| 162 Views

Pagar Laut Akibat Aturan Buatan Manusia

Oleh : Lilis Tri Harsanti
Anggota Penulis Rindu Islam

Temuan pagar laut misterius di Tangerang, Banten lama-lama seperti opera sabun. Hingga kini tak jelas betul siapa yang bertanggungjawab atas pembangunan liar pagar pengganggu mata  pencaharian nelayan itu. Pemangku kebijakan sibuk lempar pernyataan dan berbantah apabila ditunjuk hidungnya. Penegak hukum setali tiga uang, tampak lesu dalam menindak perkara ini.

Ketidakjelasan dan lambatnya penanganan pemerintah dalam kasus pagar laut Tangerang membuat Zakiul Fikri gemas. Direktur Kajian Agraria Center of Economic and Law Studies (Celios) tersebut menilai, sudah banyak indikasi pelanggaran hukum dan administratif dalam kasus ini. Paling jelas, dokumen hak atas tanah diterbitkan dengan cara melanggar hukum.

Sebelumnya, pemerintah mengakui adanya temuan petak-petak hak guna bangunan (HGB) dan sertifikat hak milik (SHM) di sepanjang area pagar laut Tangerang. Wilayahnya masuk di Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji, Tangerang, Banten. Sebagaimana disampaikan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid.

Aplikasi BHUMI milik ATR/BPN mencatat di area pagar laut seluas 30,16 kilometer persegi tersebut diisi HGB dari 263 bidang tanah. Lebih rinci, HGB itu dikuasai PT Intan Agung Makmur 234 bidang, PT Cahaya Inti Sentosa 20 bidang tanah, dan 9 bidang lain milik perorangan. Selain itu, ada pula 17 bidang tanah yang telah memiliki SHM.
“Maka hak atas tanah tersebut mengandung cacat administratif. Konsekuensinya sertifikat itu dapat dibatalkan,” ucap Fikri kepada wartawan Tirto, Kamis (23/1/2025).

Nusron Wahid sendiri mengklaim akan membatalkan izin 263 HGB yang berada di wilayah pagar laut pesisir Kabupaten Tangerang tersebut. Nusron mengatakan Kementerian ATR/BPN sudah melakukan peninjauan terhadap lokasi yang tercantum di sertifikat HGB tersebut melalui data geospasial. Hasilnya, lokasi-lokasi tersebut terbukti menyalahi aturan karena berada di luar garis pantai. Nusron menambahkan penerbitan sertifikat HGB ini menyalahi aturan karena wilayah di luar garis pantai termasuk ke wilayah _common property_ yang tidak bisa disertifikasi.

“Tidak boleh di dalam luar garis pantai itu menjadi private property. Karena yang namanya pantai adalah _common land_,” terang Nusron kepada awak media di Pos TNI AL Tanjung Pasir, Desa Tanjung Pasir, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang, Rabu (22/1/2025).

Zakiul Fikri paham dengan langkah yang diambil Kementerian ATR/BPN. Dalam kasus pagar laut, terlihat jelas ada prosedur yang tidak dijalankan semestinya atau dimanipulasi. Sebab itu, kata Zakiul potensial terjadinya dua bentuk tindak pidana dalam kasus pagar laut.

Pertama, kasus potensi suap untuk meloloskan agar HGB bisa diproses di atas air laut. Dan yang kedua, pemalsuan data-data pelengkap dokumen. Selain itu, pihak yang bertanggung jawab bisa dituntut secara perdata jika terdapat korban yang merasa dirugikan oleh kasus ini.

“Bentuk atau kalkulasi kerugiannya dulu harus ditentukan, kalau itu sudah ditentukan, baru dapat dilihat apakah ini masuknya kerugian lingkungan atau apa, misalnya. Kalau kerugian lingkungan nanti masuk gugatan _class action_ terhadap perizinan pemanfaatan ruang laut yang bodong,” ucap Fikri.

Kasus pagar laut Tangerang memang bisa dibilang janggal. Sukar dibayangkan ada seluas 30 kilometer pagar laut terbangun di perairan, tetapi tidak ada satupun pemerintah pusat dan daerah yang menyatakan mengetahui keberadaannya. Padahal seiring berjalan waktu didapati fakta bahwa di atas laut yang dipagari itu sudah terbit hak atas tanah berupa HGB.

Fikri menilai HGB hanya terbit di atas tanah negara atau tanah hak, bukan di perairan laut. UU Pokok Agraria 1960 tegas melarang kepemilikan individu atau perorangan serta badan hukum atas objek sumber daya air. Larangan ini bisa ditemukan pada Pasal 8 dalam UU PA.

Maka sejatinya laut teritorial merupakan kuasa langsung negara yang tak boleh diprivatisasi. Pemanfaatannya pun harus memperhatikan kepentingan umum dan daya dukung ekosistem lingkungan sebagaimana diatur Pasal 15 dalam PP 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah.
(Tirto.id, 23-1-2025)

Pagar Laut, Mengapa Bisa Terjadi?

