| 247 Views

Pemerataan Pembangunan Desa di Sistem Kapitalis, Apakah Hanya Sebuah Ilusi?

Oleh: Lia April

Pendidik Generasi

Desa dan kota, dua wilayah yang terdapat dalam sebuah negeri. Dua tempat yang sama-sama dihuni oleh sekelompok manusia. Di dalamnya berbagai aktivitas manusia dilakukan, mulai dari aktivitas individu sampai aktivitas yang terkait dengan hubungannya dengan sesama seperti ekonomi, pendidikan, kesehatan, sosial, dan lain sebagainya.

Walaupun terdapat persamaan di satu aspek namun terdapat begitu banyak perbedaan di antara keduanya. Mulai dari perbedaan sifat dan karakter orang yang ada di desa dengan yang ada di perkotaan. Berbeda pula dalam pola didik dan pola asuh masyarakat desa dan kota yang diterapkan kepada generasi mudanya. Begitupula dalam hal pembangunan. Berbagai pembangunan telah banyak dilakukan di pedesaan baik sarana maupun prasarananya dalam rangka menghindarkan adanya ketimpangan dengan pembangunan perkotaan.

Sebagaimana dikutip dari Jakarta (ANTARA) - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo alias Bamsoet mengatakan bahwa pembangunan desa memiliki peran sentral dalam mengurangi kesenjangan pembangunan antarwilayah.

Hal itu disampaikannya dalam acara Sosialisasi Empat Pilar MPR RI bersama Majelis Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (MN KAHMI), di Kompleks, Parlemen, Senayan, Jakarta.

Bamsoet menyebut bahwa pembangunan desa juga memiliki peran sentral dalam upaya mengentaskan kemiskinan. Namun, benarkah dengan banyaknya pembangunan desa telah mampu benar-benar menyejahterakan masyarakatnya ataukah hal ini hanyalah sebuah ilusi belaka?

Karena pada kenyataannya masih ada istilah desa tertinggal, apalagi seandainya desa tersebut berada di daerah pedalaman atau pelosok negeri. Infrastruktur yang didapati di desa pun tidak sesuai harapan. Jalan tempat lalu-lalang masyarakat tidak terakses dengan baik sehingga tak jarang ketika ada orang yang sakit atau anak-anak pergi sekolah mereka harus menempuh medan yang cukup susah dengan jarak yang tidak dekat.

Masyarakat desa belum bisa menikmati secara nyata buah dari pembangunan yang ada di desa. Kesenjangan antara pembangunan desa dan kota pun terlihat nyata. Ditambah dengan adanya urbanisasi masyarakat desa ke kota yang sering kita dapati ketika lebaran telah usai, menambah semakin jelasnya jurang pemisah antara pembanguna desa dan di kota.

Walaupun negara telah mencanangkan berbagai program desa demi kesejahteraan dengan memberikan bantuan dana desa, namun hal ini belum terealisasi dengan sempurna sebagai akibat dari sifat para pemangku jabatan yang tidak amanah.

Inilah bukti nyata akibat dari penerapan sistem ekonomi-kapitalis, di mana ketika paradigma pembangunan masih berasaskan kapitalisme maka pemerataan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat tidak akan terwujud. Pembangunan berdasarkan pada asas ini hanya berorientasi pada keuntungan saja. 

Semua potensi yang ada di desa baik dari alamnya maupun sumber daya manusianya pengelolaannya diserahkan kepada pihak swasta (asing) atau mereka yang memiliki modal dan memiliki kepentingan di dalamnya dan bukan oleh negara. Negara hanya sebagai fasilitator saja dan bukan sebagai pengurus (periayah) masyarakat.

Dalam Islam, pembangunan infrastruktur ditujukan demi kesejahteraan dan kamaslahatan masyarakat. Karena dalam Islam negara adalah periayah umat sehingga semua kebutuhan masyarakat baik kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, insfrastruktur dan lain-lainnya adalah tanggung jawab negara sebagai pengurus umat.

Dalam sistem ekonomi pun berdasarkan atas sistem ekonomi Islam yang memiliki aturan kepemilikan. Pengelolaan SDA yang melimpah adalah milik publik sehingga pengelolaannya dilakukan oleh negara demi kesejahteraan masyarakat dan tidak diserahkan kepada segelintir orang, pihak swasta atau asing.

Sedangkan pembiayaan pembangunan infrastruktur seperti sekolah, univeraitas,rumah sakit, jalan umum, listrik, saluran air dan sebagainya akan di ambil dari dana Baitul maal. Karena semua hal itu adalah sesuatu yang penting maka ketika tidak terpenuhi dapat menimbulkan bahaya bagi masyarakat.

Namun ketika dana dari Baitul Maal tidak mencukupi maka negara wajib membiayai dari dana yang berasal dari pungutan pajak (dharibah). Dharibah (pajak) ini dipungut dari orang kaya (aghnia) saja sesuai yang dibutuhkan.

Dharibah yang dipungut membutuhkan waktu yang cukup lama sedangkan pembangunan infrastruktur memerlukannya dengan segera maka negara diperbolehkan berhutang dengan tanpa adanya riba dan ketergantungan terhadap si peminjam dan sudah barang tentu harus sesuai dengan aturan syariat Islam.

Ketika pembangunan baik di desa maupun di kota sesuai dengan syariat Islam dan dapat menjangkau seluruh wilayah desa dan kota maka pemerataan pembangunan bukanlah sebuah ilusi belaka dan kesejahteraan masyarakat pun bisa terwujud. 

Wallahu’alam bissawab

 


Share this article via

104 Shares

0 Comment