| 91 Views

Sengkarut Ibadah Haji ; Negara Tidak Serius?

Oleh : Alfiah, S.Si.

Pelaksanaan ibadah haji 2024 telah usai. Semoga jemaah yang menjalankannya mendapatkan predikat haji mabrur. Namun ternyata penyelenggaraan ibadah haji tahun ini banyak menuai kritik tajam akibat banyaknya keluhan dari para jemaah haji Indonesia atas pelayanan yang sangat buruk dan memprihatinkan. Ironisnya persoalan pelayanan ibadah haji kerap terjadi dari tahun ke tahun, mulai dari masalah kesehatan, migrasi, tenda, MCK dan lain-lain.

Ketua Tim Pengawas Haji Muhaimin Iskandar menyayangkan tenda gaji yang sempit sehingga membuat ruang gerak jemaah tidak lebih dari satu meter. Jelas kondisi ini membuat jemaah haji tidak kebagian tempat tidur di dalam tenda. Selain masalah tenda, kondisi toilet juga dikeluhkan jemaah karena mereka harus antre berjam-jam. Sementara persoalan tahun 2023 lalu adalah terkait akomodasi dan transportasi yang tidak dikelola dengan baik sehingga banyak jemaah haji asal Indonesia yang terlantar di Muzdalifah hingga kesulitan mendapatkan makanan. (cnnindonesia.com, 20/6/2024).

Tentu saja hal ini menjadi perhatian semua pihak karena fasilitas layanan haji yang disediakan tak sebanding dengan biaya besar yang sudah dikeluarkan jemaah. Padahal jemaah haji adalah tamu Allah. Kalau tamu kita saja, kita diperintahkan untuk memuliakan. Apalagi tamu Allah, seharusnya lebih dimuliakan lagi. Akan sangat naif, sudahlah jemaah haji membayar mahal untuk bisa berangkat haji dan antre bertahun-tahun tetapi pelayanannya sangat memprihatikan dan masih karut marut.

Hal ini mengkonfirmasi bahwa negara belum memiliki manajemen pelayanan haji yang ditata secara komprehensif. Akibatnya, pelayanan haji tiap tahun pasti ada kekurangan yang berulang. Seharusnya negara mampu melakukan pemetaan mitigasi haji diprosesi mana saja yang beresiko tinggi dan rendah. Mana yang berpotensi penuh sesak setiap tahun dipisahkan. Hendaknya dibuat zona merah dan biru (zona aman). Berarti yang dijadikan fokus perhatian adalah zona merah.

Berbagai persoalan karut marutnya pelayanan haji tidak terlepas dari upaya komersialisasi pengurusan ibadah haji akibat penerapan sistem ekonomi kapitalis yang diterapkan negeri ini. Apalagi menurut Anggota Komisi VIII DPR Luluk Nur Hamidah ada dugaan mafia rente yang sudah berjalan terlalu lama dalam penyelenggaraan ibadah haji. Dugaan praktek ini jelas hanya akan menguntungkan sebagaian kecil kelompok dan merugikan jemaah. Praktik rente ini harus diakhiri segera dan harus ada transparansi seluruh proses penyelenggaraan pelayanan haji.

Kalau paradigma penyelenggaraan ibadah haji semata ajang bisnis kelompok tertentu, jelas hal ini akan berdampak pada jamaah haji yang tidak mendapatkan kenyamanan dalam beribadah di tanah suci.

Usulan membuat panitia khusus (pansus) tidak akan mampu menyelesaikan persoalan jika paradigma pelayanan ibadah haji berbasis kapitalis. Jika ingin ada perubahan agar tidak terus menerus berulang pelayanan haji yang buruk maka harus ada perubahan yang menyeluruh, progresif dan revolusioner semua aspek yang terkait dengan ekosistem haji.

Negara perlu melakukan dialog dengan Otoritas Arab Saudi secara komprehensif untuk peningkatan layanan haji, sehingga setiap tahun tidak berkutat pada persoalan pelayanan jemaah haji. Jangan serakah hanya fokus pertambahan kuota tetapi layanan tidak diperhatikan.

Berbagai persoalan layanan haji saat ini tentu tidak akan terjadi jika Islam diterapkan sebagai sebuah sistem. Dalam sistem Islam, ditetapkan bahwa negara adalah raain yaitu pelayan rakyat yang akan mengurusi rakyat dengan baik berbagai urusan umat apalagi terkait pelaksanaan ibadah haji yang merupakan rukun Islam yang kelima.

Amanah adalah sifat yang harus melekat pada pemimpin yang di pundaknya diletakkan tanggung jawab tang besar untuk mengurusi urusan rakyatnya. Pemimpin dalam Islam menyadari bahwa kelak ia akan dimintai pertanggungjawaban di hari penghisaban. Seorang yang diamanatkan tanggung jawab tidak akan menjadikan amanah itu sebagai lahan bisnis atau profit, sehingga ia akan takut jika ada yang terzolimi jika amanah disia-siakan.

Selain itu Islam juga memiliki mekanisme birokrasi yang sederhana dan praktis serta profesional dalam pelayanan haji sehingga memberi kenyamanan beribadah kepada rakyatnya. Perlu dipahami bahwa memberikan pelayanan kepada jemaah haji sudah ada sejak Arab pra Islam. Melayani para tamu Allah menjadi tradisi mulia kabilah Quraisy yang berlangsung di Makkah hingga zaman Nabi Muhammad SAW seperti memberikan minum kepada para jemaah haji (siqoyatul haji). 

Kabilah Quraisy membagi peran mereka selama musim haji. Ada yang bertugas memegang kunci Ka'bah, ada yang memberikan minuman kepada para jemaah haji yang datang dari berbagai penjuru dunia.  Pada zaman Nabi Muhammad SAW, tugas pelayanan jemaah haji diemban oleh paman Beliau, Abbas bin Abdul Muthalib Ra.

Sebagaimana dikisahkan dalam hadis riwayat al-Bukhari bahwa Al-'Abbas bin Abdul Muṭṭalib meminta izin kepada Rasulullah ṣallallahu 'alaihi wasallam- untuk bermalam di Makkah pada hari-hari di Mina karena tugasnya dalam memberi minum (jamaah haji). Beliau pun memberinya izin." (HR Bukhari). 

Apa yang dilakukan Abbas bin Abdul Muthalib ra. semata-mata ingin membantu para jemaah haji di Makkah yang ingin mengambil air Zamzam. Sungguh sifat dan akhlak mulia yang ditunjukan oleh paman Nabi demi melayani jemaah haji.

Harusnya filosofi ini yang dimiliki oleh negara dalam melayani para jemaah haji. Memberi minum jemaah haji dengan air zamzam saja termasuk ibadah yang mulia. Apalagi sampai memberikan bantuan, baik berupa fisik, bimbingan ibadah dan bantuan lainnya kepada jemaah haji.

Motivasi membantu dan melayani jemaah haji hendaknya ridho Allah SWT juga bertujuan agar mendapatkan pahala. Jadi bukan hitung-hitungan materi ataupun untung rugi. Allah SWT berfirman: "Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa" (al-Mâidah/5:2)

Tentunya semua berpulang pada peran negara sebagai pelayan rakyat. Wahai pemimpin negeri ini takutlah akan doa Rasulullah SAW: “Ya Allah, barangsiapa yang mengurusi urusan umatku kemudian dia merepotkan umatku maka susahkanlah dia.” (HR. Muslim: 1828).Wallahu a'lam bi ash shawab


Share this article via

80 Shares

0 Comment