| 228 Views

Subsidi LPG jadi BLT, Solusi atau Masalah Baru Bagi Masyarakat?

Oleh : Dewi Yuliani

Indonesia terkelan sumberdaya alam yang melimpah ruah tapi sayangnya sumberdaya alam tidak di berikan kepada masyarakat pada umumnya contohnya saja baru baru ini,
Subsidi dalam bentuk BLT dianggap sebagai solusi agar subsidi tepat sasaran, sehingga mengurangi beban anggaran negara dalam menyediakan subsidi, dan akan diterapkan pada tahun 2026. Perubahan ini berpotensi menimbulkan masalah baru, seperti naiknya harga barang, turunnya daya beli, juga potensi korupsi dan kerumitan implementasi
Pengurangan subsidi menjadi salah satu konsekuensi dari penerapan sistem kapitalisme yang menjadikan negara hanya sebagai regulator.

Islam memiliki berbagai mekanisme pemenuhan kebutuhan Masyarakat dengan menjadikan negara sebagai rain dengan pelayanan yang sama pada semua individu rakyat
sistem islam yang sederhana, cepat dan petugas Amanah akan mewujudkan layanan pada rakyat yang membuat hidup rakyat nyaman dan Sejahtera.

Pemerintah tengah mewacanakan peralihan subsidi LPG pada BLT (Bantuan Langsung Tunai). Alasannya, selain karena dianggap tidak tepat sasaran, subsidi gas LPG ini pun semakin membebani APBN. Kebijakan ini sejalan dengan target pemerintah dalam upayanya memangkas subsidi dan kompensasi energi hingga Rp671 triliun pada 2025.

Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eddy Soeparno memerinci, jika harga gas LPG 3 kg bersubsidi saat ini di kisaran Rp20 ribu, maka setelah dicabut harganya menjadi Rp53 ribu. Ini karena pada setiap satu tabung gas LPG 3 kg terdapat subsidi pemerintah sebesar Rp33 ribu. Sebagai gantinya, pemerintah akan memberikan BLT kepada warga yang berhak sebesar Rp 100 ribu per bulannya. Nominal tersebut berdasarkan asumsi bahwa setiap bulannya rata-rata warga mengkonsumsi gas 3 kg sebanyak tiga tabung.

Peningkatan inflasi itu selanjutnya berdampak pada penurunan daya beli yang berujung pada menurunnya kesejahteraan masyarakat dan stabilitas perekonomian suatu negara. Lebih jauh lagi, kondisi kemiskinan dan ketimpangan ekonomi akan makin menyuburkan persoalan sosial hingga kriminalitas. Inilah efek domino pencabutan subsidi gas LPG yang akan dirasakan oleh masyarakat luas.

Sedangkan kompensasi yang diberikan yaitu pemberian BLT sebesar Rp100 ribu kepada yang berhak jelas tidak menyolusi. Selama ini, program BLT lainnya seperti BLT BBM, BLT subsidi upah, dan BLT UMKM sudah penuh dengan polemik. Birokrasi yang rumit dan pendataan yang buruk menyebabkan penyaluran BLT banyak yang salah sasaran. Untuk itu, mengalihkan subsidi LPG ke BLT dengan alasan agar semakin tepat sasaran, jelas logika absurd.

Alasan lain subsidi LPG, yang katanya membebani APBN, juga tidak bisa dibenarkan. APBN sendiri akan terus defisit meski anggaran untuk subsidi ditiadakan. Lemahnya APBN negeri ini tidak bisa dilepaskan dari politik APBN yang kapitalistik, yaitu APBN yang pemasukannya bertumpu pada pajak dan utang, tetapi pengeluarannya tidak fokus pada kemaslahatan umat. Atas dasar ini, pengalihan subsidi LPG ke BLT bukan hanya tidak efektif, tetapi juga akan menambah persoalan baru.


Buktinya, negara menganggap subsidi kepada rakyat adalah beban yang harus segera dihilangkan. Sedangkan BLT yang digelontorkan kepada rakyat jelas tidak sebanding dengan biaya kebutuhan hidup yang terus meningkat. Untuk itu, makin nyata bahwa BLT hanyalah politik pencitraan.

Mekanisme Islam
Islam memiliki berbagai mekanisme pemenuhan kebutuhan masyarakat dengan menjadikan negara sebagai periayah umat. Pelayanan negara kepada rakyat akan merata, tidak dibeda-bedakan berdasarkan statusnya. Dengan begitu, negara tidak akan merasa berat untuk memberi subsidi kepada rakyatnya, baik yang miskin maupun yang kaya.

Harga gas yang tidak lain kebutuhan rakyat harus terjangkau oleh mereka semua. Bahkan, gas yang gratis sangat mungkin terwujud. Ini karena dalam sistem Islam, negara akan mengelola seluruh SDA ( SUMBER DAYA ALAM ) secara mandiri dan hasilnya dikembalikan lagi kepada pemiliknya yaitu rakyat, baik dalam bentuk barang ataupun pembangunan sejumlah fasilitas umum seperti sekolah dan rumah sakit.

Negara juga akan mengharamkan swasta untuk mengelola SDA yang melimpah. Larangan ini terdapat dalam hadis Rasulullah saw., “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).

Regulasi kepemilikan yang mengharamkan swasta mengelola SDA melimpah akan menjadikan pemasukan baitulmal melimpah ruah. Negara juga bisa membangun kilang LPG, bahkan program jargas (jaringan gas) yang lebih ramah lingkungan pun akan bisa terwujud.

Selain sistem ekonominya yang dilandasi akidah Islam, penguasa negara Islam (Khilafah) juga memiliki visi melayani atau meriayah umat. Mereka akan berikhtiar dengan maksimal dalam mendistribusikan gas kepada seluruh warga, baik dengan mekanisme ekonomi maupun nonekonomi.

Kecintaan penguasa kepada rakyat menjadikan pendataan benar-benar diperhatikan, jangan sampai ada warga miskin yang terlewat diberi santunan. Pemberian santunan akan terus dilakukan hingga ia bisa keluar dari kemiskinannya. Baitulmal yang kuat akan meniscayakan hal tersebut.

Untuk melaksanakan mekanisme ini, negara akan melakukan beberapa langkah. Pertama, birokrasi dalam Islam akan dibuat sederhana sehingga mudah dan mempercepat proses pelayanan kepada rakyat.

Kedua, memilih petugas yang amanah karena ia berperan penting untuk menjadikan pelayanan semakin prima. Juga mengangkat para pejabat yang memiliki motivasi ruhiah sehingga tidak akan tergiur korupsi. Ini karena yang ia cari adalah pahala, bukan materi.

Ketiga, negara akan mempersiapkan SDM terbaik melalui sistem pendidikan yang berkualitas. Berbagai penelitian akan didukung penuh oleh negara sehingga negara akan terdepan dalam sains dan teknologi.

Wallahu a'lam bishawab


Share this article via

80 Shares

0 Comment