| 158 Views
Rakyat Puas akan Kinerja Pemerintah, Benarkah?

Oleh : Sukey
Aktivis Muslimah Ngaji
Pada 20 Oktober 2024, nanti Presiden Jokowi akan melepas jabatannya. Ia dan jajarannya boleh merasa lega, bahkan mungkin berbangga. Hasil survei yang dilakukan beberapa surveyor nasional menyatakan soal keberhasilan 10 tahun kepemimpinannya. Deputi Protokol dan Media Sekretariat Presiden Yusuf Permana menghargai hasil survei Indikator Politik Indonesia yang menunjukkan tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja Presiden Joko Widodo.
Sigi terbaru menyebut kepuasan publik terhadap Jokowi menjelang akhir masa jabatannya mencapai 75 persen. Direktur Eksekutif Indikator Politik Burhanuddin Muhtadi menyampaikan hasil kinerja Jokowi ini dalam Rilis Temuan Survei Nasional: Evaluasi Publik Terhadap 10 Tahun Pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam keterangan pada Jumat 4 Oktober 2024.
Burhanuddin merinci, sebanyak 15,04 persen masyarakat merasa sangat puas dan 59,92 persen masyarakat cukup puas terhadap Jokowi. Lalu, sebanyak 20,21 persen yang merasa kurang puas dan 4,23 persen tidak puas sama sekali. "Lalu ada 0,60 persen masyarakat yang tidak tahu/tidak menjawab," kata Burhanuddin. Penelitian mengungkap ada penurunan dari survei Indikator Politik terhadap Jokowi.
Pada Juli 2024, Jokowi mendapatkan angka 82 persen. Lalu September 2024 di angka 75 persen. Survei Indikator Politik Indonesia ini melibatkan 3.540 responden di seluruh Indonesia. Periode survei Indikator Politik ini mulai dilakukan pada 22 sampai 29 September 2024. Penarikan sampel menggunakan metode multistage random sampling. Margin of error sekitar 2,3 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen (tempo.co;04/10/2024).
Jika menilik lebih jauh antara hasil survei dan fakta yang terjadi di lapangan, tampak ada disparitas alias kesenjangan yang signifikan. Terlebih jika kita melihat segala yang berkembang di media sosial, suara-suara kritik dan ketakpuasan sering kali mencuat ke permukaan, bahkan dengan narasi yang vulgar.
Para surveyor dan penerima manfaat tentu akan mempertahankan bahwa akurasi dan validitas survei beserta hasilnya bisa dipertanggungjawabkan secara keilmuan. Misal, penggunaan metode random sampling, serta tingkat kepercayaan survei yang berada minimal pada angka 95% dengan margin of error penelitian yang sekitar 4%.
Namun masalahnya, soal sukses kepemimpinan tentu tidak bisa ditentukan sekadar oleh survei kepuasan publik. Bagaimanapun, penggunaan metode sampling tidak bisa 100% menggambarkan realitas. Begitu pun dengan indikator penilaian yang bersifat kuantitatif tidak bisa menggambarkan apa yang terjadi di lapang secara komprehensif. Lebih urgen dari itu, kesimpulan hasil survei dipastikan mengesampingkan pihak minoritas yang menjawab tidak puas, padahal mereka pun merupakan warga negara yang berhak mendapatkan layanan prima.
Betul bahwa pada awal pemerintahan Jokowi, banyak yang menyimpan harap, mengingat PR pada periode pemerintahan sebelumnya begitu banyak. Namun, tidak butuh waktu lama, borok-borok kepemimpinannya mulai terbuka. Banyak kegaduhan yang dibuat, mulai soal penegakan hukum, dan HAM termasuk maraknya isu lingkungan, kasus perampasan ruang, dan ketakadilan. Juga maraknya skandal megakorupsi, banyaknya proyek mangkrak, hingga soal lemahnya ketahanan data.
Tidak sedikit pula yang menilai bahwa berbagai warisan pembangunan Jokowi yang jorjoran tidak mencerminkan proses yang demokratis dan justru mencerabut hak masyarakat terdampak. Jokowi disebut-sebut otoriter, pro pada oligarki, bahkan melayani kepentingan asing. Lihatlah problem buruh yang hingga hari ini tidak selesai-selesai. Mereka diterpa tsunami PHK di tengah daya beli yang makin rendah.
Di sisi lain, kekuasaan oligarki makin mencengkeram. Ini terlihat jelas dalam struktur politik dan ekonomi di mana sejumlah kecil konglomerat mengendalikan sektor-sektor strategis, seperti sumber daya alam (pertambangan, perkebunan), infrastruktur, dan perbankan. Para oligarki ini juga sering memiliki kedekatan dengan lingkaran kekuasaan politik. Ini memungkinkan mereka memengaruhi kebijakan publik demi keuntungan pribadi dan kelompoknya.
