| 261 Views
Legalisasi Aborsi, Beban Ganda Korban Pemerkosaan

Oleh : Sunarti hamzah
Aktivis Dakwah
Korban tindak pidana pemerkosaan yang hamil akan merasakan kepedihan yang luar biasa. Pasalnya, pemerintah membolehkan tenaga medis untuk melakukan aborsi terhadap korban tindak pidana perkosaan atau korban tindak pidana kekerasan seksual yang menyebabkan kehamilan. Hal itu diatur dalam aturan pelaksana undang-undang nomor 17 tahun 2023 melalui peraturan pemerintah (PP) No. 28 tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang Undang No 17 tahun 2023 tentang kesehatan. Dalam PP tersebut disampaikan bahwa kedaruratan medis harus diindikasikan dengan kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan ibu serta kesehatan janin dengan cacat bawaan yang tidak bisa diperbaiki, sehingga tidak bisa hidup diluar kandungan. Dilansir dari tirto.id (30/07/2024).
Dikutip dari beberapa pasal-pasal berikutnya bahwa aborsi dapat dilakukan dengan keterangan penyidik, dapat dilakukan pada fasilitas pelayanan kesehatan tingkat lanjut yang sumber daya kesehatannya sesuai dengan ketetapan Menteri Kesehatan, dan di pasal selanjutnya disampaikan proses pelayanan aborsi harus diberikan oleh tim pertimbangan dan dokter yang memiliki kompetensi dan kewenangan.
Menanggapi hal tersebut Ketua MUI Bidang Dakwah, M. Cholil Nafis mengatakan bahwa pasal terkait aborsi dalam PP Nomor 28 Tahun tesrbut masih belum sesuai dengan ketentuan agama Islam. Ia menjelaskan aborsi hanya bisa dilakukan ketika terjadi kedaruratan medis, korban pemerkosaan, dan usia kehamilan sebelum 40 hari atau sebelum peniupan ruh. Disebutkan dalam Fatwa MUI Nomor 1/MUNAS VI/MUI/2000, mengharamkan semua pihak untuk pihak untuk melakukan, membantu atau mengizinkan praktek aborsi yang tidak dibenarkan oleh syariat Islam. (mediaindonesia.com, 01-08-2024)
Maraknya kasus pemerkosaan di negeri kita juga menegaskan bahwa sedang terjadi krisis keamanan bagi kaum perempuan. Di satu sisi, kaum perempuan dibebaskan untuk berekspresi dan bertingkah laku yang jauh dari rem syariat. Berbagai celah kebangkitan syahwat juga dibuka lebar melalui liberalisasi konten media yang bahkan kehadirannya bisa diakses langsung melalui ponsel pintar milik tiap individu.
Di sisi lain, ruang-ruang pengajian yang mengantarkan pada ketakwaan malah rawan dibubarkan, pengisi kajiannya dikriminalisasi, dan pesertanya dimoderasi di berbagai lini demi tampilnya narasi liberal dan sekuler. Ini semua adalah realitas salah kaprah yang tidak bisa dibenarkan maupun dibiarkan begitu saja. Maraknya kasus pemerkosaan tidaklah mengherankan, kendati tentu saja tidak boleh dimaklumi. Ini karena suasana kehidupan masyarakat secara umum memang kondusif untuk berbuat bejat.
Fakta miris lainnya, keluarga tidak lagi memiliki profil sahih untuk menyelenggarakan pendidikan berbasis akidah Islam yang disertai koridor keterikatan pada hukum syarak di antara seluruh anggota keluarga. Sistem pendidikan di luar keluarga (sekolah atau lembaga pendidikan lainnya) juga telah gagal melahirkan generasi berakhlak mulia dan berkepribadian Islam.
Pada saat yang sama, pandangan terhadap perempuan diaruskan menurut paradigma sekuler kapitalistik yang memosisikan perempuan sebagai tuas pengungkit sekaligus komoditas ekonomi. Tambahan lagi, sistem pergaulan/interaksi sosial juga minus suasana keimanan. Sedangkan aparat pengayom masyarakat dan penegak hukum hanya menjadi pemalak rakyat melalui praktik kotor jual beli hukum jika terjadi kriminalitas seperti pemerkosaan.
