| 48 Views
Meneropong Pajak sebagai Alat Pembiayaan Nasional Dalam Pandangan Ekonomi Islam

Oleh : Ummu Syakir
Masyarakat sempat bernapas lega mendengar kenaikan pajak hanya berlaku pada barang mewah saja. Namun, kenyataan pahit ditemui faktanya kenaikan pajak itu terjadi atas sejumlah barang dan jasa yang cukup sering diakses, misalnya PPN atas kegiatan membangun dan merenovasi rumah, pembelian kendaraan bekas dari pengusaha penyalur kendaraan bekas, jasa asuransi, pengiriman paket, jasa agen wisata dan perjalanan keagamaan, dan lain sebagainya
Meskipun berbagai insentif dan bansos telah pemerintah berikan sebagai bentuk kompensasi atas kenaikan pajak, tetap saja bantuan itu hanya bersifat temporer, sedangkan kehidupan masyarakat terus berlangsung dan pajak terus dibebankan. Walaupun berbagai program bantuan diklaim untuk meringankan beban rakyat, tetapi itu tidaklah sebanding dengan besarnya tarikan pajak yang dikenakan.
Dilansir dalam CNBC Indonesia (25/12/2024), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberikan sinyal kuat bahwa, tarif pajak pertambahan nilai (PPN) yang diamanatkan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) naik menjadi 12% pada Januari 2025 akan tetap dilaksanakan.Penegasan ini ia sampaikan saat rapat kerja dengan para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Komisi XI DPR. Sri Mulyani menjawab pertanyaan para anggota DPR tentang kepastian kenaikan tarif PPN menjadi 12% pada 2025.
Pajak Dalam Pandangan Kapitalisme
Tidak ada yang pasti di dunia ini, selain kematian dan pajak. Pernyataan ini menunjukkan bahwa pajak merupakan komponen penting dari sistem ekonomi kapitalisme. Pajak memainkan peran penting dalam mengatur dan memengaruhi sistem ekonomi kapitalisme, salah satunya sebagai sarana untuk mendapatkan penerimaan negara.
Secara teori, pajak adalah kontribusi wajib kepada pemerintah yang digunakan untuk kepentingan umum. Pajak dibebankan untuk menanggung biaya yang dikeluarkan dalam melaksanakan fungsi publik (pendidikan, kesehatan, atau pembangunan infrastruktur), maupun untuk tujuan regulasi (seperti membatasi konsumsi rokok) tanpa mempertimbangkan keuntungan khusus yang diperoleh mereka yang membayar.
Dalam sistem kapitalisme, pajak menjadi salah satu cara pemerintah untuk mengatur distribusi kekayaan, selain sebagai sumber penerimaan negara. Tarif pajak yang lebih tinggi akan diterapkan pada individu dengan pendapatan yang lebih tinggi. Sebaliknya, tarif pajak yang lebih rendah diterapkan pada mereka yang memiliki pendapatan lebih rendah.
Pajak, Sumber Dana Terbesar APBN
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kemenkeu RI, pada 2024, penerimaan negara dari berbagai sumber diproyeksikan mencapai Rp2.802 triliun. Pajak menghasilkan keuntungan terbesar dengan target perolehan Rp2.309,9 triliun, naik Rp191 triliun dari tahun sebelumnya atau 82,4% dari total pendapatan negara.
Sementara itu, penerimaan bukan pajak menyumbang Rp492 triliun kepada negara.
Perinciannya, pendapatan dari kekayaan negara yang dipisahkan—dalam hal ini BUMN—mewakili 3,1% penerimaan dan 7,4% dari penerimaan SDA. Sebanyak 3% berasal dari pendapatan badan layanan umum (BLU) dan 4,1% dari penerimaan bukan pajak lainnya. Hibah sebesar Rp430 miliar juga akan menambah pendapatan.
Bisa dikatakan bahwa setiap tahunnya APBN mengalami defisit anggaran yang berarti pengeluaran selalu lebih banyak daripada yang diterima.
Anggaran negara juga selalu berkurang dengan utang—yang cenderung terus meningkat dari tahun ke tahun. Selain utang luar negeri, alat pembiayaan APBN juga berasal dari utang domestik, seperti surat utang negara (SUN).
Menurut laman resmi Kemenkeu RI, tujuan utama negara berutang adalah untuk mengejar ketertinggalan infrastruktur. Kedua utang tersebut dialokasikan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Tersebab ketertinggalan infrastruktur dan masalah konektivitas, masyarakat harus menanggung tingginya biaya ekonomi yang mengakibatkan rendahnya daya saing nasional.
