| 31 Views
Mahalnya Harga Kontestasi Politik Demokrasi

Oleh : Siti Wahidah
Aktivis Muslimah
Orang yang kaya sesungguhnya adalah orang yang tidak memiliki utang, menikmati hidup sewajarnya saja. Dikutip dari REPUBLIKA.Co.ID, SUBANG. Terlihat puluhan orang mendatangi kantor bank di daerah Subang, setelah ditelusuri ternyata mereka adalah anggota DPRD Subang periode 2024-2029 yang baru saja dilantik pada Rabu (4/9/2024). Tujuan mereka mendatangi bank adalah untuk meminjam sejumlah uang dengan menggadaikan SK (Surat Keputusan) sebagai jaminannya. Pinjaman diketahui berkisar mulai dari Rp500 juta sampai Rp1 Miliar.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di wilayah Subang saja. Sebanyak 20 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kabupaten Bangkalan Jawa Timur juga menggadaikan surat keputusan jabatan mereka untuk digunakan sebagai jaminan mengajukan pinjaman kredit di Bank Jatim cabang Bangkalan. Sebagai penyedia kredit Bank Jatim Sista mengungkapkan jumlah anggota dewan yang mengajukan pinjaman tersebut kemungkinan besar bisa bertambah.
Tren gadai SK masal sejumlah anggota DPRD usai pelantikan menunjukkan mahalnya biaya Kontestasi politik di Indonesia. Prof Anang Sujoko pengamat politik universitas Brawijaya (UB) menilai langkah yang dilakukan oleh sejumlah anggota DPRD ini adalah fenomena yang cukup memprihatinkan di mana praktik demokrasi yang ada di Indonesia sangat mahal dan menambah beban anggota DPRD yang terpilih.
Indikasi mahalnya biaya kontestasi politik dalam sistem demokrasi, diketahui dari beberapa orang anggota yang beralasan uang pinjaman tersebut akan digunakan untuk membayar utang biaya modal kampanye, sebagian yang lain beralasan digunakan membeli rumah atau merenovasi rumah, realita ini merupakan gaya hidup konsumtif dan hedonis yang menjangkiti kehidupan sehari-hari para pejabat yang lahir dari pemikiran sekularisme (memisahkan agama dari kehidupan) yang sudah mengakar di kalangan masyarakat kita saat ini.
Mereka menganggap jabatan dan kekuasaan yang mereka peroleh adalah jalan untuk memperkaya kelompok ataupun partainya sendiri. Jika para wakil rakyat yang terpilih lahir dari sistem demokrasi seperti saat ini maka apa yang bisa kita harapkan dari mereka. Karena, begitu mereka menjabat tentunya mereka sibuk dengan urusan memperkaya pribadi dan keluarganya, Alih-alih bekerja mengurus kepentingan rakyatnya. Yang ada adalah menjamurnya budaya korupsi dan penyalahgunaan jabatan di kalangan pejabat publik termasuk di dalamnya wakil rakyat.
Trend menggadaikan SK pasca dilantik ini akan terus berulang selama sistem yang digunakan oleh Negara adalah sistem demokrasi yang berbasis kapitalis yang mengharuskan setiap 5 tahun sekali diadakan kontestasi politik untuk memilih para wakil rakyat, kontestasi politik seperti ini mengharuskan adanya modal yang besar dan seseorang tidak mungkin bisa mencalon diri menjadi pejabat, tanpa dukungan pengusaha (pemilik modal).
Dengan kata lain, Mereka terpilih bukan berdasarkan prestasi ataupun kapabilitas kepemimpinannya namun dilihat berdasarkan modal yang dimiliki. Fakta tersebut kian mempertegas bahwa sistem politik yang diterapkan sekarang ini hanyalah sebuah ajang bisnis yang menggiurkan, dilihat dari kemewahan yang diperoleh mereka pada saat menjabat sebagai anggota dewan.
Dari sinilah masyarakat seharusnya bisa melihat dan paham bahwa para wakil rakyat yang ada di sistem demokrasi kapitalis ini bukanlah perpanjangan tangan suara rakyat. Para wakil rakyat ini tidaklah bekerja untuk kepentingan rakyat, begitu kekuasaan dan jabatan mereka peroleh mereka justru bekerja untuk kepentingan para oligarki atau pemilik modal yang sudah berjasa memberikan modal untuk maju ke bursa kontestasi politik.
Maka, tidak heran jika rakyat bisa melihat kalangan pengusaha dan penguasa berangkulan dari sinilah lahir berbagai regulasi pemerintah yang justru menguntungkan para pengusaha, seperti UU Ciptaker, UU Penanaman Modal dan masih banyak lagi UU yang menguntungkan kalangan pengusaha. Kepercayaan masyarakat terhadap para anggota dewan pun kian merosot imbasnya partisipasi rakyat di setiap pesta demokrasi kian menurun.
Berbeda dengan kekuasaan dalam Islam. Islam memandang kekuasaan atau jabatan adalah amanah. Dalam Islam ada lembaga yang menjadi wadah untuk menampung aspirasi rakyat yang dinamakan Majelis Umat (MU). Majelis umat ini tegak dengan berlandaskan Amar ma'ruf nahi munkar dalam rangka melakukan muhasabah (koreksi) kepada penguasa sebagai bagian dari struktur pemerintahan yang dipilih karena kepercayaan, bukan iklan atau pencitraan yang berbiaya mahal. Tugas pokok dan fungsi MU ini jelas berbeda dengan para wakil rakyat yang ada dalam sistem demokrasi.
Didasari oleh motivasi keimanan yang kuat serta meyakini jabatan yang diemban adalah amanah yang akan dipertanggung jawabkan kelak sehingga dengan sendirinya muncul aspek ruhiyah para anggota MU hal tersebut akan menghindarkan diri dari praktek bisnis dan kepentingan segelintir kelompok.
Islam memastikan menanamkan kesadaran kepada siapapun yang memiliki kekuasaan dan jabatan untuk menjalankan perintah Allah ta'ala. Banyak teladan yang baik lahir dari sistem yang menerapkan Islam salah satunya adalah Khalifah Umar bin Abdul Aziz, pada masa pemerintahan beliau terwujud masyarakat yang sejahtera sampai-sampai para Amil zakat kesulitan mencari orang-orang yang berhak menerima zakat karena kehidupan rakyat sangat sejahtera saat itu. Pemimpin seperti Khalifah Umar bin Abdul Aziz hanya akan lahir dari sistem yang menerapkan Islam secara kaffah bukan yang lain.
Wallahualam bissawab