| 277 Views

PPN Naik Lagi, Rakyat Makin Sengsara

 
Oleh : Nur Hastin Tarmawati
 
Pemerintah memastikan, ketentuan mengenai kenaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% selambat-lambatnya pada 1 Januari 2025 tetap berlaku. Kepastian itu disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, Jumat (8/3/2024). Airlangga mengatakan, berbagai ketentuan yang telah dirumuskan dan diterbitkan dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), termasuk penyesuaian tarif PPN, bakal dilanjutkan pada pemerintahan selanjutnya. Menurut Airlangga, masyarakat telah memilih untuk mendukung keberlanjutan dari pemerintahan Presiden Jokowi, sehingga ketentuan kenaikan PPN tetap dilaksanakan.
Adanya kenaikan PPN ini jelas tidak memihak rakyat. Rentetan kenaikkan sejumlah barang sudah mencekik rakyat, apalagi jika ditambah dengan PPN. Maka, tidak aneh jika daya beli masyarakat pun menurun dan angka kemiskinan menjadi bertambah.
 
Pajak Penyumbang APBN Terbesar
Pajak dalam sistem kapitalis adalah penyumbang terbesar APBN. Penerimaan pajak pada tahun 2023 mencapai Rp1.869,2 triliun atau 108,8% terhadap target APBN atau 102,8% terhadap Perpres Nomor 75 Tahun 2023. Maka, wajar jika kenaikkan pajak kerap terjadi tiap tahun. Ini adalah sebagai langkah upaya menggenjot pendapatan negara.
Sungguh zalim kebijakan yang diterapkan. Pajak tak ubahnya pemalakan gaya baru di zaman sekarang yang mengatasnamakan rakyat. Pemalakan ini dilakukan secara terstruktur dan sistematis kemudian didukung dengan regulasi (peraturan) yang kian menzalimi rakyat. Seperti inilah watak asli kapitalis yang rusak ini. 
 
Kapitalisme Sumber Masalah
Saat ini, kita menyaksikan bagaimana potret buramnya kehidupan masyarakat dalam cengkeraman sistem kapitalis. Sistem ini sangat bertumpu pada pajak. Otak kapitalis yang begitu memuja materi mulai menyeruak tatkala kita berbicara soal pengaturan kehidupan masyarakat, ekonomi, dan juga keuangan negara. Maka, pajak hadir menjadi instrumen utama dalam mengisi kas negara. Adapun selain pajak, negara juga akan berutang, baik utang dalam negeri maupun utang luar negeri yang basisnya adalah ribawi. Sementara pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) kian diliberalisasi (privatisasi) atas nama investasi. Inilah prestasi sistem kapitalis.
 
Dalam sistem ini, keberadaan masyarakat tidak boleh terus disubsidi oleh negara, karena jelas akan membebani APBN. Maka, semua aktivitas perekonomian yang terjadi harus diserahkan kepada mekanisme pasar. Dampaknya, utang negara yang berbasis ribawi bisa semakin membengkak jumlahnya. Selain negara menanggung beban utang pokoknya, juga bunga yang sangat berlipat. Maka, untuk mengatasi APBN yang kian sulit bernapas dengan beban utang yang besar, ditariklah pajak dari rakyat. Motivasinya tiada lain yaitu untuk membiayai pembangunan dan percepatan pemulihan ekonomi nasional. Benar-benar alasan klise.
 
Islam Hadir sebagai Solusi
Islam mempunyai seperangkat hukum yang mampu memecahkan persoalan hidup manusia, termasuk di dalamnya masalah ekonomi. Islam telah menggariskan batas-batas yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam mekanisme ekonominya. Allah SWT telah menetapkan sejumlah aturan untuk kehidupan manusia. Maka, sebagai makhluknya kita wajib berpegang teguh pada hukum-hukum yang sudah menjadi ketetapan-Nya. Inilah konsekuensi dari keimanan yang kita miliki, juga sekaligus bukti penghambaan kepada Sang Pencipta sehingga mendapatkan keselamatan di dunia dan akhirat.
  1. Paradigma Islam, negara adalah kodhim ummah. Yakni pelayan umat, mengurusi kepentingan umat dan kemaslahatan umat. Islam merupakan sistem yang shahih yaitu khilafah. Khilafah adalah negara riayah (negara pengayom). Rasulullah Saw. bersabda : _“Sesungguhnya seorang pemimpin itu adalah perisai, orang-orang berperang di belakang dia dan berlindung kepada dia.”_ (HR Al-Bukhari dan Muslim). Negara bertugas memberi jaminan dan pelayanan, menjamin penghidupan, kesejahteraan, keamanan serta kebutuhan dasar rakyat. Dalam sistem Islam akan mengatasi permasalahan dari akar, sehingga mampu menyelesaikan masalah dengan tuntas.
  2. Perekonomian tidak dibangun dengan sistem ribawi. Islam sesungguhnya telah mengharamkan praktik riba, baik dilakukan oleh individu, masyarakat, maupun negara. Sebagaimana ketetapan-Nya: _“Maka jika kamu tidak meninggalkan sisa riba, (maka ketahuilah) bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu."_ (QS: Al-Baqarah: 275)
  3. Sumber pendapatan negara masuk Baitul Mal. Sumber pendapatan negara (Baitul Mal) dapat diperinci dari beberapa pos sebagai berikut:
  • Pos faâi dan kharaj: meliputi ghanimah, kharaj, jijyah, tanah-tanah, faâi, dan pajak.
  • Pos kepemilikan umum: meliputi minyak bumi, gas, barang tambang, listrik, danau, laut, sungai, selat, mata air, hima, hutan, padang gembalaan, dsb.
  • Pos zakat: meliputi zakat uang, komoditas perdagangan, pertanian dan buah-buahan, dan peternakan.
 
