| 31 Views
Paradoks Persatuan Umat Dalam Haji Dengan Kenyataan Umat Yang Tepecah Adalah Bukti Kebobrokan Sistem Kapitalis

Oleh : Sumarni Ummu Suci
Setiap tahun jutaan muslim dari berbagai penjuru dunia yang berasal dari latar belakang budaya, bahasa, warna kulit dan status sosial yang beragam berkumpul di tanah suci Mekkah untuk menunaikan ibadah haji.
Sebuah peristiwa spiritual yang merefleksikan ketaatan individu kepada Allah SWT. Peristiwa ini juga menjadi simbol agung dari persatuan umat Islam yang dibangun atas dasar aqidah Islam yang kokoh dan universal yang mempersatukan hati - hati manusia dalam satu ikatan ukhuwah imaniyyah dan menghapus segala batas - batas duniawi yang bersifat semu dan sementara.
Umat Islam yang kini berjumlah hampir 2 milyar jiwa di seluruh dunia, sesungguhnya memiliki potensi luar biasa untuk menjadi kekuatan global yang disegani.
Potensi ini mencakup berbagai bidang, seperti politik, ekonomi hingga sosial. Namun hal itu hanya dapat terwujud jika umat Islam mampu melepaskan diri dari belenggu perpecahan yang disebabkan oleh sekat - sekat nasionalisme sempit, fanatisme golongan serta kepentingan duniawi yang memecah belah.
Sebaliknya persatuan atas dasar aqidah Islam harus dijadikan fondasi utama dalam membangun peradaban yang adil dan bermartabat di kanca dunia.
Di momen Idul Adha tahun ini umat Islam diberbagai negara kembali menunjukkan perbedaan dalam penetapan hari raya. Malaysia misalnya menetapkan Idul Adha jatuh pada 7 Juni 2025, sementara Arab Saudi menetapkannya pada 6 Juni.(sumber : www.detik.com).
Perbedaan ini mencerminkan bahwa persatuan umat Islam secara global belum benar - benar terwujud. Disisi lain momen persatuan yang tampak begitu indah saat Idul Adha melalui aktivitas ibadah di tanah suci, sering kali hanya bersifat sementara.
Jutaan umat Islam dari berbagai bangsa dan latar belakang memang berkumpul dalam satu tujuan yang sama mencerminkan semangat ukhuwah yang luar biasa.
Namun sayangnya setelah momen itu berlalu umat kembali bercerai berai, bahkan tidak jarang terjadi permusuhan diantara sesama muslim akibat konflik kepentingan dan fanatisme kelompok.
Dalam kondisi ini penderitaan dan ketidak adilan yang menimpa saudara seiman diberbagai penjuru dunia sering kali dilupakan.
Sebagaimana yang terjadi di Palestina, Uighur, Rohangya dan lain - lain. Padahal penderitaan yang menimpa mereka sudah seharusnya menjadi perhatian dan tanggung jawab bersama sebagai bagian dari ukhuwah Islamiyyah.
Persatuan sejati umat Islam tidak akan benar-benar terwujud hanya melalui seruan moral atau momentum ibadah tahunan semata, melainkan membutuhkan institusi politik Islam global yakni khilafah yang mampu menyatukan umat dalam satu kepemimpinan, satu sistem hukum dan satu tujuan hidup berdasarkan syari'at Islam.
Sehingga umat tidak lagi bercerai berai oleh batas - batas negara, kepentingan nasional atau ideologi buatan manusia yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Idul adha bukan hanya perayaan spiritual, tetapi juga momentum untuk meneladani ketaatan nabi Ibrahim dan nabi Ismail kepada Allah SWT.
Keteladanan nabi Ibrahim as tercermin saat ia dengan ikhlas dan segera bersiap melaksanakan perintah Allah untuk menyembelih putranya nabi Ismail as. Meski perintah itu sangat berat ia tetap taat. Padahal Ismail anak yang telah lama dinanti dan baru dikaruniakan di usia tuanya.
Betapa besar ujian itu, namun nabi Ibrahim tetap mendahulukan ketaatan kepada Allah. Peristiwa ini mengajarkan pentingnya kepatuhan total terhadap perintah Allah. Ketaatan yang dilakukan tanpa memilah milih menimbang perasaan, apalagi menimbang kepentingan duniawi.
Seluruh perintah dari Allah wajib disambut oleh umat Islam dengan penuh kepatuhan dan ketaatan tanpa ragu atau dengan kalimat "sami'na wa atho'na" kami dengar dan kami taat. Sebagaimana yang ada dalam QS.An - Nur : 51.
Lebih dari itu Idul Adha seharusnya menginspirasi umat Islam untuk menerapkan syari'at Islam secara menyeluruh. Bukan hanya dalam konteks individual, moral atau ritual. Namun juga ekonomi, politik, pendidikan, sosial, budaya hingga negara.
Ketaatan totalitas ini tentu diperintahkan Allah SWT dalam Al-Qur'an surat Al - Baqarah : 208
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا ادْخُلُوْا فِى السِّلْمِ كَاۤفَّةً ۖوَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ
"Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu." (QS. Al - Baqoroh : 208)
Oleh karena itu setiap muslim memiliki kewajiban untuk menerapkan syari'at Islam secara menyeluruh dalam kehidupan.
Islam tidak memisahkan urusan agama dari aspek politik, ekonomi maupun pemerintahan atau yang disebut dengan sekulerisme.
Penegakan khilafah dan upaya untuk mewujudkannya merupakan bentuk ketaatan kepada Allah.
Melalui khilafah 'ala minhaj an - nubuwwah, syari'at Islam dapat diterapkan secara sempurna dan menyeluruh. Sebab penerapan Islam secara total tidak dapat dilepaskan dari keberadaan institusi negara yang menjalankan syari'at secara menyeluruh.
Oleh karena itu kaum muslimin tidak boleh mengabaikan kewajiban memperjuangkan hadirnya kembali syari'at Islam kaffah dibawah institusi khilafah.
Wallahua'lam bissawab.