| 152 Views
Sistem Islam Solusi Hakiki Pemberantasan Korupsi

Oleh: Erna Ummu Azizah
Lagi-lagi masyarakat Indonesia dikejutkan dengan putusan hakim yang hanya memvonis 6,5 tahun penjara dan denda 1 miliar kepada terpidana kasus korupsi timah Harvey Moeis yang telah merugikan negara mencapai Rp300 triliun. Hal ini jelas sangat mencederai rasa keadilan rakyat.
Hal ini pun diungkapkan oleh Direktur Ramangsa Institute Maizal Alfian, bahwa vonis ringan Harvey Moeis mencederai rasa keadilan masyarakat dan melemahkan upaya pemberantasan korupsi. Korupsi dengan dampak sebesar ini seharusnya dihukum dengan sanksi yang setimpal untuk memberikan efek jera dan menunjukkan komitmen negara dalam memberantas korupsi. (RMOL, 31/12/2024)
Bahkan, Presiden Prabowo Subianto mengatakan bahwa kerugian negara dalam kasus tersebut sangat besar. Karena itu, jika memang sudah terbukti bersalah, semestinya terdakwa mendapat hukuman yang setimpal. Bahkan bila perlu, mengajukan tuntutan vonis 50 tahun. (Radar Bogor, 31/12/2024)
Inilah potret buram pemberantasan kasus korupsi di Indonesia. Ibarat 2 mata pisau, tumpul ke atas namun tajam ke bawah. Tentu kita masih ingat, kasus nenek Asyani (63) yang didakwa hukuman 5 tahun penjara hanya karena mencuri tujuh 7 buah batang kayu jati milik Perhutani. Sungguh miris dan ironis!
Korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) karena telah merusak sendi kehidupan masyarakat dan negara. Namun sayangnya, di sistem Demokrasi-Kapitalisme seperti saat ini, para perampok uang negara tidak mendapat sanksi yang menjerakan, bahkan cenderung hanya melahirkan bibit-bibit koruptor yang baru. Maka tak heran banyak pihak menyebut Indonesia sebagai surganya para koruptor.
Berbeda dengan sistem sanksi (uqubat) dalam Islam yang berfungsi sebagai zawajir (pencegah), yaitu mencegah agar kasus serupa tidak terulang kembali; juga sebagai jawabir (penebus dosa) yang disyariatkan untuk mencapai kemaslahatan yang telah hilang disebabkan adanya tindak pidana.
Dalam buku Sistem Sanksi dan Hukum Pembuktian dalam Islam yang ditulis Abdurrahman al-Maliki dijelaskan hukuman takzir bagi pelaku khianat harta seperti korupsi bisa berupa teguran dari hakim, penjara, pengenaan denda, pewartaan atau pengumuman pelaku di hadapan publik melalui televisi atau media massa, hukuman cambuk, hingga hukuman mati.
Persoalan korupsi adalah masalah sistemis yang penanganannya butuh solusi sistemis pula. Di sinilah Islam hadir sebagai sebuah sistem kehidupan yang mampu memberi solusi atas segala permasalahan, termasuk masalah korupsi, yaitu dengan menegakkan 3 pilar penerapan syariat Islam.
Pertama, tentunya individu yang bertakwa. Hal ini dibentuk dengan adanya sistem pendidikan yang berbasis akidah Islam. Dimana setiap individu akan dipahamkan bahwa setiap perbuatan akan dimintai pertanggungjawaban. Sehingga lahirlah generasi yang taat kepada Allah dan tidak bermaksiat kepada-Nya, termasuk berbuat korupsi.
Kedua, masyarakat yang senantiasa melakukan amar makruf nahi mungkar. Hal ini penting sebagai bentuk kepedulian masyarakat guna mencegah kasus kejahatan maupun maksiat seperti korupsi agar tak marak di tengah umat. Kewajiban dakwah dan muhasabah lil hukam (koreksi kepada penguasa) akan senantiasa ditegakkan sehingga lahir keadilan dan kedamaian di tengah masyarakat.
Ketiga, negara yang menerapkan syariat Islam secara kaffah (menyeluruh). Baik dalam sistem ekonomi, pendidikan, kesehatan, sosial, pemerintahan, juga sanksi hukum. Sehingga terciptalah masyarakat yang sejahtera dan berkeadilan.
Hal ini sebagaimana tercantum dalam Surat Al-Baqarah ayat 208, yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam secara menyeluruh dan janganlah ikuti langkah-langkah setan! Sesungguhnya ia musuh yang nyata bagimu”. Wallahu a'lam bishawab