Pajak dalam sistem Islam dikenal dengan istilah dharibah. Ia adalah jalan terakhir yang diambil apabila baitulmal benar-benar kosong dan sudah tidak mampu memenuhi kewajibannya. Dalam kondisi ini, pajak diberlakukan atas kaum muslim saja. Pengenaan pajak dilakukan dari sisa nafkah (setelah dikurangi kebutuhan hidup), dan harta orang-orang kaya, yaitu dari sisa pemenuhan kebutuhan primer dan sekundernya yang makruf.
 
Pajak dipungut berdasarkan kebutuhan baitulmal dalam memenuhi kewajibannya. Pajak tidak boleh dipungut melebihi kebutuhan sebagaimana mestinya. Apabila kebutuhan baitulmal sudah terpenuhi dan sudah mampu memenuhi kewajiban-kewajibannya dari sumber-sumber penerimaan rutin, pungutan pajak harus dihentikan.
 
Dalam Islam, pajak diterapkan atas individu (jizyah dan pajak atas kaum muslim), tanah kharaj, dan cukai atas barang impor dari negara yang mengenakan cukai terhadap pedagang kaum muslim. Alhasil, tidak memberikan beban ekonomi yang berat bagi masyarakat. Artinya, pajak dalam Islam hanya diterapkan secara temporal, bukan menjadi agenda rutin sebagaimana yang kita rasakan hari ini. Dalam sistem ekonomi Islam, masih ada dua sumber penerimaan negara, yaitu bagian kepemilikan umum dan sedekah. Syekh An-Nabhani dan Abdul Qadim Zallum menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kepemilikan umum itu adalah sebagai berikut :
  1. fasilitas/sarana umum yang jika tidak ada pada suatu negeri/komunitas akan menyebabkan banyak orang bersengketa untuk mencarinya, seperti air, padang rumput, dan jalan-jalan umum.
  2. barang tambang yang jumlahnya tidak terbatas (sangat besar), seperti tambang minyak dan gas bumi, emas dan logam mulia lainnya, timah, besi, uranium, batu bara, dan lain-lainnya.
  3. sumber daya alam yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki individu, seperti laut, sungai, dan danau.
 
Sumber penerimaan dari kepemilikan umum inilah yang berpotensi besar memberikan pendapatan terbesar bagi negara. Negara mengelola kepemilikan ini secara mandiri. Menjadikan pajak sebagai salah satu sumber pemasukan negara hanya akan memperburuk kondisi ekonomi negara. Berpotensi pula terhadap peningkatan angka kemiskinan.
 
Jelas sekali, bahwa Islam berbeda dengan sistem kapitalis dalam mengisi kas negara. Islam tidak menjadikan pajak sebagai sumber pemasukan utama. Terlebih pajak ini dibebankan kepada rakyat. Tapi justru Islam akan mengoptimalkan pengelolaan kepemilikan umum dan kepemilikan negara untuk menyokong kebutuhan masyarakatnya secara umum. Jadi, tidak ada cerita swasta atau asing menguasai hajat hidup orang banyak. Kalaupun ada pajak, sifatnya hanya sewaktu-waktu saja, tidak terus-menerus, ketika kas negara benar-benar kosong, dan itupun yang dipungut hanya bagi warga yang mampu saja dari kalangan muslim. Sementara warga yang kurang mampu ataupun warga nonmuslim walaupun kaya, tidak akan terkena pajak (dharibah). Inilah indahnya sistem ekonomi dalam Islam.
 
Semoga kita semua semakin sadar bahwa Islam satu-satunya yang cocok mengatur kehidupan karena bersumber dari Zat Yang Mahabenar yaitu Allah Swt. Negara juga tidak akan mudah menjerat rakyatnya dengan pajak.
 
Wallahu’alam

Share this article via

33 Shares

0 Comment