| 273 Views

Pemberdayaan Perempuan dalam Parekraf: Sejahtera atau Tumbal Kegagalan Kapitalisme

Oleh : Maheasy Ummu Mahir
Komunitas Muslimah Arsitek Peradaban

Pemberdayaan perempuan dalam sektor pariwisata yang gencar didendangkan oleh dunia melalui PBB merupakan upaya dalam mewujudkan kesetaraan gender. Sebagai salah satu anggota PBB, Indonesia turut andil dalam menggencarkan program tersebut. Tidak tanggung-tanggung Indonesia menjadi tuan rumah The 2nd UN Tourism Conference on Women Empowerment in Tourism in Asia and The Pacific (konferensi pariwisata PBB kedua) yang diselenggarakan di Kabupaten Badung, Bali pada Kamis (2/5/2024) yang dihadiri perwakilan dari 40 negara partisipan. Diantaranya tampak beberapa peserta yang berasal dari UN Tourism Officials, para menteri pariwisata perempuan, tokoh-tokoh perempuan industri pariwisata, akademisi, serta pemangku kepentingan di wilayah Asia Pasifik. Termasuk wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Wamenparekraf) Indonesia terlihat hadir dalam konferensi tersebut.

Konferensi tersebut menandaskan peran perempuan dalam sektor pariwisata di kawasan Asia dan Pasifik yang besar. Hal ini sejalan dengan tujuan diadakan kegiatan tersebut yakni mempromosi kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan dalam industri pariwisata. Searah juga dengan tujuan yang lebih luas pada pengembangan pariwisata berkelanjutan sekaligus merupakan implementasi salah satu komponen dari program Sustainable Development Goals (SDGs), yaitu kesetaraan gender dan pertumbuhan ekonomi. Berikutnya konferensi ini diarahkan menjadi momentum untuk memperkuat peran perempuan dan kesetaraan gender di sektor pariwisata dan ekonomi kreatif. (https://travel.okezone.com, 3/5/2024).

Memperhatikan ketidakpastian kondisi dunia pascapandemi yang rawan dengan krisis, penyelenggaraan konferensi tersebut semakin menjelaskan gagalnya sistem kapitalisme dalam mewujudkan kesejahteraan, terutama bagi perempuan. Pasalnya apabila sistem kapitalisme memiliki banyak kekuatan untuk bangkit dan memberikan kesejahteraan, maka tidak akan menyeret peran perempuan dalam mendongkrak dan menyokong pertumbuhan perekonomian negara dengan mengatasnamakan pemberdayaan. 

Menurut Asian Development Outlook (ADO) April 2024 bahwa pertumbuhan ekonomi pascapandemi negara-negara berkembang di kawasan Asia dan Pasifik berkisar 4,9 % pada tahun 2024 dan 2025. Hal ini didorong oleh permintaan domestik yang kuat, peningkatan ekspor semikonduktor, dan pemulihan pariwisata yang sedang berlangsung. Meskipun terjadi perlambatan yang disebabkan oleh properti di Republik Rakyat Tiongkok.

ADO memaparkan bahwa pertumbuhan ekonomi paling kuat tercatat di Asia Selatan dan Asia Tenggara, yaitu didorong oleh permintaan domestik dan ekspor sebab untuk mengimbangi perlambatan pertumbuhan di Cina yang diakibatkan oleh merosotnya pasar properti dan melemahnya konsumsi. Oleh sebab itu, mendayagunakan peran perempuan dalam sektor parekraf dengan dalil pemberdayaan perempuan, bak tuas roda ekonomi yang memiliki konsekuensi dalam menyesatkan pemikiran dan arah pandang kaum perempuan, termasuk di kawasan Asia-Pasifik.

Seperti halnya kita memahami bahwa segala sesuatu dalam pandangan sistem kapitalis adalah komoditas ekonomi. Sebagaimana sifatnya kapitalisme memiliki azas kebermanfaatan dengan segala sesuatu memiliki daya guna. Sistem kapitalisme tidak akan pernah membiarkan segala sesuatu yang menghasilkan uang dilewatkan begitu saja. Biarpun dalam praktek perolehan kebermanfaatan tersebut harus melakukan eksploitasi dan tidak jarang melakukan kezaliman. 

