| 91 Views

Pembagian Sertifikat Tanah Reforma Palsu Penyelesaian Konflik Lahan

Oleh: Eno Fadli
Pemerhati Kebijakan Publik

Konflik agraria yang meningkat sepanjang tahun, menjadi persoalan serius di tanah air. Presiden Jokowi menyampaikan bahwa pada tahun 2015-2016, banyak warga yang memintanya untuk menyelesaikan masalah lahan, setiap ada pertemuan dengan warga selalu saja diminta untuk membantu mereka dalam pengurusan sertifikat lahan. Terdapat 80 juta lahan yang belum bersertifikat, baru 46 dari 126 juta lahan yang seharusnya bersertifikat, ungkap Jokowi (Kementerian ATR/BPN, 27/12/2023).

Pemerintah menilai banyak kasus sengketa lahan baik sengketa antar warga, warga dengan pemerintah atau warga dengan perusahaan disebabkan dari banyaknya lahan yang tidak bersertifikat, sehingga perlu mempercepat penerbitan sertifikat tanah.

Namun kebijakan yang dilakukan pemerintah ini dinilai sejumlah pihak tidak akan dapat menyelesaikan konflik agraria yang sedang meningkat. Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Bidang Advokasi dan Jaringan Zainal Arifin mengatakan bahwa pembagian sertifikat tanah merupakan kewajiban pemerintah untuk mengakui secara hukum hubungan antara masyarakat dengan tanah yang dimilikinya. Persoalan konflik lahan bukan dalam konteks sertifikasi tanah, tetapi berkaitan dengan penyelesaian konflik-konflik yang masih ada karena disebabkan ketimpangan kekuasaan yang masih belum terselesaikan.

Tanah-tanah yang disertifikasi oleh pemerinta di era Jokowi saat ini bukanlah tanah yang berkonflik, melainkan tanah masyarakat yang memang belum disertifikasi karena banyak faktor, termasuk ketiadaan dana untuk mengurusnya. Sehingga dinilai penyelesaian konflik agraria yang dilakukan pemerintah merupakan reforma palsu, pasalnya konflik meningkat disebabkan UU Cipta Kerja yang dikeluarkan pemerintah (Voa.com, 28/12/2023).

Dalam UU Cipta Kerja (Pasal 103 ayat 2) disebutkan “Untuk kepentingan umum dan/atau proyek strategis nasional, lahan budidaya pertanian sebagaimana dimaksud ayat 1 dapat dialihfungsikan. Sehingga hal inilah yang menyebabkan banyak konflik lahan di berbagai sektor. Banyak dari proyek strategis nasional (PSN) yang kerap merampas lahan warga, sebagaimana terjadi di desa Wadas, Jawa Tengah, Pulau Rempang di Riau, Pembangunan jalan tol Trans sumatera di Riau dan Lampung, konflik Waduk Sepaku Semoi penunjang infrastruktur IKN di Kalimantan, Pembangunan sirkuit Mandalika Nusa Tenggara Barat, dan lain sebagainya.

Negara yang seharusnya hadir menyelesaikan konflik lahan justru negaralah yang menjadi penyebab persoalan agraria menjadi meningkat dan menjadi konflik yang tidak kunjung selesai. Aturan-aturan yang dibuat oleh negara dengan dalih pembangunan nasional, memudahkan para pemilik modal merampas lahan rakyat.

Persoalan agraria ini tidak hanya menjadikan warga kehilangan lahannya, akan tetapi mereka juga kehilangan mata pencahariannya karena aktivitas warga yang bergantung pada wilayah tempat tinggalnya. Selain itu dampak negatif yang diakibatkan dari pengambil lahan yang dijadikan proyek-proyek pembangunan berpengaruh pada lingkungan sekitar yaitu dengan intensitas resapan air yang berkurang menjadikan wilayah tersebut rawan banjir, terjadinya kerusakan ekosistem dan polusi udara yang meningkat berdampak pada kesehatan warga sekitar.

Penerapan sistem kapitalisme neoliberal yang melahirkan kebebasan dalam kepemilikan lahan mengakomodir kerakusan para pemilik modal melalui perundang-undangan. Akibatnya rakyatlah yang selalu menjadi korban. Kapitalisme menjadi biang keladi dalam konflik lahan, sudah seharusnya diganti dengan sistem yang memanusiakan manusia yaitu sistem  yang adil yang lahir dari wahyu yaitu sistem Islam.

Lahan yang merupakan kepemilikan individu tidak boleh dirampas oleh pihak siapapun dan dengan dalih apapun. Pengambilan lahan tanpa alasan syar”i merupakan bentuk perbuatan zalim yang telah diharamkan oleh Allah SWT. Negara dalam sistem Islam berperan dalam memberikan perlindungan yang menyeluruh dan berkeadilan untuk warganya, karena syari’ah telah mengatur dan melindungi harta kepemilikan masyarakat secara total, termasuk pada kepemilikan lahan. Pembangunan yang dilakukan oleh negara merupakan pembangunan yang riil yang dibutuhkan masyarakat bukan pembangunan yang mengedepankan keuntungan untuk segelintir orang. Sehingga tampak penyelesaian masalah lahan bukan pada pembagian sertifikat tanah namun karena tidak diterapkannya sistem Islam sebagai sistem yang adil yang membawa kemaslahatan dan rahmat untuk seluruh manusia.

Wallahu a’lam bishshawab


Share this article via

60 Shares

0 Comment