| 164 Views

Sistem Islam Menjamin Ketahanan Pangan

Oleh : Ummu Balqis
Aktivis Muslimah Ngaji

Beras merupakan bahan pokok masyarakat Indonesia yang harus dipenuhi setiap hari. Karena itu, keberadaannya sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia. Namun, kondisi hari ini sungguh ironis. Di negeri subur dan tropis, justru harga beras dalam negeri lebih mahal.

Indonesia menjadi negara dengan harga beras dalam negeri tertinggi di kawasan ASEAN saat ini. Harga beras lebih mahal 20 persen daripada harga beras di pasar global. Tingginya harga beras disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain adalah kenaikan biaya produksi dan pembatasan impor, pengetatan tata niaga melalui nontarif. Hal ini diungkapkan oleh Carolyn Turk, Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor-Leste.

Meskipun demikian,  penghasilan petani lokal justru tak sebanding dengan tingginya harga beras dalam negeri. Pendapatan rata-rata petani kecil per hari kurang dari 1 dollar AS atau Rp15.199, sedangkan per-tahun sekitar 341 dollar AS atau Rp5,2 juta. Menurut catatan Bank Dunia, penduduk lndonesia yang bisa membeli makanan sehat hanya sekitar 31 persen saja.

Ironis memang jika dilihat dari segi alam Indonesia yang subur, gemah ripah loh jinawi, tetapi rakyatnya hidup penuh tekanan dan kesengsaraan, terutama dalam hal kebutuhan dasar, seperti pangan. Dalam hal ini, beras merupakan bahan pokok yang harus dipenuhi setiap hari.
Ini menunjukkan bahwa negara masih dalam cengkeraman sistem kapitalisme yang tidak pro kepada rakyat. Sistem ini berhasil menguasai semua lini, termasuk sektor pertanian.

Kapitalisme sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan telah terbukti mampu memporak-porandakan seluruh tatanan kehidupan manusia. Di sisi lain, peran negara pun hanya sebagai regulator bagi para oligarki yang punya kepentingan melalui kebijakan-kebijakan yang menguntungkan mereka. Contoh nyata adalah pengelolaan sumber daya alam yang diserahkan kepada pihak swasta dan asing sehingga mereka bebas mengeksploitasi alam, termasuk lahan pertanian.

Harga beras yang semakin tinggi disebabkan oleh berbagai faktor. Salah satunya adalah keterbatasan sistem informasi pangan dan ketidakmampuan dalam mengintegrasikan data pangan dari tingkat pusat hingga desa. Hal itu menyebabkan kesulitan dalam memprediksi ketersediaan pangan yang pada gilirannya mengganggu proses distribusi dan penyediaan, serta masih banyak faktor yang lain.

Faktor paling menonjol yang menyebabkan kenaikan harga beras saat ini adalah penguasaan oligarki pada sektor pertanian saat ini. Para petani tidak dibantu oleh pemerintah. Mereka dipaksa untuk mandiri, terlebih yang memiliki modal sedikit. Banyak dari mereka yang mengadu tentang sulitnya pengairan sawah pada musim kemarau, sedangkan hasil penjualan tidak memberikan keuntungan. Kondisi ini malah menyulitkan dan tidak menyejahterakan bagi petani sedikit pun. Namun, suara mereka tidak dipedulikan oleh para penguasa. 

Hal ini merupakan buah dari penerapan sistem kapitalisme. Sistem ini menjadikan negara hanya sebagai fasilitator, bukan sebagai pengurus yang meriayah rakyat. Penerapan sistem ini menghilangkan hakikat seorang pemimpin, yaitu yang bertanggung jawab atas segala kebutuhan rakyat.

Di sisi lain, ketika harga beras mahal, para petani justru tidak sejahtera. Pendapatannya sedikit karena biaya pengelolaan lahan mulai dari pupuk, bibit, sarana dan prasarana pertanian yang memerlukan biaya mahal harus mereka tanggung sendiri. Sedangkan ketika panen, harga jualnya murah. Begitulah jahatnya ketika semua sektor pertanian sudah dikuasai para kapitalis, sedangkan negara hanya sebagai fasilitator.

Maka, wajar jika masalah pangan ini terus menjadi polemik berkepanjangan, sedangkan solusi yang ditawarkan negara hanya bersifat pragmatis. Ketika harga beras mahal, rakyat disuruh mengonsumsi ubi, singkong, dan palawija lainnya. Begitu juga ketika harga cabe dan minyak mahal, pemerintah dengan gampangnya menyarankan agar menanam cabe sendiri di pekarangan rumah dan mengolah makanan dengan cara merebus. Begitulah celoteh para pengusaha yang sangat tidak pantas dan konyol. Negara gagal mengatur kedaulatan pangan dan hanya mengekor arahan para korporasi.

Sedangkan Islam adalah satu-satunya aturan kehidupan yang mampu memberi kesejahteraan bagi rakyat. Islam betul-betul memperhatikan masalah kebutuhan dasar rakyat seperti sandang pangan, dan papan. Terkait masalah beras, tentu saja Islam sudah punya solusi agar semua hak-hak rakyat terpenuhi dengan baik. Perlu diketahui bahwa Islam sebagai negara yang independen tidak mengekor pada siapa pun. Islam juga tidak bisa disetir oleh pihak-pihak tertentu seperti halnya dalam sistem demokrasi. Negara hanya mempraktikkan atau melaksanakan syariat Islam dalam rangka mengurus urusan rakyat. 

Adapun langkah yang dilakukan adalah dengan memprioritaskan pengolahan lahan hijau agar selalu berproduksi, meminimalisir terjadinya alih fungsi lahan, menyediakan pupuk dan bibit unggul yang berkualitas. Islam juga tidak akan membiarkan ada lahan yang terbengkalai dan tidak diurus (tanah mati) oleh pemiliknya. Ketika ada tanah mati atau tanah yang tidak diurus selama tiga bulan, maka khalifah akan membolehkan siapa saja yang mau mengurus lahan tersebut sehingga tetap berproduksi. 

Bisa dipastikan bahwa hasil dari pengolahan lahan yang diatur oleh sistem Islam akan bisa menjamin kebutuhan pangan bagi masyarakat. Di dalam Islam, kepentingan dan kebutuhan rakyat merupakan kewajiban negara.  Sebagai contoh, dulu ketika masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, beliau pernah berkeliling pada malam hari untuk memastikan kebutuhan rakyat telah terpenuhi. Ketika mendengar tangisan anak kecil karena kelaparan, beliau segera pulang untuk mengambil beberapa makanan pokok untuk diberikan kepada keluarga anak kecil itu.

Sungguh mulia hati Sayyidina Umar. Beliau begitu adil dan bertanggung jawab dalam kepemimpinannya. Pemimpin yang semacam ini tidak akan ada kecuali dalam sistem Islam. Hanya Islamlah yang mampu melahirkan pemimpin yang bertanggung jawab serta menjalankan amanah dengan baik. Dengan sistem Islam ini, masyarakat akan sejahtera.

Walaupun demikian, Islam tidak melarang impor, selama memang benar-benar di butuhkan dan dalam kondisi darurat. Namun, kemungkinan itu sangat kecil. Dalam pendistribusian, Islam tidak mengenal monopoli pasar bebas, sehingga harga relatif stabil. Kondisi tersedia didukung pula dengan sanksi yang tegas, sehingga meminimalisir terjadinya berbagai macam kecurangan.


Share this article via

64 Shares

0 Comment