| 44 Views

Perang Dagang AS vs Cina, Peluang Mewujudkan Ekonomi yang Berideologi Islam

Oleh : Ummu Brastaqiya

Dalam situasi ketidakpastian ekonomi global dan perubahan politik yang cepat, Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali mencuri perhatian dunia. Amerika menerapkan perang dagang yang mengguncang dunia dengan memberlakukan kebijakan tarif impor baru bertajuk "Resiprocal Tariff" pada 2 April 2025. Kebijakan ini menetapkan tarif minimum sebesar 10% untuk seluruh produk impor ke AS. Tarif yang lebih tinggi dikenakan pada 57 negara dan teritorial tertentu, termasuk Indonesia.

Kebijakan tarif resiprokal ini diambil dengan alasan untuk memperkuat ekonomi AS dan melindungi pekerja domestik, membuka lapangan kerja serta menghilangkan hambatan perdagangan. Dikutip dari laman resmi Whitehouse.gov, Kamis (3/4/2025), alasan Trump mengenakan tarif impor yang tinggi pada negara-negara lain, termasuk Indonesia, karena Trump sedang berupaya menciptakan persaingan yang adil bagi bisnis dan pekerja di negaranya setelah melihat neraca ekonominya defisit secara signifikan.

Oleh karena itu, Trump memilih langkah proteksionisme untuk menyeimbangkan neracanya. Ia mengambil langkah menaikkan tarif bea impor surya panel dan mesin cuci masing-masing menjadi sebesar 30 persen dan 20 persen. Sejak itu genderang perang dagang mulai bertalu-talu, tepatnya 22 Januari 2018 (CNN Indonesia, 04/11/2020).

Tidak hanya itu, Trump juga menaikkan bea masuk baja sebesar 25 persen dan 10 persen untuk aluminium. Sontak, Cina pun tak mau kalah melakukan balasan turut menaikkan produk daging babi dan skrap aluminium mencapai 25 persen dan memberlakukan tarif 15 persen untuk 120 komoditas AS. Beijing juga telah mengadu kepada WTO perihal kenaikan tarif aluminium, namun tidak menemukan kata sepakat di antara keduanya. Pada tahun 2025, ketegangan perang tarif kembali memanas. Dengan alasan yang sama yaitu dalam rangka menyeimbangkan arus perdagangan global AS yang defisit Trump kembali mengambil langkah perbaikan dengan mengumumkan kenaikan tarif resiprokal. Tak hanya Cina, tapi ketentuan yang sama juga berlaku pada mitra dagang AS.

Pada 2 April 2025, Trump memutuskan untuk memberlakukan kombinasi tarif dasar sebesar 10 persen untuk semua barang yang masuk ke AS. Negara yang tercatat defisit perdagangan tertinggi dengan AS juga akan dibebankan tarif resiprokal yang lebih tinggi lagi. Untuk Cina dikenakan tarif timbal balik senilai 34 persen (Tempo.co.id, 10/04/2025).

Sebagai balasannya, Cina ikut menerapkan tarif sebesar 34 persen untuk produk-produk AS. AS pun mengancam akan mengenakan tarif sebesar 50 persen. Demi membalas AS Cina pun membebankan tarif sebesar 84 persen. Saling membalas kenaikan tarif terus berlangsung antara kedua negara tersebut, hingga akhirnya mencapai 125 persen.

Bukan Sekedar perang tarif

Tarif resiprokal atau tarif timbal-balik adalah pembatasan perdagangan yang diberlakukan satu negara terhadap negara lain sebagai respon terhadap tindakan serupa yang sudah dilakukan oleh negara yang dihadapi. Tujuannya adalah untuk menciptakan keseimbangan dalam perdagangan antarnegara. 

Perang dagang yang terjadi antara AS dan Cina sebenarnya bukan sekadar perang tarif. Hal ini merupakan sebuah kompetisi strategis yang dilakukan oleh dua kekuatan besar di dunia. Konflik dagang ini tak pelak akan melibatkan berbagai dimensi, di antaranya dimensi ekonomi, teknologi dan geopolitik. Dampaknya akan merembet pada negara-negara berkembang yang juga merupakan negeri-negeri muslim termasuk Indonesia.

