| 26 Views

Nurani Ibu Mati, Saat Sekularisme Kapitalisme Merajai

Oleh: Ronita, S. Pd
Pegiat Literasi

Betapa teganya seorang ibu yang seharusnya menjadi pendidik pertama (madrasatul ula) dan pengasuh (hadhanah) anaknya, justru menjerumuskan dan merusak masa depan anaknya sendiri. Telah matikah nurani seorang ibu?

Seorang ibu berinisial E di kecamatan Kalianget, kabupaten Sumenep tega membawa anaknya, seorang remaja perempuan belasan tahun untuk dicabuli oleh kepala sekolahnya sendiri. Hal tersebut menurut pengakuan dari pelaku, kepala sekolah berinisial J(41) sudah dilakukan sebanyak 5 kali. Kasus ini sementara ditangani, dan kedua pelaku yaitu ibu korban dan kepala sekolah telah ditangkap. (Kompas.com, 1/09/2024).
Kasus yang lebih ironis lagi terjadi di bulan Juni lalu. Seorang ibu berinisial AK (26) di kabupaten Bekasi Jawa Barat, merekam aksi pencabulan yang dia lakukan kepada anak laki-lakinya yang masih berumur 10 tahun. Menurut Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Ade Ary Syam Indradi, motif pelaku adalah motif ekonomi. (Detiknews, Jakarta, Sabtu/08/06/2024).

Kasus-kasus tersebut cukuplah menguak fakta bagaimana sistem hari ini yang sekuler kapitalis mampu mengubah sosok wanita lembut penuh kasih sayang menjadi sosok predator tanpa nurani. Miris menyaksikan beberapa kasus penyiksaan, pencabulan bahkan pembunuhan dilakukan oleh seorang ibu!.
Padahal dalam benak kita tergambar sosok ibu itu seperti "malaikat tak bersayap", tapi kemanakah sosok itu? Apakah yang membuat seorang ibu begitu tega berbuat dzolim terhadap buah hatinya sendiri?

Sebagaimana ungkapan bahwa "kejahatan bukan karena ada niat pelaku, tapi karena adanya kesempatan". Maka kesempatan itulah yang terbuka lebar hari ini, bagi seorang ibu untuk berbuat tega terhadap anaknya. Sistem hari ini yang berasal dari kesepakatan manusia untuk memisahkan kehidupan dunia dari agama lah (sekulerisme) yang menjadi pembuka peluang kejahatan manusia termasuk ibu. Jika menyimak kasus ibu AK yang tega mencabuli sendiri anak kandungnya demi mendapat uang maka bisa kita menarik kesimpulan bahwa dalam benak si ibu yang penting dapat cuan tak peduli lagi dengan apapun. Kapitalisme lah yang kemudian membentuk seseorang menjadi materialistik, tak peduli malu apalagi dosa. Kapitalisme ini lahir dari sistem kehidupan yang sekuleristik (memisahkan kehidupan dunia dari agama). Seorang ibu yang dikaruniai kasih sayang bisa melupakan kasih sayangnya  demi mendapatkan materi (uang). Padahal di dalam dekapan seorang ibu seorang anak diasuh dalam pengasuhan yang terbaik karena dari seorang ibu lahir generasi penerus.

Namun kenyataan justru berbalik. Di tangan seorang ibu, generasi penerus negeri bisa hancur. Benarlah dalam Islam disebutkan bahwa wanita adalah tiang negara, ketika rusak wanita maka negara juga akan rusak. Kehancuran seorang ibu maka akan berdampak kepada kehancuran generasi. Padahal baik buruknya negeri ini tergantung dari siapa generasi penerus berikutnya. Maka apakah kita masih akan mempertahankan sistem yang sudah memperlihatkan kerusakannya?.

Tentu sebagai manusia cerdas kita akan berpikir bahwa agama kita Islam adalah agama yang sempurna yang datang dari sang Maha Sempurna. Yang Maha Mengetahui apa yang terbaik buat manusia seluruhnya. Dalam Islam, seorang wanita telah diatur oleh syariat secara fitrahnya bahwa ketika seorang wanita menikah maka tugas utamanya adalah ummun wa robbatul baits (ibu dan pengatur rumah tangga), tidak melihat bahwa dia bekerja di luar atau tidak. Bahwa tugas wajib seorang ibu adalah melahirkan, menyusui, mengasuh anak-anaknya. Hal ini tidak diberikan kepada seorang bapak. Maka dari ibu lah anak- anak bisa belajar pertama kali bagaimana makan, berjalan, berbicara, membersihkan diri dan sebagainya. Maka dalam Islam pun kedudukan seorang wanita dimuliakan. Seorang wanita hukumnya boleh bekerja karena masalah penafkahan tidak dibebankan padanya. Maka tidak ditemui seorang ibu yang akan berjibaku mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Wanita dalam Islam pun diperintahkan untuk menutup aurat, menuntut ilmu agama agar dia dapat mengajarkan kepada anak-anaknya, kewajiban dakwah untuk menyeru kepada yang lain agar taat kepada Allah dan rasulNya, dan berbagai aktifitas wanita yang itu akan menjauhkan dia dari kesia-siaan atau hidup mengikuti keinginannya (hawa nafsu). Wanita dalam Islam dipastikan terjaga karena darinya lahir generasi. Bagaimana akan lahir generasi baik? jika ibunya dipenuhi dengan kecenderungan yang tidak baik, lingkungan dan sistem yang tidak baik yang pada akhirnya akan membentuk kepribadian yang buruk.

Dalam Islam ada tiga hal yang harus diperhatikan agar hidup tetap bisa berjalan harmonis, yang pertama individu takwa. Individu takwa bisa dicapai dengan pembinaan/pengajaran yang sesuai syariat. Yang kedua adalah kontrol masyarakat. Bagaimana menumbuhkan empati umat untuk mau menyeru kebaikan dan mencegah kemungkaran, maka juga harus ada pembinaan secara massif/besar kepada umat sesuai dengan syariat. Yang ketiga adalah yang terpenting yaitu peran negara yang bisa menjadi payung umat dari segala bentuk ancaman dan kerusakan. Negara dengan fungsinya sebagai pelaksana yang melayani kebutuhan umat bukan hanya sebagai pemberi kebijakan tanpa memastikan bahwa kebijakan itu sesuai dengan syariat atau tidak. Negara lah yang akan memberikan sanksi hukum atas rakyat yang melakukan keburukan atau kedzoliman kepada sesama manusia. Fungsi saksi hukum dalam Islam adalah sebagai langkah preventif/pencegah dan juga sebagai penebus dosa bagi pelaku yang bertaubat atas dosanya. Maka sanksi hukum yang ditetapkan Islam pun bukan berasal dari akal buatan manusia, tetapi dari sumber-sumber hukum Islam yaitu, Al Qur'an, Hadits, Ijma sahabat, dan qiyas.

Wallahu a'lam bishawwab


Share this article via

46 Shares

0 Comment