Inilah yang mendorong pemerintah untuk mempercepat pembangunan infrastruktur demi mengejar ketertinggalan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Per Oktober 2024, Kemenkeu RI mencatat APBN mengalami defisit sebesar Rp309,2 triliun atau setara 1,37% dari produk domestik bruto (PDB). Menurut undang-undang, defisit direncanakan hingga 2,29% dari PDB.
Khilafah Membiayai Negara Bukan dengan Pajak dan Utang
Negara Islam, juga dikenal sebagai Khilafah, adalah negara yang meletakkan Islam sebagai dasar hidupnya. Wahyu Allah Swt. yang dapat ditemukan dalam Al-Qur’an dan Sunah merupakan sumber agama Islam. Oleh karenanya, semua pos yang berkaitan dengan pendapatan dan pengeluaran negara di dalam Khilafah, memiliki basis kuat dari Al-Qur’an, Sunah, ijmak sahabat, dan kias syar’i.
Pos pendapatan APBN Khilafah terdiri dari 12 jenis, yakni pendapatan dari harta rampasan perang (anfal, ganimah, fai, dan khumus); pungutan dari tanah yang berstatus kharaj; jizyah (pungutan dari nonmuslim yang tinggal di negara Islam); harta milik umum; harta milik negara; ‘usyur (harta yang ditarik dari perdagangan luar negeri); harta tidak sah para penguasa dan pegawai negara atau harta hasil kerja yang tidak diizinkan syarak; khumus barang temuan dan barang tambang; harta kelebihan dari (sisa) pembagian waris; harta orang-orang murtad; dharibah; dan harta zakat.
Gagasan Islam tentang pembentukan APBN sangat berbeda dengan APBN dalam sistem kapitalisme. Sumber daya utama pendapatannya dan cara pembelanjaannya berbeda. Sumber APBN Khilafah atau kas baitulmal sama sekali tidak bergantung pada sektor pajak.
Syariat Islam mengatur sumber-sumber utama penerimaan negara untuk kas baitulmal sebagai berikut.
Pertama, sektor kepemilikan individu, seperti zakat, sedekah, dan hibah, adalah tiga sumber utama. Untuk zakat, tidak boleh dicampur dengan harta lain. Kedua, bidang kepemilikan umum, seperti gas, minyak bumi, batu bara, pertambangan, dan kehutanan. Ketiga, bidang yang dimiliki negara, seperti jizyah, kharaj, ganimah, fai, ‘usyur, dan sebagainya.
Terkait aturan pembelanjaan, APBN Khilafah dapat dibuat oleh khalifah tanpa meminta persetujuan Majelis Umat. Tidak seperti sistem ekonomi kapitalisme, APBN Khilafah tidak tergantung pada tahun fiskal. Dalam menetapkan anggaran pengeluaran, khalifah hanya tunduk pada aturan atau prinsip-prinsip yang ditetapkan oleh syarak.
Dengan mempertimbangkan prinsip keadilan dan kemaslahatan bagi seluruh rakyat, khalifah memiliki otoritas penuh untuk menetapkan berapa banyak dana yang harus dialokasikan untuk seluruh keperluan masyarakat. Ini wajib didasarkan pada persyaratan yang ditetapkan oleh syarak, salah satunya untuk mencegah kekayaan tertumpu pada orang-orang kaya saja (lihat QS Al-Hasyr [59]: 7).
Dalam menyusun anggaran untuk pos-posnya, khalifah paling tidak harus mengikuti enam prinsip utama.
Pertama, harta zakat di kas baitulmal, sebagaimana ditunjukkan dalam Al-Qur’an, hanya disalurkan kepada delapan ashnaf yang berhak.
Kedua, pos pembelanjaan bersifat tetap dan wajib untuk keperluan jihad dan memenuhi kebutuhan orang miskin dan fakir.
Ketiga, baitulmal harus membelanjakan uang secara tetap untuk membayar pegawai negeri, hakim, tentara, dan lainnya yang bekerja untuk kepentingan negara.
Keempat, pos wajib yang bersifat tetap untuk membangun sarana kemaslahatan rakyat yang wajib yang jika tidak ada, rakyat akan menderita. Contohnya, pembangunan jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit, masjid, dan sistem air bersih.
Kelima, pos pembelanjaan wajib yang bersifat sementara, misalnya untuk membantu korban bencana alam atau musibah, seperti gempa bumi, paceklik, banjir, angin topan, tanah longsor, dsb.
Keenam, anggaran yang dialokasikan untuk pembangunan fasilitas kemaslahatan rakyat tidak wajib, yang berarti bahwa fasilitas tersebut hanya akan menjadi penambahan dari fasilitas yang sudah ada. Tidak akan membahayakan rakyatnya jika tidak ada sarana tambahan.
