| 69 Views
Pelantikan Wakil Rakyat, Benarkah Membawa Harapan Baru?

Oleh : Ummu Aqilla
Aktivis Muslimah Ngaji
Pesta demokrasi telah usai, namun carut marut pilkada saat ini masih genting di perbincangkan. Jelang pendaftaran calon Pilkada 2024 pada 27 hingga 29 Agustus 2024 mendatang, ketua parpol terus melakukan pertemuan untuk menjajakan jagoan masing-masing. Manuver petinggi parpol untuk membangun koalisi yang kuat dan gemuk bisa terlihat di daerah-daerah strategis. Namun, andil ketua umum parpol dan para pejabat teras masih cukup kental menentukan calon kepala daerah yang bakal diusung.
Dalam Pilkada Jakarta 2024 misalnya, gerbong parpol di Koalisi Indonesia Maju (KIM) sering kali menuturkan bahwa penentuan calon kepala daerah bakal ditentukan para ketua umum. KIM merupakan gerbong parpol yang mengusung presiden dan wakil presiden terpilih Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Bahkan, ada wacana mereka menggaet parpol lain di luar pendukung Prabowo-Gibran dengan membentuk KIM Plus di daerah pilkada strategis. Dikutip : (liputan6.com Minggu 11/8/2024)
Anies, bakal calon gubernur gagal maju dalam Pilkada 2024, baik di Jakarta maupun Jabar buka suara. Ia menyebut dirinya gagal melaju dalam kontestasi pemilihan kepala daerah karena seluruh partai politik tersandera oleh pemegang kekuasaan. Ada usulan agar Anies masuk partai.
Jangankan dimasuki, mencalonkan saja terancam," tegas Anies di akun Youtube pribadinya. (cnbcindonesia.com 1/9/2024).
Kritikan Anies seolah menegaskan bahwa sistem perpolitikan di Indonesia saat ini tidak memberikan kesempatan yang cukup bagi pihak yang ingin menawarkan alternatif berbeda. Situasi yang jauh dari ideal, partai politik yang seharusnya menjadi wadah menyalurkan aspirasi rakyat justru menjadi alat mempertahankan status quo, pendukung politik dinasti.
Belum lagi fenomena artis masuk bursa pilkada bukan hal baru. Dalam sistem demokrasi, siapa pun bisa mencalonkan diri asal sesuai syarat yang ditetapkan UU. Yang jadi masalah, kualifikasi dan integritas para artis ini apakah mumpuni? Jangan sekadar popularitas dan finansial saja yang dipertimbangkan.
Sahrul Gunawan-Gun Gun Gunawan dan Dadang Supriatna-Ali Syakieb telah resmi mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) kabupaten Bandung pada hari Kamis (29/8/2024). Pendaftaran terjadi pada Kamis malam dan merupakan hari terakhir pendaftaran Pilkada Kabupaten Bandung. Pasangan Sahrul-Gun Gun mendaftar pukul 20.00 WIB, sedangkan pasangan Dadang-Ali mendaftar pukul 16.00 WIB. Sahrul dan Dadang merupakan calon petahana. (KOMPAS.com)
Menggandeng para artis sebagai wakil bupati bukan yang pertama kali dilakukan Dadang. Sedangkan partai yang mengusung Sahrul-Gun Gun dalam pilkada kali ini, yaitu Garuda Golkar, PKS dari partai parlemen. Sedangkan dari partai non-parlemen antara lain adalah PPP, Hanura, Partai Ummat, dan Partai Garuda.
Pada dasarnya, demokrasi hanya membutuhkan suara terbanyak untuk meraih kemenangan, bukan dari kapabilitas calon yang diusung. Pertanyaannya, apakah setelah meraih kedudukan di kursi kekuasaan, mereka bisa membawa perubahan dan menjadikan masyarakat hidup sejahtera?
Setelah di telaah, ternyata perubahan yang signifikan belum bisa dirasakan. Buktinya, masih banyak rakyat yang justru menderita dan terjepit dengan berbagai kebijakan yang menzalimi rakyat.
