| 212 Views

Predator Kekerasan Seksual Terus Mengintai, Siswi MI Jadi Korban

Oleh : Lia Haryati, S.Pd.I
Pemerhati Umat dan Pendidik

Kekhawatiran kian besar kasus pencabulan terhadap anak terus mengintai sungguh malang nasib anak sekarang. Kembali dunia pendidikan dikejutkan dimana seorang guru dan Kepala Madrasah Ibtidaiyah (MI) berkumpul di rumah itu. Rumah yang terletak di salah satu desa di Kecamatan Kalibaru, Banyuwangi yang diselimuti kesedihan dan duka tiada tara. Anak berusia tujuh tahun itu pun meninggal dunia.

Tepat di hari, Kamis (14/11) para guru dan Kepala MI meliburkan kegiatan belajar mengajar di sekolah. Mereka turut berduka, dalam rangka berkabung atas peristiwa yang menimpa siswi MI sebelumnya.

Seluruh warga tidak ada yang mengetahui bahwa gadis mungil itu telah pergi dari dunia ini begitu cepat. Seperti ketahui SA (30) dan DN (35), ayah dan ibu gadis itu. Berawal dari kecemasan lalu berujung duka lara yang mereka rasakan pada Rabu pagi itu (13/11).

Menurut Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), selama tahun 2023 terdapat 3.547 kasus kekerasan terhadap anak. Sementara menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), mulai Januari sampai Agustus 2023, terdapat 2.355 kasus pelanggaran terhadap perlindungan anak. Dan menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan Anak (Kementerian PPPA) pada tahun 2023, sebanyak 2.325 kasus kekerasan fisik terhadap anak. (komnas.go.id 12/07/24)

Terjadi kekerasan seksual pada anak bukan tanpa sebab, berawal lahir dari ideologi sekuler yang memunculkan benih-benih kekerasan seksual pada anak.

Seharusnya kasus kekerasan seksual cukup menjadi alarm kuat pemerintah, bahwa hal ini, bukan pertama kali terjadi melainkan disebabkan lahirnya pola pikir masyarakat yang liberal (serba bebas). Sebab sistem demokrasi dengan asas sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan) sebagai pilar nya.

Adanya media sosial juga diposisikan sebagai pendukung menyuburkan pemikiran liberal seperti pornografi dan pornoaksi secara langsung dan mudah diakses di gawai masing-masing individu. Hal ini lah yang menjadi faktor  mempercepat terjadinya tindak kekerasan seksual pada anak. Begitu juga tidak seriusnya negara dalam menghapus informasi tersebut. Ditambah dengan kurangnya keimanan individu, memperkuat perilaku manusia untuk tidak terikat pada aturan Islam.

Mirisnya korban terjadi pada anak-anak usia dini, usia yang seharusnya mendapatkan perlindungan dan kasih sayang sebab mereka masih lemah dan polos. Seharusnya orang terdekat harus melindungi anak-anak dari kedzaliman. Sebab ideologi sekularisme ini lah yang menancap kuat dalam benak para pelaku, dengan mudahnya mengikuti konten yang dilihatnya di media, dan melampiaskan keinginan nafsunya kepada korban terdekat pula.

Butuh solusi hakiki
Untuk menyelesaikan kasus kekerasan seksual tidak bisa dari sistem yang sama-sama liberal, sebab jelas sistem sekuler inilah yang menumbuhkan benih kekerasan tersebut. Maka, yang kita butuh yakni sistem yang menanamkan standar perbuatan halal-haram pada setiap individu. Sebuah aturan yang sahih, aturan yang berasal dari Allah Swt.

Maka syari'at Islam dengan tegas memberikan solusi paripurna untuk menyelesaikan kekerasan seksual, di dalamnya terbentuk tiga pilar untuk penyelesaiannya.
Pertama, membentuk ketaqwaan individu. Kedua, membentuk masyarakat yang memiliki pemikiran, perasaan, dan peraturan yang sama. Sehingga akan tercipta lingkungan yang terbiasa melakukan aktivitas amar makruf nahi mungkar dalam kebaikan dan kebenaran Islam. Ketiga, butuh peran negara yang memberikan sanksi tegas sehingga keadilan hukum akan tercapai.

Terbentuknya individu yang bertakwa tentunya lahir dari keluarga yang menjadikan akidah Islam sebagai landasan dalam kehidupannya. Keluarga yang terikat pada syariat Islam kaffah akan melahirkan anak-anak saleh yang tidak mau melakukan kemaksiatan. Inilah gambaran keluarga kecil yang mampu menjaga dan membentengi anak-anak dari kejahatan kekerasan seksual, termasuk menutup rapat hadirnya predator seksual dari keluarga sendiri.

Keluarga yang demikian tentu tidak mampu berdiri sendiri. Mereka perlu lingkungan tempat tinggal yang nyaman, aman bersama masyarakat. Masyarakat yang demikian tentunya harus memiliki pemikiran, perasaan, dan peraturan yang sama, bersumber dari aturan Allah. Hal demikian tidak akan membuat manusia asing dalam melakukan aktivitas saling menasehati. Masyarakat tidak akan bersikap individualis sebab mereka yakin bahwa mendiamkan kemaksiatan sama seperti setan bisu.

Negara berfungsi sebagai raa'in (pemeliharan urusan umat). Khilafah akan menjalankan aturan Islam secara sempurna dan mampu memberikan sanksi tegas bagi pelaku tindak kriminal dan pelanggaran aturan Islam. Sistem sanksi di dalam Islam memberikan efek jera seperti zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus). Agar orang lain tercegah untuk tidak melakukan perbuatan yang sama dan jika sanksi itu diberlakukan kepada pelaku, maka sanksi tersebut dapat menebus dosanya di akhirat.

Dengan demikian maka jelas, sistem Islam lah yang mampu mewujudkan perlindungan yang hakiki untuk seluruh umat dalam Daulah dari berbagai tindak kejahatan dan kekerasan seksual.

Maka, sangat jelas bahwa keberadaan Khilafah merupakan fondasi penting bagi tegaknya seluruh aturan Islam secara kaffah di muka bumi yang akan membawa umat Islam kepada kesejahteraan dan keberkahan.

“Telah tampak kerusakan di darat dan di lautan akibat perbuatan tangan manusia, supaya Allah Taala merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS Ar-Ruum [31]: 41).
Wa'allahu 'alaam bishowab


Share this article via

42 Shares

0 Comment