Meneropong Pajak (Dharîbah) dengan Pandangan Ekonomi Islam
Dari pemaparan fakta pungutan pajak dalam sistem kapitalis maka pajak tersebut hukumnya haram. Akan tetapi, hukum Islam telah menetapkan kondisi tertentu yang memungkinkan pemerintah mengenakan pajak kepada warganya.
Pajak—atau disebut dengan dharîbah—yang ditetapkan oleh Khilafah jelas berbeda dengan pajak yang ditetapkan negara kapitalis, baik latar belakang, maksud, dan tujuan mereka. Berikut beberapa ketentuan penarikan dharîbah atau pajak dalam Khilafah yang membedakannya dari negara kapitalis.
Pertama, dharîbah hanya akan ditarik dalam keadaan darurat oleh negara karena hukum asal pajak adalah haram. Keadaan ini dapat terjadi ketika harta di baitulmal tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan darurat rakyat, atau karena negara tidak memiliki cukup dana untuk mengatur urusan rakyat. Selain kondisi ini, penarikan pajak dianggap sebagai tindakan kezaliman.
Kedua, dharîbah ditarik secara selektif, tidak semua individu dikenakan pungutan. Dharîbah hanya akan dikenakan pada pihak-pihak yang mampu dan berkecukupan (kaya).
Ketiga, dharîbah dianggap sebagai kontribusi tambahan dalam APBN Khilafah, bukan sebagai kontribusi utama. Negara hanya akan memungut dharîbah jika terjadi keadaan darurat, yaitu ketika harta dharîbah terbatas.
Sebaliknya, negara kapitalis menjadikan pajak sebagai sumber utama pendapatan negara. Akibatnya banyak pungutan yang harus ditanggung sehingga beban pembiayaan masyarakat dan industri makin meningkat.
Dalam sistem kapitalisme, pajak juga dikenakan atas semua barang, transaksi, dan jasa, hal yang dilarang oleh syarak. Pungutan seperti ini merupakan bentuk kekerasan dan penguasaan atas hak harta orang lain. Islam telah melarang seluruh bentuk kezaliman dan pelanggaran hak milik orang lain.
Pos Pembiayaan Pajak
Berikut beberapa kebutuhan dan pos pengeluaran yang dapat didanai dengan dharîbah.
Pertama, pembiayaan jihad dan semua hal terkait jihad. Ini termasuk membangun pasukan yang kuat, melakukan latihan militer yang luas, dan membeli peralatan militer canggih yang memiliki kemampuan untuk menggentarkan, menghancurkan, dan membebaskan wilayah (lihat QS At-Taubah [9]: 41).
Kedua, pembiayaan industri militer dan pabrik penunjangnya yang memungkinkan negara memiliki industri persenjataan. Jihad sangat terkait dengan industri militer.
Ketiga, pembiayaan untuk fakir miskin
Keempat, pembiayaan untuk membayar pegawai, tentara, hakim, guru, dan orang lain yang bekerja untuk kepentingan umat. Mereka berhak mendapatkan kompensasi dari baitulmal atas pekerjaan mereka. Tidak peduli mereka memiliki harta atau tidak, pembayaran gaji mereka adalah kewajiban tetap baitulmal.
Kelima, pembiayaan yang harus dikeluarkan untuk kepentingan dan kemaslahatan rakyat yang keberadaannya sangat penting dan akan mengancam masyarakat jika tidak dibiayai. Misalnya, pembiayaan jalan umum, sekolah, universitas, rumah sakit, masjid, dan saluran air minum. Tidak peduli baitulmal memiliki harta atau tidak, pembiayaan untuk urusan tersebut bersifat tetap. Jadi, ketika sarana-sarana tersebut tidak ada dan hal itu akan menimbulkan bahaya bagi masyarakat, negara maupun masyarakat berkewajiban menghilangkan bahaya itu.
Keenam, dana untuk bencana alam dan keadaan darurat, seperti tanah longsor, gempa bumi, dan angin topan; atau dana untuk mengusir musuh. Pembiayaan untuk urusan-urusan ini tetap dilakukan meskipun tidak ada peristiwanya. Pembiayaan yang bersifat tetap juga harus dilakukan, terlepas dari keadaan harta di baitulmal.
Dengan demikian, berdasarkan syariat Islam, anggaran belanja negara tidak boleh menjadikan pungutan pajak sebagai sumber pendapatan utamanya. Saatnya Indonesia Berbenah dari Konsep Pajak yang Usang Menuju Islam Kafah sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. dalam negara Islam di Madinah.
Wallahualam.