Belum lagi ragam persoalan di bidang hukum, sosial, pendidikan, dll. yang makin ke sini tampak makin rumit dan kompleks. Yang paling merefleksi hal ini adalah proyek IKN yang hingga hari ini tanggung jawabnya hendak dilempar. Juga kasus Rempang dan sejenisnya yang masih berbuntut panjang, serta pembukaan ekspor pasir laut yang begitu menghebohkan.
Hal lainnya adalah banyaknya proyek mangkrak serta kegemaran importasi dan berutang atasnama investasi untuk PSN. Juga yang tidak kalah kontroversial adalah soal upayanya membangun politik dinasti di tengah gagalnya wacana tiga periode kepemimpinan serta upaya pelemahan fungsi kelembagaan KPK, MK dan MA yang tampak telanjang. Dalam hal ini, ia dituding sengaja mengonsolidasi oligarki demi melanggengkan kekuasaan dan memuluskan jalan keluarga dan kroni lainnya menuju kursi panas kepemimpinan.
Di dalam Islam, kekuasaan hakikatnya adalah amanah. Amanah kekuasaan ini bisa menjadi beban pemangkunya di dunia sekaligus bisa mendatangkan siksa bagi dirinya di akhirat. Nabi saw. bersabda,
“Kepemimpinan itu awalnya bisa mendatangkan cacian, kedua bisa berubah menjadi penyesalan, dan ketiga bisa mengundang azab dari Allah pada Hari Kiamat, kecuali orang yang memimpin dengan kasih sayang dan adil.” (HR Ath-Thabarani).
Sikap kasih sayang pemimpin ditunjukkan dengan upayanya untuk selalu memudahkan urusan rakyat, menggembirakan mereka, serta tidak menakut-nakuti mereka dengan kekuatan aparat dan hukum. Kekuasaan adalah amanah. Nabi saw. mengingatkan para pemangku jabatan dan kekuasaan agar tidak menipu dan menyusahkan rakyatnya. Beliau saw. bersabda,
“Tidaklah seorang hamba—yang Allah beri wewenang untuk mengatur rakyat—mati pada hari ia mati, sementara ia dalam kondisi menipu rakyatnya, melainkan Allah mengharamkan surga bagi dirinya.” (HR Al-Bukhari).
Di dalam Islam, agar pemangku kekuasaan bertindak amanah, ia wajib mengemban kekuasaannya di atas pondasi agama, yakni Islam. Inilah yang juga ditegaskan oleh Imam Al-Ghazali rahimahulLâh,
“Agama dan kekuasaan itu ibarat dua saudara kembar. Oleh karena itu, sering dikatakan bahwa agama adalah pondasi, sementara kekuasaan adalah penjaganya. Apa saja yang tidak memiliki pondasi akan hancur. Apa saja yang tidak memiliki penjaga akan lenyap.” (Abu Hamid al-Ghazali, Al-Iqtishâd fî al-I’tiqâd, 1/78).
Di dalam Islam, kekuasaan harus diorientasikan untuk menegakkan Islam dan melayani berbagai kepentingan masyarakat, baik muslim maupun nonmuslim. Hal ini hanya akan terwujud jika kekuasaan itu menerapkan syariat Islam secara total dalam seluruh aspek kehidupan. Kekuasaan semacam ini terwujud hanya dalam institusi pemerintahan Islam, yakni Khilafah Islam. Bukan dalam sistem pemerintahan yang antisyariat, baik sistem demokrasi ataupun yang lain.
Khilafah Islam akan mengatur berbagai urusan seluruh warga negaranya (muslim maupun nonmuslim) dengan syariat Islam, seperti menjamin kebutuhan hidup, menyelenggarakan pendidikan yang terbaik dan terjangkau, serta menyediakan fasilitas kesehatan yang layak dan cuma-cuma untuk semua warga tanpa memandang kelas ekonomi.
Khalifah akan mengelola sumber daya alam milik rakyat (seperti tambang minyak, gas, batu bara, mineral, emas, perak, nikel, dll.) agar bermanfaat bagi segenap warga negara. Khilafah tidak akan membiarkan sumber daya alam milik rakyat itu dikuasai oleh swasta, apalagi pihak asing.
Pengamalan dan penerapan syariat Islam secara kafah inilah yang juga dilakukan oleh Rasulullah saw. saat mendirikan Negara Islam untuk pertama kalinya di Madinah. Kebijakan ini dilanjutkan oleh Khulafaurasyidin dan para khalifah setelahnya dengan hanya menegakkan Khilafah Islam yang juga hanya menerapkan syariat Islam.
WalLâhu a’lam bi ash-shawâb.