| 14 Views
Penanganan Banjir Tidak Akan Terselesaikan Di Rezim Kapitalisme

Oleh : Ummu Abiyu
Sebagian umat Islam menjalani Ramadan tahun ini di tengah duka. Betapa tidak, memasuki Ramadan, sebagian besar wilayah Indonesia hampir tiap hari diguyur hujan yang sangat lebat. Akibatnya, bencana hidrologi pun terjadi di mana-mana. Yang terparah adalah banjir mengepung daerah Jabodetabek, terutama di wilayah Bekasi Raya.
Meski bukan yang pertama, tetapi banjir yang terjadi sejak Selasa (4-3-2025) dini hari memang benar-benar parah dan merata. Kondisinya bahkan lebih parah dibandingkan banjir besar yang terjadi pada 2020. Berhari-hari area pemukiman dan pusat-pusat kegiatan ekonomi masyarakat terendam air bahkan hingga menyentuh atap. Alhasil, semua aktivitas masyarakat lumpuh dan kerugian material disebut-sebut mencapai Rp 3 triliun.
BNPB menyebut ketinggian air akibat banjir di Kabupaten Bekasi maupun kota Bekasi Jawa Barat ada yang mencapai tiga meter. BNPB menyebut penyebab banjir tersebut akibat hujan yang deras disertai kiriman air dari Bogor.
BNPB melaporkan terdapat tujuh kecamatan di Kota Bekasi yang terdampak banjir. Tujuh kecamatan tersebut rinciannya Kecamatan Bekasi Timur, Bekasi Utara, Bekasi Selatan, Medan Satria, Jatiasih, Pondok Gede dan Rawalumbu.
Selain karena curah hujan yang sangat tinggi, banjir di Jabodetabek khususnya di Kota Bekasi juga terjadi karena kondisi banjir di area hulu. Di daerah kabupaten Bogor, khususnya wilayah Puncak, luapan air saat itu, memang nyaris seperti gelombang tsunami.
Banyak video beredar yang menunjukkan dahsyatnya banjir di kawasan ini. Rumah-rumah penduduk, kendaraan, jembatan dan fasilitas umum lain termasuk jembatan rusak disapu gelombang air. Air inilah yang di bawa aliran sungai ke wilayah hilir dan akhirnya membuat wilayah Jabodetabek rata oleh banjir.
Selain melanda wilayah Jabodetabek, bencana hidrologi juga terjadi di berbagai wilayah Indonesia lainnya. Beberapa titik di Kota Bandung, Kota Cimahi, dan Kabupaten Bandung juga dilanda banjir. Di Kabupaten Bandung, area banjir juga di tempat-tempat yang selama ini tidak pernah langganan banjir. Adapun di Kabupaten Sukabumi, beberapa kecamatan bukan hanya terkena banjir, tetapi pergerakan tanah dan longsor juga menjadi ancaman tersendiri bagi penduduk di sana. Terakhir, bencana ini sampai menghilangkan nyawa lima orang dan puluhan warga luka-luka.
Banjir sudah menjadi bencana alam langganan di setiap kali musim hujan. Sebelumnya banjir juga melanda Bekasi di bulan Januari 2024 dengan ketinggian 20-100 cm. Namun kali ini, di tahun 2025 bukan saja semakin tinggi airnya, yaitu mencapai 3 meter, tapi cakupan wilayah banjir pun meluas. Setidaknya satu mal di Bekasi dan ribuan rumah di kota itu, Jakarta dan Tangsel terendam banjir, sehingga membuat warga mengungsi ke masjid juga sekolah. Sementara Pemerintah Kota Bekasi, menyatakan kota tersebut lumpuh, karena rumah, jalan, dan gedung pemerintahan digenangi air.
