| 17 Views

Sekolah Rakyat dan Sekolah Unggulan: Menjawab Masalah atau Menambah Kesenjangan?

Oleh : Hidayati Sundari

Pada awal Januari 2025, pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Muhaemin Iskandar, mengumumkan rencana pembangunan Sekolah Rakyat bagi masyarakat miskin. Program ini berada di bawah naungan Kementerian Sosial (Kemensos). Di saat yang hampir bersamaan, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisainstek) menggagas pendirian Sekolah Unggulan Garuda bagi siswa berprestasi tinggi.

Sekolah Rakyat bertujuan menyediakan pendidikan gratis dan berkualitas untuk anak-anak dari keluarga miskin ekstrem. Sementara Sekolah Unggulan Garuda diperuntukkan bagi siswa dengan pencapaian akademik tinggi untuk mengejar ketertinggalan di bidang sains dan teknologi. Kedua sekolah ini dirancang berkonsep asrama (boarding school) dengan fasilitas lengkap, mulai dari kebutuhan pokok, seragam, alat belajar, hingga makanan bergizi.

Sekilas, kebijakan ini terdengar menjanjikan. Namun wacana tersebut menuai kritik dan kekhawatiran. Di tengah semangat efisiensi anggaran negara, muncul pertanyaan: mengapa membangun dua sekolah baru dengan segmentasi sosial yang berbeda? Bukankah ini justru berisiko menambah ketimpangan sosial dalam dunia pendidikan?

Ketimpangan pendidikan di Indonesia saat ini masih tinggi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024 menunjukkan rata-rata lama sekolah nasional baru mencapai 9,22 tahun—setara tingkat SMP. Di DKI Jakarta, angkanya mencapai 11,5 tahun, sementara di Papua Pegunungan hanya 5,1 tahun, bahkan belum menyelesaikan SD. Kesenjangan juga tampak jelas antara kota dan desa: 49,16% penduduk kota menamatkan pendidikan SMA, sedangkan di desa hanya 27,98%, dan mayoritas hanya lulusan SD.

Kondisi ini diperburuk oleh ketimpangan fasilitas pendidikan: keterbatasan guru, infrastruktur minim, hingga akses teknologi yang terbatas, terutama di daerah terpencil. Tak heran jika skor Indonesia dalam PISA 2022—penilaian internasional untuk kemampuan membaca, matematika, dan sains—masih jauh di bawah rata-rata global.

Melihat kenyataan itu, pembangunan dua jenis sekolah yang terpisah berdasarkan status ekonomi dan prestasi akademik justru berpotensi memperlebar jurang pendidikan. Sebaliknya, yang lebih mendesak adalah perbaikan menyeluruh terhadap sekolah-sekolah formal yang sudah ada. Mulai dari peningkatan fasilitas, pemerataan distribusi guru, pelatihan tenaga pendidik, hingga jaminan kesejahteraan mereka.

Untuk Sekolah Rakyat, pemerintah berencana membangun 200 titik dengan anggaran sekitar Rp100 miliar per sekolah. Sementara anggaran awal Sekolah Unggulan Garuda sebesar Rp2 triliun, meski kemudian dipangkas menjadi Rp800 miliar. Bayangkan, andai saja dana sebesar itu dialokasikan untuk memperkuat sekolah-sekolah eksisting, dampaknya bisa lebih luas dan merata.

Dalam perspektif Islam, pendidikan adalah kebutuhan dasar yang wajib dipenuhi oleh negara tanpa syarat. Negara dalam sistem Islam bertanggung jawab penuh untuk menyediakan layanan pendidikan yang berkualitas dan merata kepada seluruh rakyat—tanpa memandang latar belakang ekonomi, sosial, atau kemampuan akademik. Tidak dikenal konsep segmentasi seperti negeri, swasta, unggulan, atau rakyat. Semua mendapatkan hak yang sama atas ilmu.

Pendidikan dalam Islam tidak semata-mata ditujukan untuk menghasilkan tenaga kerja yang siap pakai, tetapi lebih dalam dari itu: untuk mencetak individu yang berilmu, beradab, dan bertakwa. Tujuannya adalah membentuk generasi yang memahami hakikat kehidupan, mampu menjadi agen perubahan, dan memiliki tanggung jawab moral terhadap masyarakat dan penciptanya.

Dalam sejarah Islam, negara (khilafah) menggratiskan pendidikan sejak jenjang dasar hingga tingkat tinggi. Para ulama dan ilmuwan besar seperti Imam Syafi’i, Al-Farabi, hingga Ibnu Sina tumbuh dalam sistem pendidikan yang bebas biaya dan terbuka untuk siapa pun. Tidak ada pembedaan berdasarkan status sosial, semua diberi akses setara terhadap ilmu pengetahuan.

Jika pemerintah hari ini sungguh ingin menyelesaikan persoalan pendidikan, maka keadilan harus menjadi prinsip utama. Pendidikan bukan proyek, bukan alat branding politik, tapi amanah. Dalam Islam, setiap kebijakan harus dilandasi asas keadilan dan kebermanfaatan bagi seluruh umat, bukan hanya sebagian.


Share this article via

0 Shares

0 Comment