Memang benar, secara medis, aborsi bisa legal dilakukan, tetapi bersyarat dan harus dengan prosedur yang tepat, yakni sesuai standar operasional prosedur (SOP) tenaga medis. Namun, kita juga harus sadar bahwa kita tidak boleh menggunakan aborsi sebagai jalan pintas untuk mengatasi trauma akibat kehamilan hasil pemerkosaan.
Bagaimanapun, aborsi adalah tindakan merampas hak hidup seorang calon manusia secara langsung di rahim ibunya. Aborsi adalah pelanggaran terhadap jiwa manusia yang terpelihara darahnya. Sedangkan hak hidup seorang manusia berasal langsung dari Allah Taala, Sang Pencipta. Oleh sebab itu, kita harus terikat dengan hukum syarak sebelum mengambil keputusan aborsi.
Atas dasar ini, kita tidak bisa sembarangan mengambil aborsi sebagai solusi untuk menyelesaikan kasus kehamilan yang tidak diinginkan. Apalagi jika bersumber dari kasus pemerkosaan yang selain trauma psikis, biasanya korban maupun keluarganya harus menanggung malu. Sebaliknya, dalam hukum Islam sudah jelas bahwa aborsi adalah haram, kecuali memang ada kondisi-kondisi khusus yang dibolehkan syara’.
Untuk mewujudkan jaminan keamanan ini negara akan menjalankan beberapa mekanisme sesuai dengan tuntunan syariat Islam.
Pertama, negara Islam akan menerapkan sistem pendidikan Islam yang akan menghasilkan individu-individu muslim yang berkepribadian Islam. Kepribadian Islam yang dimiliki setiap muslim akan menuntun mereka untuk berperilaku sesuai tuntunan Islam sehingga dapat mencegah terjadinya pemerkosaan juga pergaulan bebas.
Kedua, penerapan sistem pergaulan Islam oleh negara. Dalam ranah sosial maupun privat intrekasi antara laki-laki dan perempuan diatur oleh syariat Islam. Islam memerintahkan laki-laki maupun perempuan menutup aurat dan melarang segala sesuatu yang merangsang sensualitas. Karena umumnya kejahatan seksual itu dipicu rangsangan dari luar yang bisa memenuhi naluri seksual. Islam pun membatasi interaksi laki-laki dan perempuan kecuali dalam beberapa aktivitas yang ada hajat akan kebutuhan interkasi tersebut. Seperti pendidikan di sekolah, kegiatan ekonomi dipasar, dan layanan kesehatan di rumah sakit atau klinik.
Ketiga, negara akan mensuasanakan terwujudkan masyarakat Islam yang memiliki sistem kontrol sosial berupa perintah amar ma’ruf nahi munkar. Saling menasehati dalam kebaikan dan ketakwaan, serta menentang segala bentuk kemaksiatan. Tentu proses amar ma’ruf nahi munkar ini akan dilakukan dengan cara yang baik sesuai dengan tuntunan syariat.
Keempat, dalam rangka memuliakan perempuan dan memberikan jaminan keamanan atas perempuan negara akan menegakan sistem sanksi yang tegas dan menjerakan. Islam menetapkan sanksi pelaku tindak perkosaan berupa had zina yaitu dirajam atau dilempari batu hingga mati jika pelakunya muhshan (sudah menikah). Dan dijilid atau dicambuk 100 kali, serta diasingkan selama setahun jika pelakunya ghairu muhshan (belum menikah). Semua bentuk hukum Islam sebagai penebus dosa pelaku kemaksiatan di akhirat (jawabir) dan sebagai pencegah (zawajir) orang lain melakukan pelanggaran serupa agar jera.
Kalaupun terjadi pemerkosaan maka Islam mewajibkan menjaga dan melindungi perempuan korban pemerkosaan sesuai dengan tuntunan Islam termasuk bila korban hamil. Pada dasarnya secara fikih, Islam memperbolehkan aborsi jika kehamilan belum berusia 40 hari. Namun hal tersebut boleh dilakukan dalam kondisi darurat yang ketentuannya telah diatur syariat. Negara akan memberikan kontrol yang ketat dalam menetapkan aborsi dan proses berlangsungnya.
Demikianlah upaya berbagai upaya yang dilakukan oleh negara Islam memberikan jaminan keamanan bagi perempuan. Sungguh kemuliaan perempuan hanya akan terwujud dalam Khilafah Islamiyah.
Wallahu’alam bi shawab