Parahnya, meskipun bencana ini berulang, namun solusi yang diberikan penguasa tidak kunjung menyelamatkan warga. Solusi yang diberikan nampak ala kadarnya. Padahal, bencana banjir ini termasuk bencana yang bisa dimitigasi. Sikap pemimpin yang demikian niscaya lahir dalam kepemimpinan kapitalisme.
Sejauh ini, pihak pemerintah sendiri, baik pusat maupun daerah masih sibuk menarasikan bahwa penyebab banjir adalah akibat cuaca yang sangat ekstrem. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) jauh-jauh hari memang sudah memperingatkan curah hujan yang akan terjadi tahun ini memang jauh lebih tinggi dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya. Salah satu sebabnya adalah faktor atmosfer seperti sirkulasi siklonik serta fenomena Madden-Julian Oscillation (MJO)yang memperkuat pertumbuhan awan hujan sedemikian besar. Untuk banjir Jabodetabek sendiri, naiknya permukaan laut juga disebut-sebut sebagai salah satu penyebab air akhirnya berkumpul di area pemukiman.
Terjadinya banjir berulang bukan semata karena curah hujan tinggi dan pendangkalan sungai. Namun, akar masalahnya adalah kebijakan pembangunan kapitalistik yang telah mengabaikan lingkungan dan dampaknya pada masyarakat. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyatakan bahwa kerusakan akibat alih fungsi lahan di kawasan Puncak, Bogor diperkirakan telah mencapai 65%. Ini artinya sudah lebih dari separuh kawasan Puncak yang telah mengalami kerusakan serius.
Atas nama pertumbuhan ekonomi, para pengusaha melakukan alih fungsi hutan menjadi permukiman dan tempat wisata. Hal ini terjadi terus-menerus dan masif sehingga menurunkan kemampuan tanah untuk menyerap air hujan.
Miris, alih-alih menghentikan alih fungsi hutan dan pembangunan yang merusak lingkungan, pemerintah justru memberikan izin pembangunan masif di hulu. Demi mengejar peningkatan pendapatan daerah, pemerintah memberi izin deforestasi dan alih fungsi lahan. Tampak bahwa kebijakan pemerintah lebih memihak pada pengusaha dan tidak memedulikan penderitaan rakyat.
Ini tidak lepas dari karakter pejabat yang kapitalistik, yaitu mencari keuntungan pribadi dari jabatannya dan abai terhadap rakyat yang seharusnya ia lindungi. Penguasa kapitalistik merupakan buah dari penerapan sistem sekuler kapitalistik.
Fakta terjadinya eksploitasi wilayah hulu di Indonesia, seperti hutan atau pegunungan, memang tidak bisa ditutup-tutupi lagi. Alih fungsi lahan yang berdampak deforestasi berjalan masif dengan dalih menggenjot perekonomian. Misalnya, pembukaan lahan untuk perkebunan, atau pengembangan sektor kepariwisataan yang diizinkan, bahkan untuk proyek-proyek skala besar termasuk yang berlabel proyek strategis nasional.
Begitu pun di kawasan hilir, alih fungsi lahan terjadi tanpa hambatan, baik untuk pengembangan wilayah pemukiman, maupun industrialisasi yang melibas kawasan hijau, termasuk area persawahan. Mirisnya, nyaris semua proyek investasi tersebut berjalan dengan izin dari pihak yang berwenang. Padahal, siapa pun paham, kawasan hulu memiliki peran sangat penting bagi keseimbangan ekosistem. Selain sebagai tempat penyedia air bagi kepentingan pertanian, industri, dan pemukiman di daerah hilir, juga berperan sebagai pemelihara keseimbangan ekologis untuk penunjang kehidupan, terutama sebagai area penyimpan air bukan hanya untuk generasi sekarang, tetapi generasi yang akan datang. Penataan wilayah, semestinya dilakukan secara seimbang. Namun faktanya, nyaris seluruh permukaan tanah habis oleh semen dan beton sehingga tidak ada lagi area resapan air dan akhirnya menyebabkan banjir. Hal ini diperparah dengan penataan drainase yang terkesan asal dan ego sektoral. Alhasil, air yang datang tidak punya jalan pulang.
