| 117 Views

Pagar Laut Berizin, Bukti Kuatnya Cengkraman Korporasi di Indonesia

Oleh : Raodah Fitriah, S.P

Penemuan pagar bambu yang berjejer di perairan Kabupaten Tangerang, diketahui sejak Juli 2024. Bahkan kelompok nelayan tradisional telah melaporkan ke Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten. Setelah kasus itu viral di media sosial, proses pencabutannya pun dilakukan (BBC News Indonesia, 3/2/2025).

Kekuatan Korporasi Di Indonesia 

Kasus ini sudah jelas termasuk pelanggaran hukum, namun tidak ditindaklanjuti dengan cepat dan dibawa ke ranah hukum. Sebanyak enam orang pejabat dicopot dari jabatannya, sudah diperiksa dan disanksi karena dianggap lalai dalam menerbitkan sertifikat (Kompas.com, 31/1/2025). Beberapa pihak yang punya kuasa atas itu, menjadikan oknum sebagai kambing hitam dan para pejabat lainnya sibuk bersilat lidah dan berlepas tangan.

Kasus serupa juga pernah terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Hal ini menunjukkan laut menjadi salah satu peluang usaha strategis bagi korporasi. Kekuatan modal mereka, didukung oleh kekuatan dalam lingkaran kekuasaan, pada akhirnya melahirkan korporatokrasi. Menurut praktisi hukum sekaligus pengamat kebijakan publik, Yus Dharma, pemagaran laut merupakan tindak kejahatan korporasi (Bali post, 1/2/2024). 

Sedangkan negara saat ini kalah, bahkan tunduk di bawah kekuasaan korporasi yang memiliki uang. Di jajaran pegawai atau pejabat pun justru menjadi kaki tangan para korporat untuk menebar kejahatan bagi rakyat, bekerja sama melanggar hukum dan mengancam kedaulatan negara.

Terjadinya Korporatokrasi 

Dari kasus ini muncul satu pertanyaan, mengapa korporatokrasi mengakar dan berkuasa di negeri ini? Hal ini dikarenakan negara saat ini menerapkan sistem sekuler liberal. Sistem ini merupakan hasil pikiran manusia yakni manusia diberikan wewenang untuk membuat aturan atas hidup masyarakat secara keseluruhan dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam aspek politik dan ekonomi. Sekularisme sebagai asas membuat pemegang kebijakan melepaskan rambu-rambu agama jika dianggap dapat menutup peluang keuntungan materi, namun acapkali memakai dalil Islami untuk melegalkan maksud mereka. Pada akhirnya muncul negara yang abai terhadap nasib rakyat dan terjadilah liberalisasi di bidang ekonomi, seperti yang nampak saat ini.

Dari kasus ini tampak jelas bahwa negara kalah dengan para korporat yang punya banyak uang. Bahkan aparat/pegawai negara menjadi fasilitator kejahatan terhadap rakyat dan bekerjasama dalam membuat aturan yang menentang aturan Allah.

Walhasil, kekayaan alam yang sepatutnya menjadi milik rakyat, justru dikuasai oleh segelintir orang atau korporat. Akhirnya, kezaliman terhadap rakyat terus terjadi guna memuluskan hajat korporat. Padahal sudah jelas tindakan tersebut merupakan pelanggaran hukum, akan tetapi negara sangat lambat menanggapinya. Hal ini tidak mengejutkan, karena dalam penerapannya kapitalisme akan terus melahirkan para pegawai dan aparat yang bekerja untuk mencari materi tanpa memperhatikan halal dan haram. 

Fungsi Negara Dalam Islam 

Dalam Islam, negara berfungsi sebagai raa'in (pengurus) dan junnah (perisai), artinya negara akan memastikan segala kebijakan yang berlaku di tengah-tengah rakyat harus adil sesuai dengan pandangan syariat, sekaligus menjamin rakyat benar-benar terurus dengan optimal. Negara juga akan melindungi rakyat dari segala hal yang berbahaya yang akan mengancam keberlangsungan hidup rakyat, salah satunya adalah penguasaan mereka oleh orang-orang yang hanya cinta pada dunia. Kedua fungsi ini menjadi syariat, bahkan dicontohkan langsung oleh Rasulullah Saw pada saat beliau menjadi kepala negara Islam di Madinah.

Dalam kasus pemagaran laut, khilafah akan mengembalikannya pada hukum syariat, karena permasalahannya akan tercerabut tuntas melalui penerapan konsep kepemilikan ala Islam. Dalam Kitab Nidhamul Iqthisadiy fil Islam karya syekh Taqiyuddin an-Nabhani dijelaskan bahwa sistem ekonomi Islam fokus pada tiga jenis kepemilikan, yaitu  kepemilikan individu, kepemilikan negara dan kepemilikan umum. 

Secara realitas, Laut Tangerang merupakan kepemilikan umum dan tidak bisa dimanfaatkan oleh individu secara perorangan, apalagi sampai menghalangi individu lain dari memanfaatkannya. Rasulullah Saw bersabda "Tidak ada pagar pembatas, kecuali bagi Allah dan Rasul-Nya". (HR. Bukhari, Abu Dawud dan Ahmad). 

Makna hadist ini menegaskan bahwa, seseorang tidak memiliki hak untuk memberikan batas segala hal yang menjadi milik umum. Laut termasuk harta milik umum dan dimanfaatkan secara bersama-sama. Hal ini sejalan dengan hadist Rasulullah Saw bahwa "Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput dan api" (HR. Abu Dawud). Maka dari itu, pengelolaan laut terikat oleh syariat yang termasuk dalam kepemilikan umum, yakni hukumnya haram dipagari oleh pihak tertentu dan dikuasai oleh segelintir orang. 

Terkait konsep ini, memang hanya ada dalam negara Islam atau khilafah, takkan ditemukan dalam praktek kenegaraan di sistem kapitalisme saat ini. Karena setiap pelanggaran syariat dipandang sebagai kejahatan dalam sistem Islam, maka jika ada pihak-pihak tertentu yang menabrak konsep kepemilikan umum di atas, khilafah akan menjatuhkan sanksi (uqubat) yang tegas dan memberi efek jera. Khilafah bahkan tidak akan menunda atau meringankan orang-orang kaya dalam pemberian sanksi, seperti yang terjadi dalam sistem kapitalisme. 

Semua manusia dipandang sama di hadapan hukum Islam, dan khilafah memegang prinsip kedaulatan ada di tangan syara'. Pemikik modal tetap dapat melakukan praktek-praktek bisnis di wilayah khilafah, dengan catatan tidak melanggar syariat. Negara akan melakukan fungsi kontrol dan pengelolaan pada tanah maupun harta milik umum, sehingga seluruh warga negara khilafah dapat merasakan manfaatnya, bukan hanya sebagian kecil di antaranya semata. Dengan demikian, korporaktorasi tidak memiliki tempat dalam kehidupan dan aturan Islam akan dijalankan secara kaffah oleh negara dan tidak mengaplikasikan aturan selain Islam demi meraih keberkahan dari langit dan bumi.

Wallahu a'lam.


Share this article via

60 Shares

0 Comment