Selama lebih dari dua dekade, AS tidak mempunyai pesaing secara global. Negara ini menjadi kekuatan yang sulit dikalahkan. Strategi yang dibangun selalu memberikan banyak keuntungan bagi negara paman Sam ini. Namun kemunculan Cina yang mulai meluas pengaruhnya, cukup membuat AS ketar-ketir dominasinya akan melemah. Terlebih, banyak negara-negara yang berada dalam pengaruhnya, secara perlahan mulai berpihak pada Cina.

Proyek Belt and Route Initiative (BRI) merupakan alat Cina untuk membabat pengaruh AS di kawasan Indo-pasifik. Cina secara agresif meluncurkan proyek tersebut melalui kerja sama perdagangan dan investasi di kawasan yang memang menjadi medan persaingan antar keduanya. Cina juga melancarkan aktivitas dominasi di kawasan Laut Cina Selatan yang diklaim sebagai wilayah kedaulatannya.

Eksploitasi sumber daya di kawasan Laut Cina selatan ternyata menghantarkan Cina menjadi negara dengan belanja militer terbesar kedua setelah AS. Oleh karena itu, Cina meningkatkan aktivitas militernya di kawasan ini dan melakukan kerjasama baik ekonomi maupun militer, dengan negara-negara di kawasan ini. Meningkatnya kekuatan pengaruh Cina di berbagai kawasan dunia tentu akan mempersulit AS untuk melindungi sekutunya sekaligus menghambat kepentingan AS. Jika kekuatan Cina tak segera dibendung, maka akan membuat AS kehilangan posisinya, khususnya di Indo-pasifik dan mengancam posisi strategisnya secara global.

Untuk itu, berbagai upaya strategis dilakukan AS untuk membendung kekuatan Cina. Di antaranya melakukan pendekatan kepada negara-negara sahabat dengan memberikan bantuan, menjalin kerja sama dengan mitra strategis seperti Jepang, korea, Australia dan berbagai upaya lainnya untuk membendung kekuatan Cina termasuk melakukan proteksionisme terhadap Cina dan mitra dagang yang neraca surplus dibanding AS.

Kebijakan perang dagang dengan tujuan fair trade adalah sesuatu yang wajar bahkan seharusnya dilakukan oleh suatu negara yang berdaulat. Tujuannya untuk melindungi perekonomian dalam negeri dan memperbaiki hubungan perdagangan dengan negara lain. Justru aneh jika suatu negara membiarkan perdagangan luar negerinya dihambat oleh negara lain dengan tarif yang tidak sepadan. Negara berkewajiban pula memajukan industri domestik agar bisa bersaing dengan produk asing. Bahkan negara harus mendorong agar industri domestik bisa unggul dibandingkan dengan produk negara-negara lain, serta menjamin ketersediaan lapangan pekerjaan untuk rakyatnya.

Namun demikian, kebijakan Trump ini tampak hipokrit karena tidak selaras dengan spirit Kapitalisme global yang membuka kran perdagangan internasional tanpa hambatan tarif. Masalahnya, kebijakan ini tak bisa dihindari karena muncul dari sebuah negara adidaya kapitalis yang saat ini menghegemoni dunia, khususnya negeri-negeri Muslim. Kebijakan tarif resiprokal Trump adalah representasi ideologi yang kuat, yakni Kapitalisme. Sebagai pengusung utama ideologi Kapitalisme, Amerika tentu akan melakukan apapun untuk merealisasikan kebijakannya dan akan terus berupaya mengendalikan ekonomi global. 

Kebijakan agresif Trump ini memicu reaksi yang beragam dari negara di seluruh dunia. Ada yang secara terbuka menolak dan melakukan perlawanan seperti Cina. Ada pula yang memilih jalur negosiasi untuk meminimalisasi dampak ekonomi bagi negara dan rakyatnya. Reaksi juga dilakukan oleh negara-negara yang berpemimpin Muslim seperti Indonesia, Turki dan Malaysia. Negara-negara ini mencoba mengintensifkan pendekatan diplomatik melalui forum multilateral seperti G-20 untuk menekan dan merundingkan kembali ketentuan perdagangan global.

Retaknya Kapitalisme

Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Dr. Rizal Taufikurrahman menilai, terkait perang tarif resiprokal Trump menunjukkan dunia saat ini bukan mengalami krisis biasa. Ternyata kebijakan ini telah mengakibatkan gejolak ekonomi global yang berimbas pada ketegangan geopolitik, perang dagang, disrupsi ekonomi dan lonjakan ketimpangan. Faktanya, pasar bebas, liberalisasi dan deregulasi yang sudah lama menjadi alat untuk mencengkram dunia, tidak lagi ampuh bagi sistem kapitalis. Kebijakan yang ditempuh Trump adalah strategi baru agar AS bisa mempertahankan eksistensi hegemoninya secara global.