Adapun terkait daerah aliran sungai, penting selalu dipastikan agar tetap dalam fungsinya sebagai bentang hidrologis tempat menampung dan mengalirkan air sekaligus menunjang kehidupan manusia. Namun, perencanaan pembangunan yang buruk ditambah merebaknya kemiskinan struktural membuat area sungai dan bantaran mengalami disfungsi. Tidak sedikit pemukiman dibangun di pinggir-pinggir sungai sehingga terjadilah pendangkalan dan penyempitan.
Tampak ada yang salah dengan berbagai kebijakan terkait dengan alam. Paradigma kepemimpinan sekuler kapitalistik yang tegak saat ini terbukti telah gagal menciptakan kehidupan yang harmonis dan sangat jauh dari kebaikan. Mereka tidak kenal prinsip halal-haram. Apa yang mereka sebut dengan pembangunan, faktanya justru menimbulkan kehancuran dan mereka dengan mudah berlepas tangan.
Situasi seperti ini dipastikan tidak akan berubah sepanjang paradigma kepemimpinan sekuler yang destruktif ini dipertahankan. Umat semestinya segera bertobat dengan kembali menegakkan sistem kepemimpinan Islam sebagai konsekuensi keimanan dan secara empiris telah terbukti mampu menciptakan kehidupan yang harmonis dan penuh berkah antara manusia dan semesta alam.
Rahasianya tidak lain ada pada kesempurnaan aturan hidup yang ditegakkan. Itulah syariat Islam, yang berasal dari Zat Pencipta Alam yang penerapannya secara total dipastikan akan membawa keberkahan. Allah Taala berfirman, “Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.” (QS Al-A’raf: 96).
Kepemimpinan dalam Islam memang berfungsi sebagai pengayom dan penjaga umat secara keseluruhan. Setiap hal yang bisa mengganggu apalagi merusak peri kehidupan mereka akan dieliminasi oleh negara dan para penguasanya. Negara akan menerapkan sistem ekonomi Islam yang menyejahterakan rakyatnya. Juga mencerdaskan rakyat dan menegakkan hukum bagi para pelanggar syariat dan kebijakan negara lainnya.
Berbagai upaya pembangunan pun hanya didedikasikan untuk kemaslahatan umat, kemuliaan Islam dan kejayaan negara, bukan demi kepentingan kelompok tertentu, termasuk para pemilik uang. Alhasil, pembangunan dalam paradigma Islam jauh dari bencana dan kerakusan manusia. Selain itu terwujud pula tujuan turunnya risalah Islam, yakni sebagai rahmat bagi seluruh alam.0
Kalaupun terjadi bencana, faktornya benar-benar karena alam, dan ini niscaya sebagai bentuk ujian iman. Negara dalam fungsinya sebagai penjaga akan berupaya melakukan mitigasi secara maksimal sehingga kerugian dan jatuhnya korban akan benar-benar minimal. Dengan sistem ekonomi Islam yang kuat, negara akan memiliki modal cukup untuk memberi layanan prima kepada rakyatnya, termasuk mengangkat kesedihan dan menutup kebutuhan para korban bencana secara maksimal.
Tegaknya kepemimpinan ideal semacam ini tentu butuh diupayakan. Satu-satunya jalan adalah dengan menggencarkan dakwah kepada Islam hingga umat paham bahwa Islam adalah tuntunan kehidupan. Mereka juga perlu dipahamkan bahwa berlama-lama hidup dalam sistem sekuler seperti sekarang bukan hanya akan mendatangkan kesempitan, salah satunya mengundang berbagai bencana alam. Yang lebih mengerikan adalah hidup dengan aturan buatan manusia, justru berdosa dan mendatangkan kemurkaan Allah Taala.