kepentingan masyarakat melainkan mencekik dengan berbagai kebijakan yang sangat memberatkan. Potongan gaji pegawai negeri dan swasta menjadi bukti yang cukup bahwa negara tak mampu menjamin hak-hak mereka. Kondisi ini semakin menambah keputusasaan dan ketidakpercayaan mereka kepada negara. Bagaimana tidak, kerancuan dana Tapera ini patut dicurigai. Apalagi tidak ada gambaran transparan dan konsekuensi terkait lokasi, bentuk, jarak dan segala hal yang berkaitan dengan rumah tersebut. Jikapun sudah terkumpul sekian puluh tahun belum tentu cukup untuk membeli rumah yang layak huni. Mengingat harga rumah yang mahal dan sulit dijangkau oleh masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, Tapera juga bukan solusi untuk kepemilikan rumah namun menjadi drlahan menguntungkan pihak tertentu dan harus ada pihak lain yang dizalimi.

Islam dalam Mewujudkan Rumah bagi Rakyat

Islam menjadikan rumah sebagai kebutuhan pokok (papan) yang wajib dipenuhi oleh negara. Karena rumah adalah kebutuhan primer, yang mana sebuah keluarga bisa hidup, berlindung dan bercengkerama serta menemukan kenyamanan di dalamnya. Tidak sebagaimana dalam ekonomi kapitalisme, Islam memiliki politik penyediaan rumah tanpa membebani rakyat. Ini dilakukan oleh penguasa sebagai bentuk tanggung jawab meriayah seluruh rakyat tanpa terkecuali. Negara memastikan pemenuhan kebutuhan primer berupa sandang, pangan dan papan individu per individu. Tidak hanya itu, negara memastikan rakyat mendapatkan lingkungan yang kondusif. Karena di sanalah generasi mendapatkan tempat yang aman dan nyaman untuk bermain dan bersosialisasi. Di samping itu negara memastikan rakyat memperoleh pendidikan berkualitas, keamanan lingkungan dan kesehatan secara gratis. Karena itu adalah kebutuhan dasar yang wajib dipenuhi negara bukan karena ada pungutan atau tidak dari rakyat. 

Mekanisme seperti ini tidak kita dapati dalam sistem sekuler kapitalis, yang mana negara dan rakyat seperti penjual dan pembeli. Mekanisme Islam dalam memenuhi kebutuhan pokok seperti rumah bagi masyarakat adalah sebagai berikut: Pertama, Islam akan menerapkan politik perumahan Islami yakni sekumpulan syariat dan peraturan administrasi termasuk pemanfaatan riset dan teknologi terkini. Penguasa lah yang akan memfasilitasi pengadaan riset dan teknologi terkini yang dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat. Misalnya dengan pengaturan tata kota dan pengaturan lahan rumah yang tidak rawan bencana dan lain-lain. Kedua, Islam memastikan rumah yang dibangun harus layak huni, nyaman dan syar’i. Yang dengannya akan diwujudkan pelaksanaan syariat terkait pemisahan tempat tidur anak ketika sudah baligh serta kehidupan khusus bagi penghuni rumah dengan orang asing di luar rumah.

Ketiga, harga rumah yang dibangun bisa dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Bagi masyarakat dengan penghasilan rendah akan dibantu negara dengan skema subsidi, kredit tanpa bunga dan lain-lain. Bahkan negara memberikan rumah kepada fakir miskin yang tidak mampu membeli rumah. 
Keempat, Islam mengambil pembiayaan untuk tata kelola perumahan dari kas negara (batulmal). Tidak ada istilah pembiayaan dari memangkas gaji pegawai untuk pemenuhan tersebut, karena konsep ini juga tidak benar sebagaimana makna ta’awun dalam Islam. Sebab ta'awun itu dilakukan secara sukarela bukan paksaan kepada pihak lain. Apalagi pihak yang dipaksa di sini adalah rakyatnya sendiri.

Dari sini kita mendapatkan gambaran sekaligus jawaban atas masalah rumah yang berkedok tabungan perumahan rakyat yang mustahil bisa dinikmati jika mekanismenya seperti dalam sistem sekuler kapitalis saat ini. Sebab konsep dan mekanisme yang shahih hanya ada dalam Islam. Islam adalah sebuah sistem yang syamil dan kamil. Islam memiliki mekanisme untuk mewujudkan hal tersebut. Sebab negara hadir sebagai raa'in atau penanggung jawab atas seluruh urusan rakyatnya. Rasul saw. bersabda, “Imam (khalifah/kepala negara) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang diurusnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).


Share this article via

63 Shares

0 Comment