| 60 Views

Rumah Moderasi, Benarkah Rumah Kita?

Oleh : Ummu Zhafran
Pegiat Literasi

Di tengah riuh rendah penolakan soal kenaikan pajak, soal moderasi nyatanya terus masif digaungkan. Kali ini sudah dilengkapi dengan rumahnya. Rumah moderasi. 

Bermula dari terbitnya Peraturan Presiden No.18 tahun 2020. Di dalamnya termuat pasal yang menugaskan Kementerian Agama RI  sebagai leading sector terkait Moderasi Beragama.

Maka  seluruh Perguruan Tinggi Keagamaan Islam sebagai satuan kerja di bawah Kementerian Agama, diminta membangun Rumah Moderasi Beragama. Kabarnya hal tersebut bertujuan untuk mencegah merebaknya radikalisme. (kemenag.go.id, 13-4-2023)

Pertanyaannya, mengapa radikalisme? Benarkah radikalisme wujud hingga darurat di negeri ini? Sebelum lebih jauh menjawab soal di atas, menarik untuk mengkaji apa makna sikap moderat alias moderasi yang dirumuskan perumus aslinya dari Barat. Rand Corporation, sebuah lembaga think-thank dari Amerika Serikat menulis dalam salah satu artikelnya,

“Muslim moderat adalah mereka yang (setuju) demokrasi dan HAM yang diakui secara internasional (termasuk persamaan gender dan kebebasan beribadah), respek terhadap perbedaan, setuju terhadap sumber hukum yang non-sektarian dan menentang terorisme dan bentuk-bentuk kekerasan yang terlarang lainnya.” (Building Moderate Muslim Networks) 

Dengan kata lain, bicara moderasi berarti bicara kepentingan membangun relasi yang baik antar agama. Maka menjadikan moderasi sebagai kebijakan prioritas guna menangkal yang disebut-sebut radikalisme, layak mengundang tanya. Benarkah semua persoalan yang terjadi bermuara pada konflik horizontal berbasis agama yang notabene radikal? Kenyataannya tidak. Banyak problem serius justru tidak ada kaitannya dengan hal tersebut. Seperti penyalahgunaan narkoba, kenaikan BBM, kemiskinan, stunting, maraknya bullying, dan masih banyak lagi. Tetapi penguatan moderasi beragama tetap melaju. Bahkan begitu seriusnya urusan ini sampai harus terbit Perpres (Peraturan Presiden) Nomor 58 Tahun 2023 tentang Penguatan Moderasi Beragama. (Republika.co.id, 25/9/2023)

Lantas mengapa harus terus menggiatkan moderasi? Jawabnya, mengutip dari laman resmi Kominfo, bahwa terdapat kecenderungan sebagian orang terjebak pada pengamalan agama yang terlalu fanatik. Atas nama agama, jadilah sebagian orang menebarkan caci maki, amarah, fitnah, berita bohong, memecah belah, bahkan menghilangkan eksistensi kelompok berbeda. Untuk itu, mereka yang mengamalkan pemahaman agama yang berlebihan itu diharapkan mengambil jalan moderat yang dapat memanusiakan manusia. (Kominfo.go.id, 2019)

Dari  kata yang tersurat, harus diakui ada yang mengganjal. Seruan untuk moderat seakan mengirim pesan bahwa Islam yang ideal adalah yang ramah, santun, anti fanatisme dan menjunjung tinggi toleransi. Sebaliknya, muslim yang taat pada syariat terlebih ingin totalitas menjalankan aturan Sang Maha Pencipta, diberi stigma negatif seperti radikal, menebar ujaran kebencian bahkan benih terorisme.

Tambahan lagi, guna menguatkan istilah moderat agar mudah diterima, surah Al Baqarah ayat 143 tak jarang diangkat pula sebagai dalil,

“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), ummatan wasathan (umat pertengahan) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” 

Padahal jika kita merujuk pada kitab tafsir Imam At-thabary, maka makna wasath diartikan sebagai ‘udulan (umat yang adil) dan khiyar (terpilih) yaitu adil dan terbaik mengikuti syariat dari Allah, Dzat Yang Maha Adil.
Alangkah ironis. Di negeri dengan pemeluk Islam terbesar dunia justru ajaran Islam dikerat dengan ide moderat. Padahal sami’na wa atho’na (kami dengar dan taat) terhadap segala yang datang dari Allah dan Rasul-Nya sejak lama telah menjadi pedoman umat. Tak seharusnya direduksi sebatas kewajiban salat, puasa, zakat dan haji bagi yang mampu saja.
Allah Swt. berfirman,

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan jangan kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS Al Baqarah:208)
Dalam tafsirnya untuk ayat di atas Imam Ibnu Katsir menegaskan perintah Allah untuk masuk ke dalam syariat Nabi Muhammad saw. dan untuk tidak meninggalkan sesuatu pun yang ada padanya.

Nyata, Islam justru tidak mengenal adanya moderasi. Toleransi yang disyariatkan Islam pun kenyataannya berbeda dengan moderasi. Bagimu agamamu, bagiku agamaku tentu tak berarti harus mengakui semua agama itu sama. Terutama bagi umat muslim yang meyakini janji Allah Swt. akan Islam dengan syariahnya yang kafah yang diturunkan sebagai rahmat untuk seluruh alam.
Wallahua’lam bishowwab.


Share this article via

61 Shares

0 Comment