Sulit disangkal, bahwa secara kasat mata sebenarnya kapitalisme telah mengalami kegagalan. Ketimpangan ekstrem dengan 1% orang menguasai 50% aset dunia, adalah tanda kegagalan sistem ini. Ditambah lagi krisis berulang yang terjadi di percaturan politik ekonomi dunia, seperti di tahun 1998, krisis akibat pandemi dan yang lainnya. Demikian pula kerusakan lingkungan yang parah akibat kerakusan dalam ekploitasi SDA. Semua persoalan diatas cukup menjadi bukti kapitalisme mulai retak.

Potensi Adidaya Ekonomi Dunia Islam

Dalam pandangan Islam geopolitik dunia dipetakan menjadì dua, Dar al-Islam (wilayah Islam) dan Dar al-kufur (Bukan Wilayah Khilafah). Dar al-kufur yang berada di luar wilayah Khilafah, dipetakan menjadi kafir harbi fi’lan (kafir yang musuh riil) dan kafir Harbi hukman (kafir musuh potensial). Dikatakan kafir harbi fi’lan karena secara riil memerangi Islam dan kaum muslim. Disebut kafir harbi hukman karena tidak memerangi Islam dan kaum muslimin tetapi berpotensi melancarkan serangan.

Berkaitan dengan ekspor impor ketentuannya adalah warga negara muslim atau kafir dzimmi (orang kafir yang menjadi warga negara dalam Khilafah) dilarang menjual persenjataan, sistem komunikasi, alat-alat berat dan strategis lainnya kepada negara, perusahaan atau warga negara Dar al-kufur. Sedangkan barang-barang yang tidak strategis seperti pakaian, makanan, perabotan, souvenir dan lain-lain maka seorang muslim atau kafir dzimi boleh menjualnya kepada negara kafir. Namun jika ketersediaan komoditas tersebut di dalam negeri amat sedikit dan akan membahayakan ketahanan ekonomi Khilafah maka negara Khilafah melarang warga negaranya untuk menjualnya, baik muslim maupun kafir dzimi menjual kepada negara lain.

Perdagangan luar negeri dengan orang kafir harbi fi’lan jelas diharamkan apapun komoditasnya. Sementara Khilafah mengizinkan kaum muslimin dan kafir dzimi untuk mengimpor komoditas dari negara-negara kafir mu’ahad yaitu orang kafir yang negaranya menjalin perjanjian dengan Khilafah. Maka mereka akan diperlakukan sesuai dengan butir-butir perjanjian tersebut baik yang menyangkut komoditas yang mereka impor dari negara Khilafah maupun komoditas yang mereka ekspor dan negara Khilafah. Hanya saja mereka tetap tidak boleh mengimpor persenjataan dan alat-alat pertahanan strategis dari negara Khilafah. Namun orang kafir yang membuat perjanjian dengan Khilafah dibolehkan memasukkan komoditas perdagangan ke dalam negara Khilafah.

Sementara itu, Khilafah juga melakukan sejumlah proteksi untuk melindungi stabilitas ekonomi. Akan tetapi, proteksi yang dilakukan oleh Khilafah tidak sama dengan proteksi yang dilakukan oleh negara kapitalis. Proteksi yang dilakukan oleh Khilafah tidak ditujukan untuk melindungi stabilitas ekonomi saja tetapi juga ditujukan untuk mewujudkan stabilitas politik dan tugas mengemban Islam ke seluruh dunia.

Cukai hanya dikenakan kepada pelaku perdagangan dari negara kafir. Adapun pelaku perdagangan dari warga negara Khilafah baik muslim atau kafir dzimi maka sama sekali tidak dikenakan cukai. Dengan diterapkannya sistem emas dan perak sebagai standar baku mata uang, maka terjadinya defisit neraca perdagangan negara Khilafah juga bisa dapat dihindari. Karena kurs valuta bersifat tetap sehingga inflasi nol

Negara Khilafah juga mempunyai bahan-bahan mentah yang dibutuhkan umat dan negara, sehingga tidak membutuhkan lagi barang-barang tersebut dari luar. Karena itu, Khilafah sudah bisa swasembada dan tidak perlu mengimpor dari luar. Ini menjadikan emas dan perak sebagai mata uang Khilafah tetap tidak keluar. Semua itu akan menghantarkan pada perekonomian negara yang sangat kuat.