Fakta di atas menunjukkan lemahnya aturan yang ada. Aturan yang notabene buatan manusia tersebut memiliki celah untuk dipermainkan sehingga tindakan yang merugikan rakyat dan negara bisa legal (sesuai aturan). Celah ini dimungkinkan ada karena proses pembuatan aturan oleh manusia sarat akan kepentingan pihak-pihak yang mencari keuntungan.

Dalam konteks pagar laut, ada raksasa oligarki yang berkepentingan untuk memperoleh lahan demi memperluas bisnisnya. Dengan memanfaatkan celah aturan yang ada, lahan pun bisa didapatkan meski saat ini masih berupa laut. Ke depan, dengan melakukan reklamasi, laut yang sudah tersertifikasi bisa menjadi lahan yang siap untuk dibangun. Proyek properti di daratan tidak pernah dirasa cukup sehingga laut pun dikaveling untuk dijadikan daratan demi memperoleh keuntungan lebih banyak lagi.

Dalam kondisi ini, seharusnya negara hadir dan terdepan dalam membela kedaulatan wilayah dan nasib rakyat. Sayang sekali, negara justru membiarkan oligarki kapitalis menguasai wilayah yang seharusnya milik umum seluruh rakyat. Bahkan sebagian oknum pejabat negara menjadi bagian dari oligarki penguasa yang memuluskan jalan para kapitalis menguasai laut. Ini tampak dari keluarnya sertifikat HGB dan SHM untuk laut yang secara hukum merupakan milik umum.

Sikap negara yang tidak tegas dan bahkan berpihak pada para kapitalis yang jelas-jelas menyengsarakan rakyat ini mewujud karena model negara yang ala kapitalisme, yaitu tidak memiliki kedaulatan dalam mengurus urusan rakyat. Kedaulatan tersebut tergadaikan akibat prinsip kebebasan kepemilikan yang merupakan keharusan dalam sistem kapitalisme.

Meski lingkungan rusak dan rakyat sengsara akibat ulah para kapitalis yang mencaplok laut, tetapi negara tidak bisa menghukum mereka. Negara terbelenggu oleh doktrin kebebasan individu dan tidak bisa melindungi rakyat dari gurita kuasa para kapitalis.

Rakyat pun harus melawan korporasi sendirian, tanpa ada negara sebagai perisai (junnah). Akibatnya, rakyat mengalami intimidasi dan dalam posisi yang lemah karena negara tidak menjalankan perannya sebagai pengurus (raa’in) dan perisai (junnah). Negara hanya berperan menjadi regulator yang bergerak sesuai dengan arahan para oligarki kapitalis, bahkan menjadi penjaga kepentingan kapitalis. Ini sungguh berbeda dengan profil negara dalam Islam.

Khilafah Melindungi Kedaulatan Wilayah

Negara Islam (Khilafah) merupakan negara yang memiliki kedaulatan penuh untuk mengurus urusan negara dan menyejahterakan rakyatnya. Kedaulatan dalam pandangan Islam itu di tangan syariat, bukan di tangan manusia. Syariatlah yang seharusnya memimpin, bukan hawa nafsu manusia. Semua perilaku, ucapan, dan kebijakan penguasa wajib tunduk pada syariat Islam . Kedaulatan penuh ini membuat Khilafah tidak akan tunduk pada korporasi. Khilafah hanya tunduk pada ketentuan syariat Islam.

Penguasa di dalam Islam dilarang menyentuh atau mengambil harta milik umum dengan alasan apa pun (Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah, Asy-Syakhshiyah al-Islamiyah Jilid II hlm. 163). Islam mengakui adanya harta milik umum. Syekh Abdul Qadim Zallum rahimahullah dalam buku Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah (Sistem Keuangan Negara Khilafah) hlm. 87 menjelaskan bahwa harta yang keadaan asalnya terlarang bagi individu tertentu untuk memilikinya, terkategori milik umum.

Dalilnya adalah sabda Rasulullah saw. yang diriwayatkan Imam Abu Daud dan Ahmad, “Mina adalah milik orang-orang yang lebih dahulu sampai.” Makna hadis ini, bahwa Mina adalah milik bersama di antara kaum muslim dan bukan milik perseorangan sehingga orang lain dilarang memilikinya atau menempatinya.

Berdasarkan hal ini, laut terkategori milik umum bagi seluruh rakyat. Tidak boleh ada individu (perorangan maupun korporasi) yang memiliki laut. Demikian pula, tidak boleh ada individu yang menguasai atau memagari laut. Rasulullah saw. bersabda, “Tidak ada penguasaan (atas harta milik umum) kecuali bagi Allah dan Rasul-Nya.” (HR Bukhari). Artinya, tidak ada penguasaan atau pemagaran atas harta milik umum, kecuali oleh negara. Pelanggaran terhadap hukum tersebut adalah kemaksiatan dan negara akan memberi sanksi tegas bagi pelakunya. 

Wallahualam bissawab.


Share this article via

70 Shares

0 Comment