Apalagi dalam sektor pariwisata dan ekonomi kreatif, perempuan Indonesia dianggap menyumbang kontribusi besar, data menyebutkan bahwa mayoritas tenaga kerja di bidang pariwisata adalah perempuan dengan persentase 54,22 persen dibandingkan pekerja laki-laki sebesar 45,78 persen sebagaimana dirilis antaranews.com (12/2/2024). Angka ini sejalan dengan data secara global. Dengan jumlah yang besar tersebut, perempuan telah membuktikan kemampuan dalam membuat perubahan positif baik dalam skala lokal maupun global (kemenparekraf.go.id, 4/5/2024). 

Hal ini menunjukkan bahwa parekraf dengan label pemberdayaan perempuan merupakan sektor penting untuk pemasukan negara. Oleh karena itu negara sangat serius memperhatikan parekraf ini dalam menggenjot pertumbuhan perekonomian negara dalam kondisi hutang negara yang semakin menggunung dan nilai rupiah semakin mengenaskan. Tidak perduli apapun caranya,  termasuk menarik perempuan sebagai penggerak ekonomi dengan julukan manis pemberdayaan perempuan bahkan menjauhkan peran domestik perempuan dan menumbalkannya.

Dengan menjauhkan peran domestik perempuan dan melibatkannya ke ranah publik dalam pengembangan dan kepemimpinan di sektor pariwisata secara terstruktur dan sistematis, maka berdampak buruk bagi perempuan dan generasi yang dilahirkannya, bahkan merusak fitrah perempuan sebagai ibu dan pengatur rumah tangga.  Perempuan sudah tidak fokus lagi dalam perannya sebagai ibu untuk melahirkan dan mendidik generasi yang berkualitas sebagai penerus dan pengisi peradaban mulia yang akan datang. Bahkan dengan minimnya peran ibu dalam mendampingi anak-anaknya dan tidak adanya sistem yang mendukung, maka ancaman besar bagi generasi adalah tergerus arus liberalisasi budaya yang mengalir tak terbendung sebagai bagian dari konsekwensi penggenjotan sektor pariwisata. 

Hal ini tentu berbeda dengan bagaimana pemberdayaan perempuan dalam sistem Islam. Perempuan dalam Islam ditempatkan pada posisi yang sangat mulia yakni Ibu dan pengatur rumah tangga (Ummun warobbatul bait). Sebagaimana fitrahnya perempuan mendampingi tumbuh kembang anak dan sebagai pendidik utama dalam mencetak generasi-generasi hebat yang akan memegang tongkat estafet kebangkitan umat dan kebanggaan zaman. Perempuan diberikan keleluasaan untuk menimba ilmu agama dan umum serta menempatkan posisinya sesuai dengan fitrahnya. Bekerja bagi perempuan dalam Islam adalah mubah (boleh), tanpa meninggalkan peran utamanya. Bekerja bukan sebagai kewajiban bagi perempuan, apalagi menjadi tulang punggung keluarga. Jika perempuan mempunyai aktivitas di publik, semata-mata untuk mendukung perannya dalam mencerdaskan umat dan aktivitas dakwah politik sebagaimana konsep pemberdayaan dalam Islam bagi perempuan.

Dalam hal penafkahan, syariat Islam telah menjamin penafkahan bagi perempuan melalui empat jalur. Apabila belum menikah, maka penafkahan ada pada jalur ayah. Ketika sudah menikah, jalur penafkahan ada pada suaminya. Bila menjadi janda, nafkahnya melalui ayahnya (jika masih hidup). Apabila ayahnya sudah meninggal, maka jalur penafkahan melalui saudara laki-lakinya atau anak laki-lakinya. Ketika semua jalur itu sudah tidak ada, maka penafkahan ditanggung oleh negara dengan Baitul Mal. 

Upaya penyesatan paradigma dengan berbalut pemberdayaan perempuan di sektor ekonomi dalam sistem kapitalisme sejatinya menumbalkan perempuan ke kubangan kehancuran demi kehancuran. Dan semakin membuka bobroknya sistem kapitalisme. Kesetaraan gender yang terus digaungkan melalui berbagai program termasuk melalui konferensi baik nasional maupun internasional sejatinya mustahil mengantarkan pada kesejahteraan dan kemuliaan perempuan. Hal ini seharusnya menjadi pembelajaran besar bagi perempuan untuk tidak membebek pada program yang akan menghancurkannya. Wallahu ‘alam bishowab.




Share this article via

57 Shares

0 Comment