Melihat Posisi Cina yang mampu menyaingi AS, tentu hal ini sangat mungkin bagi umat Islam untuk melakukan hal yang melampaui Cina. Sebab kaum muslimin memiliki potensi yang akan membuka jalan menjadi negara adidaya bahkan menjadi negara ula.

Potensi SDA yang melimpah, jumlah penduduk yang banyak, dan posisi yang strategis merupakan modal dasar yang akan melesatkan kaum muslimin pada puncak peradaban tertinggi dan menjadi kekuatan tak tersaingi. Selain itu, modal paling berharga yang dimiliki oleh umat Islam adalah eksistensi ideologi Islam yang masih diemban umat Islam.

Islam sebagai sistem hidup telah memberikan panduan dalam mengatur urusan manusia, termasuk dalam masalah ekonomi. Pengaturan masalah kepemilikan barang dan jasa, pembelanjaan dan distribusinya, termasuk di dalamnya pengelolaan fiskal, moneter, industri, dan perdagangan telah dijelaskan secara rinci berdasarkan tuntunan wahyu Ilahi.

Saat ini bukan hanya soal keterpurukan ekonomi negeri-negeri Muslim, kaum Muslim di dunia juga telah lama menjadi jajahan negara-negara Barat kapitalis sekaligus obyek permainan kepemimpinan ideologi asing. Negeri-negeri Islam juga menjadi incaran negara adidaya kapitalis sekaligus menjadi sasaran untuk diperangi dan dikuasai. 

Bahkah tidak sekadar menjajah, Barat kapitalis-imperialis menguasai dan mengubah negeri-negeri Islam menjadi negeri-negeri sekuler, termasuk ekonominya. Karena itu negara-negara adidaya Kapitalisme akan terus menjadi sumber bencana bagi negeri-negeri Muslim. 

Pada titik inilah…negeri-negeri Muslim semestinya menyadari bahwa sistem Kapitalisme global telah terbukti merusak dan melumpuhkan ekonomi umat Islam. Ini berlangsung sejak Dunia Islam dipecah-belah dan institusi pemersatu mereka, yakni Khilafah Islam, diruntuhkan pada tahun 1924 oleh kekuatan Barat kapitalis-imperialis. Di antara akibatnya, negeri-negeri Muslim yang kaya-raya akan sumberdaya alamnya, justru rakyatnya banyak yang miskin dan negaranya terjerat utang ribawi. Pasalnya, sumberdaya alam milik kaum Muslim yang melimpah-ruah itu dikuasai oleh negara-negara kapitalis-imperialis. Inilah yang membuat negeri-negeri Muslim makin tak berdaya. Akibatnya, dalam kasus perang tarif resiprokal yang dilancarakan Amerika, misalnya, negeri-negeri Muslim hanya menjadi penonton dan bahkan menjadi korban. 

Jelas, kondisi ini bertentangan dengan apa yang Allah SWT kehendaki. Allah SWT berfirman: 

Sekali-kali Allah tidak akan memberikan jalan kepada kaum kafir untuk menguasai kaum Mukmin (TQS an-Nisa’ [4]: 141). 

Artinya, Allah SWT telah melarang kaum Muslim untuk dikuasai oleh kaum kafir. Hal ini mengharuskan kaum Muslim memiliki independensi (kemandirian), termasuk kemandirian ekonomi. Dengan begitu mereka tak bisa dengan mudah ditekan dan dihegemoni oleh negara manapun. Bahkan mereka bisa melakukan perlawanan yang seimbang. Jika negara lain, seperti AS, mengenakan tarif masuk perdagangan, maka Negara Islam (Khilafah) pun akan memberlakukan hal yang sama tanpa takut tindakannya itu akan memukul perekonomian dalam negeri.

Negara Khilafah tentu akan menerapkan sistem ekonomi Islam. Paling tidak ada dua keunggulan komparatif sistem ekonomi Islam yang diterapkan oleh Negara Khilafah. Pertama: Sistem moneter Islam sangat jelas, yaitu emas dan perak sebagai mata uang, yang riil nilai intrinsiknya. Inilah yang sering disebut dinar dan dirham. Mengapa emas dan perak? Sebabnya: (1) nilainya stabil dan tidak mudah mengalami guncangan; (2) tidak bisa dicetak seenaknya; (3) anti manipulasi; (4) yang paling penting, ini adalah perintah Allah SWT dan Rasul-Nya. 