Lihat saja kebijakan-kebijakan seperti undang-undang Omnibus law cipta kerja yang sangat tidak pro-rakyat. Inilah kelemahan sistem demokrasi sekuler sesungguhnya. Sistem ini melahirkan para pejabat yang rakus dan korup. Sebab, parpol mendukung para artis hanya untuk kepentingan dan keuntungan semata. Tidak peduli kompeten atau tidak, yang penting bisa meraih suara terbanyak dalam kancah pertarungan politik. Saling sikut antarkelompok demi memenangkan pertarungan politik sudah menjadi hal biasa. Tidak ada kawan dan lawan yang abadi. Semua bisa berubah setiap waktu.
Yang jelas, dalam sistem demokrasi, kekuatan pemerintahan tidak hanya di tangan penguasa, tetapi oligarki. Jadi, artis memang untuk pemancing, sementara yang mendominasi pemerintahan tetap oligarki.
Demi mengejar keuntungan pribadi dan kelompoknya itu, praktik politik yang terjadi kerap brutal dan membabi buta. Persahabatan dikorbankan. Pertemanan diingkari. Berbohong dan ingkar janji perkara biasa. Bahkan ada yang rela menghabisi partainya sendiri. Semua demi keuntungan politik.
Namun, kondisi ini merupakan sesuatu yang wajar terjadi dalam negara yang menerapkan sistem sekuler-demokrasi. Pasalnya, penerapan sistem sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan telah menjadikan politik kering dari nilai-nilai agama. Melalui kedudukan dan kekuasaannya, pejabat meraih keuntungan materi sebanyak-banyaknya, bukan lagi sebagai amanah Allah dan ibadah.
Begitulah kekuasaan Idealisme pun bisa dikalahkan demi mendapatkan kemenangan. Koalisi dibentuk dengan pertimbangan peluang kemenangan, meski berbeda ‘ideologi’, berbeda pandangan politik pada masa lalu dan sebagainya. Demikian pula pemilihan figur semata dengan perhitungan kemenangan bukan pada kapabilitas apalagi integritas calon kepala daerah. Karena itu politik uang menjadi keniscayaan.
Berbeda dengan sistem politik yang diajarkan Islam. Politik Islam didasarkan pada akidah Islam yang lurus yang memandang bahwa Allah adalah Al-Khalik (Pencipta) dan Al-Mudabbir (Pengatur) kehidupan. Oleh karenanya, praktik politik pun wajib dijalankan di atas aturan-aturan syariat dan wajib ditegakkan oleh semua pihak, baik penguasa maupun rakyatnya.
Politik dalam pandangan Islam merupakan ri'ayah syu'unil ummah (pengurusan urusan umat) dengan syariat Islam saja. Oleh karena itu, politik tidak hanya dimaknai sebagai kekuasaan sebagaimana dalam politik demokrasi.
Islam menetapkan kekuasaan adalah Amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt. kekuasaan juga hanya untuk menerapkan aturan Allah dan rasulNya.
Partai politik dalam Islam lahir dan tegak dalam rangka memenuhi kewajiban dan seruan Allah. Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِا لْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَاُ ولٰٓئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ
"Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung."
(QS. Ali 'Imran 3: Ayat 104).
Dalam sistem Islam, rakyat dilibatkan dalam memilih Khalifah. Hanya saja, Islam telah menetapkan syarat-syarat sah kepemimpinan, di antaranya: seorang muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil, merdeka, dan mampu melaksanakan amanah kekhilafahan.
Islam juga telah menetapkan metode baku dalam pengangkatan pemimpin, yakni baiat. Sedangkan pemilihan oleh rakyat secara langsung hanya merupakan salah satu cara untuk memilih pemimpin setelah Mahkamah Mazalim menetapkan calon Khalifah yang lolos verifikasi. Demikianlah sistem politik Islam yang mampu mencetak pemimpin berkualitas dengan tetap memperhatikan kemaslahatan.