| 144 Views

Pajak Dalam Sistem Kapitalisme Makin Menyengsarakan

Oleh : Ummu Abyan
Aktivis Dakwah

Di tengah hiruk-pikuk kehidupan sehari-hari masyarakat, sering kali dihadapkan pada tuntutan pajak yang makin berat dan  sistemnya yang tidak adil. Pajak seharusnya menjadi instrumen untuk mendorong pembangunan dan kesejahteraan bersama, namun kenyataannya justru menciptakan kesan bahwa negara bertindak sebagai pemalak. Banyak masyarakat yang merasa tertekan oleh kewajiban perpajakan yang tinggi, sementara manfaat yang mereka terima dari negara terasa minim. Ketidakpuasan ini muncul dari ketidaktransparan dan ketidakadilan sistem pengelolaan pajak, di mana sebagian besar beban ditanggung oleh rakyat biasa, sementara korporasi besar sering kali lolos dari kewajiban pajaknya. Dalam konteks ini, pajak bukan lagi sekadar kewajiban, melainkan menjadi simbol ketidakadilan sosial.

Pemerintah akan mengawasi pemilik kendaraan yang menunggak pajak dengan mengunjungi rumah mereka untuk mengingatkan pembayaran. Korlantas Polri mencatat kepatuhan masyarakat dalam memperpanjang STNK rendah. Hanya 69 juta dari 165 juta kendaraan terdaftar, yang membayar pajak. Polisi juga akan menegakkan hukum terhadap pelanggar lalu lintas.
Sedangkan MenKeu Sri Mulyani Indrawati membebaskan mobil listrik impor dari Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) untuk tahun anggaran 2024. Kebijakan ini tercantum dalam PMK 9/2024, yang menyatakan bahwa selama tahun 2024 pemerintah akan menanggung 100% PPnBM untuk mobil listrik tertentu, sehingga tidak ada pajak yang dikenakan pada pembeli (Menkeu, 15-2-2024).
Pengusaha kini dapat menikmati fasilitas tax holiday yang diperpanjang hingga 31 Desember 2025 berdasarkan PMK 69/2024. Kebijakan ini bertujuan menarik lebih banyak investasi asing ke Indonesia, terutama di tengah penerapan pajak minimum global sebesar 15%.

Pemerintah menerapkan perlakuan berbeda dalam pajak. Rakyat kecil dianggap target utama dengan penegakan tegas, termasuk kunjungan ke rumah untuk menagih pajak kendaraan. Sementara itu, pengusaha mendapatkan kemudahan seperti bebas PPnBM dan tax holiday. 
Para pekerja terpaksa menerima gaji yang terpotong PPh 21 dan berbagai iuran seperti BPJS Kesehatan, JKK, JKm, dan lainnya. Mereka juga harus membayar PPN saat membeli barang dan retribusi parkir. Banyaknya potongan ini makin menyulitkan rakyat dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, sehingga menjadikan kehidupan mereka jauh dari sejahtera.
Belum lagi para pelaku UMKM yang juga dikenakan berbagai pajak, hingga tak sedikit membuat usaha mereka sulit berkembang atau bahkan bangkrut. Contohnya, Pramono, seorang peternak dari Boyolali, terpaksa menutup bisnisnya karena terjerat pajak sebesar Rp 670 juta.
Sedangkan para pengusaha kaya raya mendapat keringanan pajak seperti tax holiday dan tax allowance. Insentif perpajakan diberikan demi meningkatkan investasi asing. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan perpajakan lebih berpihak kepada para kapitalis daripada rakyat jelata.

Pajak membebani rakyat kecil, tetapi mereka tidak merasakan manfaatnya. Pada 2023, penerimaan pajak mencapai Rp 2.155,4 triliun, naik 5,9% dari 2022, namun tidak sebanding dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Layanan publik, pendidikan dan kesehatan menjadi makin mahal, sementara subsidi terus dikurangi. Rakyat dibebani pajak tinggi, tetapi hanya pejabat dan pengusaha besar yang menikmati keuntungan, sehingga menciptakan ketidakadilan dalam sistem perpajakan yang merugikan rakyat.

Pajak adalah sumber utama pendapatan negara dalam sistem kapitalisme, termasuk di Indonesia. Pada 2023, penerimaan pajak mencapai 78% dari total pendapatan negara sebesar Rp 2.774,3 triliun, sementara penerimaan dari sumber daya alam hanya Rp 223 triliun atau 8%.
Dalam sistem kapitalisme, negara menyerahkan pengelolaan sumber daya alam kepada swasta dengan dividen rendah. Dan untuk memenuhi kebutuhannya, pemerintah meningkatkan pajak, membebani masyarakat di berbagai aspek, demi mencapai target pajak yang terus meningkat. Kekayaan alam milik rakyat dikelola swasta dan mereka tetap harus membayar pajak tinggi. Akibatnya, kehidupan masyarakat makin sulit sementara pengusaha makin kaya dengan ketimpangan pendapatan yang melebar. Menurut World Inequality Report 2022, 1% penduduk terkaya menguasai 30,16% total aset, sedangkan 50% terbawah hanya memiliki 4,5%. Hal ini menunjukkan bahwa sistem perpajakan kapitalis menyengsarakan rakyat, di mana negara berfungsi sebagai pemalak yang membebani masyarakat dengan pajak.

Berbeda dengan sistem Islam, yang mana penguasa berposisi sebagai ra’in (pengurus) terhadap urusan rakyat. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah SAW:
“Imam adalah ra’in (pengurus) dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya” (HR Bukhari).
Negara yang bersistemkan Islam (Khilafah) menerapkan ekonomi Islam untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Sistem ini mencakup sektor industri, pertanian, dan perdagangan untuk menciptakan lapangan kerja, sehingga pria dewasa dapat mendukung keluarga dan memenuhi kebutuhan pokok.

Kita ketahui bahwa negeri-negeri muslim memiliki sumber daya alam melimpah, termasuk sektor pertambangan. Dengan pengelolaan sesuai syariat Islam, sektor ini dapat memberikan kontribusi ekonomi yang signifikan. Penerimaan dari Baitul Mal, terutama dari pertambangan, memungkinkan Khilafah mendanai pengeluaran negara dan pembangunan tanpa utang atau pajak, menciptakan sistem keuangan yang berkelanjutan dan adil bagi masyarakat. 
Khilafah tidak menetapkan target pajak tahunan dan tidak memungut pajak dari rakyat seperti dalam sistem kapitalis. Pajak (dharibah) hanya dikenakan saat kas negara kosong dan ada kebutuhan mendesak, serta tidak boleh dipungut jika Baitul Mal cukup. Dalam sistem Islam, pajak hanya dikenakan kepada laki-laki muslim kaya, sementara perempuan, anak-anak, orang miskin, dan non muslim dibebaskan dari pajak, untuk mencegah kezaliman. Maka suatu keniscayaan masyarakat hidup sejahtera dengan penerapan sistem Islam. 

Wallahu A'lam bish-shawab


Share this article via

95 Shares

0 Comment