Kedua: Dalam Islam, transaksi perdagangan berfokus pada sektor riil. Sektor non-riil seperti saat ini tidak boleh ada. Tidak boleh juga ada riba, pajak dan spekulasi. Dalam Islam, sumberdaya alam yang berlimpah-ruah dijadikan sebagai milik bersama (milik umum) yang wajib dikelola oleh negara untuk kepentingan bersama. Tidak boleh dikuasai oleh pihak swasta apalagi pihak asing. 

Dengan dua keunggulan ini saja, Negara Khilafah akan menjadi negara yang mandiri secara ekonomi. Saat memiliki kemandirian, terutama kemandirian ekonomi, maka dalam perdagangan internasional, Negara Khilafah tak akan mudah dikalahkan dalam perang tarif yang dilancarkan oleh negara-negara lain. 

Karena itu jika negeri-negeri Muslim bersatu-padu membangun kedaulatan ekonomi dengan segala potensinya, maka Dunia Islam akan menjelma menjadi adidaya ekonomi dunia yang lebih baik dan berkah. Tidak merusak dan menghancurkan seperti sistem Kapitalisme saat ini. Negeri-negeri Muslim jelas memiliki keunggulan besar seperti bonus demografi, kekayaan sumberdaya alam yang melimpah dan jalur strategis perdagangan. 

Yang Mesti Dilakukan Saat Ini

Maka dari itu, melakukan aktivitas politik untuk melawan penjajahan Kapitalisme global saat ini merupakan kewajiban yang mendesak bagi kaum Muslim. Perlawanan terhadap penjajahan Kapitalisme global wajib dijadikan sebagai hirju az-zawiyah (sudut pandang) dalam perjuangan politik kaum Muslim di seluruh dunia.

Inilah saatnya negeri-negeri Muslim, yang memiliki potensi besar dalam berbagai aspek, menggalang kekuatan Dunia Islam. Haram hukumnya negeri-negeri bergantung pada negara kapitalis penjajah. Dengan penggalangan kekuatan Dunia Islam—tentu atas dasar ideologi Islam—maka negeri-negeri Muslim akan kembali menjadi kekuatan global sebagaimana pernah terjadi pada era kejayaan peradaban Islam di bawah institusi Khilafah Islam selama ratusan tahun. 

Karena itu proyek penegakan kembali Khilafah Islam harus menjadi agenda politik global umat Islam di seluruh dunia. Selain akan menjadi negara adidaya baru, Khilafah Islam inilah yang akan membawa kembali kaum Muslim meraih kemerdekaan hakiki dari penjajahan asing sekaligus mencapai martabat mulia. Khilafah ini pula yang akan merebut kembali kekuatan global yang mengendalikan dunia. Khilafah juga yang akan menyebarluaskan dakwah Islam ke seluruh dunia dan memimpin dunia secara keseluruhan yang saat ini dikuasai Amerika, Cina dan Uni Eropa. Inilah saatnya negeri-negeri Muslim mengambil sikap untuk menjadi pemain di kancah dunia. 

Saatnya negeri-negeri Muslim sadar dan bangkit untuk berpegang teguh dengan syariah Allah SWT. Sungguh kejayaan dan kemuliaan kaum Muslim hanya bisa diwujudkan jika mereka kembali pada al-Quran. Caranya dengan menegakkan kembali syariah Islam secara total dalam seluruh aspek kehidupan. Berpaling dari al-Quran (syariah Islam), seperti saat ini, hanya akan menjadikan kehidupan kaum Muslim sempit. Demikian sebagaimana firman-Nya:

Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku (al-Quran) maka sungguh bagi dia penghidupan yang sempit dan Kami akan menghimpunkan dirinya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta (TQS Thaha [20]: 124).

Berpegang teguh pada al-Quran—dengan mengamalkan, menerapkan dan menegakkan syariah Islam dalam seluruh aspek kehidupan—adalah wujud dari ketakwaan hakiki. Ketakwaan semacam inilah yang pasti akan mendatangkan aneka keberkahan. Demikian sebagaimana yang Allah SWT tegaskan: 

Andai saja penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka aneka keberkahan dari langit dan bumi. (TQS al-A’raf [7]: 96).

WalLaahu a’lam.

 


Share this article via

8 Shares

0 Comment