| 33 Views
Pagar Laut, Bukti Lemahnya Negara terhadap Oligarki

Oleh : Fatiyah Danaa. H,
Anggota Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok
Di saat petakan tanah banyak diambil alih negara berkedok korporasi dengan dalih untuk pembangunan nasional, laut pun tidak lupa mereka kuasai tanpa menyisakan apa yang sudah seharusnya menjadi hak rakyat. Berdasarkan data dari Kementerian ATR/BPN, berkaitan dengan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM) pada pemagaran laut di Tangerang, Banten, telah terbit sebanyak 263 bidang SHGB yang kepemilikannya terbagi atas nama berbagai perusahaan, salah satunya PT. Intan Agung Makmur yang terafiliasi dengan Proyek PIK 2. Tidak hanya di Tangerang, telah ditemukan juga pemagaran laut di Pulau C reklamasi Jakarta; Kamal Muara, Jakarta; serta Bekasi, Jawa Barat (walhi.or.id,/23/01/2025).
Hingga saat ini kasus pemagaran laut belum juga terselesaikan, padahal sudah jelas, kasus pagar laut ini merupakan pelanggaran hukum. Seolah-olah bukan permasalahan urgent bagi negara dan para petinggi hanya bisa saling lempar tanggung jawab. Akibatnya rakyat terus yang dirugikan, terutama para nelayan yang mereka menggantungkan pencahariannya kepada laut. Apakah sesulit itu untuk institusi skala sebesar negara untuk mengungkap dan megadili ‘biang kerok’ di balik kasus pemagaran laut?
Inilah bukti negara di bawah sistem demokrasi ini tidak akan pernah berpihak kepada rakyat. Negara yang harusnya menjadi pelayan bagi rakyatnya, malah menyalahgunakan power demi kepentingan individu baik itu pribadi maupun korporasi. Demokrasi yang digadang-gadangkan kini telah bergeser menuju korporatoraksi, yaitu suatu kondisi dengan sistem pemerintahan didominasi oleh korporasi-korporasi besar, artinya kebijakan-kebijakan negara akan selalu diarahkan untuk melayani kepentingan korporasi alias oligarki.
Pagar laut adalah salah satu bukti akan lemahnya negara, berani memutar balikkan hukum demi menyenangkan mereka, para oligarki. Harus ada solusi tuntas yang mengakar untuk membasmi permasalahan sistemik ini. Bagaimanakah dengan sistem Islam?
Sistem Islam membagi kepemilikan menjadi tiga, yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Kepemilikan umum terdiri dari apa saja yang memiliki manfaat besar bagi masyarakat, termasuk di dalamnya sumber daya alam. Pengelolaan kepemilikan umum ini diserahkan kepada negara tanpa ikut campur swasta dan keseluruhan hasilnya harus dinikmati seluruh lapisan masyarakat.
اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ في ثلَاَثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْماَءِ وَالنَّارِ
“Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api” (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Berdasarkan hadits di atas, seluruh umat Muslim itu memiliki kebebasan memanfaatkan seluruh hasil dari padang rumput (hasil bumi), air dan api (migas), begitu pun laut, artinya tiga hal yang disebutkan dalam hadits tersebut adalah termasuk dalam kepemilikan umum. Berbeda dengan penguasa negara penganut sistem demokrasi kapitalis ini, dimana laut saja yang hakikatnya milik rakyat berani mereka perjualbelikan demi cuan dan asas kepentingan lainnya.
Hanya dengan sistem Islam dalam institusi Khilafah Islamiyah, semua hasil pemanfaatan sumber daya alam akan dipastikan dirasakan ke seluruh lapisan masyarakat. Hukum yang akan ditetapkan pun adalah hukum Allah SWT, bukan hukum atau aturan buatan manusia yang merupakan makhluk lemah yang mudah disetir dengan kepentingan-kepentingan.
Penguasa juga akan menjalankan fungsinya sebagai raa’in (pengurus) dan junnah (perisai) bagi rakyatnya, sehingga tidak akan lagi ada kezaliman-kezaliman seperti yang terjadi dalam negara demokrasi ini.