| 81 Views

Sistem Kapitalis Melahirkan Kebijakan Pajak Yang Zalim

Oleh : Kiki Puspita

Dikutip dari tirto.id-Mulai 1 Januari 2025, Pemerintah resmi menaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai(PPN) sebesar 12 persen. Perubahan tarif ini sesuai dengan keputusan yang telah diatur dalam pasal 7 ayat 1 huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Beberapa barang yang akan dikenakan PPN 12 persen antara lain beras premium, daging premium, buah premium, jasa kesehatan premium, dan jasa listrik dengan daya 3.500-6600 VA.

Sejumlah dalih diungkap pemerintah untuk menaikan PPN menjadi 12 persen. pertama, untuk meningkatkan pendapatan negara, kedua untuk mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri, Dan yang Ketiga untuk menyesuaikan dengan standar internasional.

Keputusan pemerintah ini mendapatkan penolakan dari masyarakat yang kondisi ekonominya kian tercekik. Bahkan muncul satu petisi yang meminta pemerintah membatalkan kenaikan PPN-change.org.

Tidak heran jika kenaikan PPN menuai pro kontra ditengah masyarakat luas. Defenisi barang mewah pada PPN 12 persen sendiri masih menjadi perbincangan, karena pengecualian hanya terbatas pada bahan pangan, pendidikan, kesehatan serta transportasi, itupun masih ada yang diluar daftar seperti pangan, pendidikan serta kesehatan premium tetap mengalami kenaikan. Diluar itu, alat mandi, cuci, tepung, bumbu, alat elektronik, transaksi elektronik dan berbagai kebutuhan lainnya mengalami kenaikan.

Penerapan PPN 12 persen ini semestinya dikaji kembali agar tidak salah sasaran dan justru menyengsarakan rakyat. Pemerintah harusnya perlu mewaspadai efek domino, dimana kenaikan harga barang-barang mewah dapat mempengaruhi biaya barang lain yang lebih esensial seperti logistik dan transportasi.

Inilah kezaliman sistem Kapitalis yang diemban saat ini. Sistem yang menjadikan pajak sebagai kebijakan yang dianggap dapat membantu negara mencapai kestabilan ekonominya karena mampu menyesuaikan pengeluaran negara dengan pendapatan yang diterima dari pajak.

Dalam sistem Kapitalisme,pajak menjadi sumber pendapatan tetap bagi negara.Wajar jika negara dengan berbagai caranya membuat rakyat nya harus membayar pajak dengan propaganda bahwa "warga yang baik adalah yang taat pajak". Kebutuhan pokok rakyatnya pun dikenai pajak.

Berbeda dengan Sistem Islam,ketika sistem Islam di terapkan tidak mengambil pajak dari masyarakat, sebagaimana yang terjadi dalam sistem kapitisme. Barang-barang dikenakan pajak, termasuk rumah, kendaraan, bahkan makanan.

Nabi saw. dahulu mengatur urusan-urusan rakyat dan tidak terbukti bahwa beliau memungut pajak atas masyarakat. Tidak ada riwayat sama sekali bahwa beliau memungut pajak. Ketika beliau mengetahui bahwa orang di perbatasan daulah mengambil pajak atas komoditas yang masuk ke negeri, beliau justru melarangnya. Dari ‘Uqbah bin ‘Amir bahwa ia telah mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Tidak masuk surga pemungut cukai.” (HR Ahmad dan disahihkan oleh Al-Hakim).

Memang tidak dipungkiri bahwa dalam Islam juga dikenal adanya pajak dengan istilah “dharibah”. Akan tetapi penerapan dan pengaturannya sangat berbeda secara diametral dengan konsep pajak dalam sistem kapitalisme.

Syekh Abdul Qadim Zallum mendefinisikan dharibah sebagai harta yang diwajibkan Allah Taala kepada kaum muslim untuk membiayai kebutuhan dan pos yang diwajibkan kepada mereka dalam kondisi ketika tidak ada harta di Baitulmal kaum muslim untuk membiayainya. (Al-Amwal fi Daulati al-Khilafah, hlm. 129).

Pajak bukanlah sumber tetap pendapatan Baitul mal (kas Khilafah). Pendapatan ini bersifat insidental ketika kondisi kas negara kosong dan hanya dibebankan kepada orang-orang kaya. (“Muqaddimah Ad-Dustur”, Nizham al-Iqtishadi fil Islam).

Jadi, pajak hanya akan ditarik dari warga negara muslim yang kaya ketika terjadi kondisi tertentu, semisal adanya bencana alam atau peperangan; ataupun ketika negara harus membayar gaji pegawainya, sedangkan harta di Baitul mal tidak ada. 

Setelah masalahnya sudah teratasi, penarikan pajak pun harus segera dihentikan. Dengan demikian, pajak dalam Islam, tidak akan dirasakan sebagai bentuk kezaliman yang dilakukan penguasa terhadap rakyatnya.

Hukum Syara' telah menetapkan sejumlah kewajiban dan pos, yang ada atau tidak adanya harta di Baitul mal tetap harus berjalan. Jika tidak ada harta di Baitul mal, kewajiban tersebut berpindah ke pundak kaum muslim. Ini karena jika tidak, akan menyebabkan terjadinya dharar bagi seluruh kaum muslim. Dalam rangka menghilangkan dharar saat Baitul mal tidak ada dana inilah, Khilafah boleh menggunakan instrumen pajak. Namun, hanya bersifat insidental, sampai kewajiban dan pos tersebut bisa dibiayai, atau baitulmal mempunyai dana untuk menutupinya. (Al-Amwal fi Daulati al-Khilafah, Syekh Abdul Qadim Zallum).

Syekh Atha’ Abu Rusytah menegaskan bahwa dalam Islam, pajak tidak diambil, kecuali pada kondisi yang wajib memenuhi dua syarat. Pertama, hal itu diwajibkan atas Baitul mal dan kaum muslim sesuai dengan dalil-dalil syaratkan yang jelas sesuai dengan hukum syara'. Kedua, tidak ada harta di Baitul mal yang mencukupi untuk kebutuhan itu. Dalam kondisi ini saja baru boleh mengambil pajak untuk memenuhi kebutuhan tanpa tambahan, diambil dari kelebihan harta orang-orang kaya, yaitu dari kelebihan untuk kebutuhan pangan, papan, dan sandang orang kaya itu beserta keluarganya, pembantunya, dan apa yang ia kendarai untuk menunaikan kebutuhannya dan sesuai kewajaran di masyarakat.Hanya dengan sistem Islam kehidupan masyarakat dapat terjamin kesejahteraannya.

Wallahu A'lam bi ash-shawab


Share this article via

97 Shares

0 Comment