| 120 Views
Legalisasi Aborsi bagi Korban Pemerkosaan, Solusikah?

Oleh : Hamsina Ummu Ghaziyah
Secara mengejutkan Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan pada tanggal 26 Juli 2024. PP tersebut tertuang dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Adapun beberapa pasal penting yang cukup menarik perhatian publik salah satunya adalah legalisasi aborsi untuk korban pemerkosaan atau kekerasan seksual yang menyebabkan kehamilan.
Dalam pasal 16 disebutkan, "Setiap orang dilarang melakukan tindakan aborsi, kecuali ada indikasi kedaruratan medis atau terhadap tindak pidana perkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan sesuai ketentuan dalam kitab undang-undang hukum pidana". Dalam PP ini, kedaruratan medis harus diindikasikan dengan kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan ibu serta kesehatan janin dengan cacat bawaan yang tidak bisa diperbaiki, sehingga tidak memungkinkan hidup di luar kandungan. Kehamilan akibat tindak pidana perkosaan atau akibat tindak pidana kekerasan seksual harus dapat dibuktikan dengan surat keterangan dokter atas usia kehamilan sesuai dengan kejadian tindak pidana perkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lainnya. (Tirto.co.id,30/7/2024)
Ketua MUI Bidang Dakwah, M. Cholil Nafis turut menyoroti Peraturan Pemerintah (PP) tersebut. Menurutnya, pasal terkait aborsi dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan masih belum sesuai dengan ketentuan agama.
Sejatinya, tindakan aborsi merupakan salah satu jalan untuk menggugurkan calon janin di dalam kandungan. Adanya legalisasi yang diteken oleh Presiden Jokowi pada prinsipnya akan semakin membuka jalan bagi oknum-oknum yang membuka praktik aborsi ilegal. Meskipun keberadaan aborsi ilegal ini sudah ada sejak lama dan mungkin saja masih ada hingga saat ini hanya saja tidak terendus oleh media.
Kebolehan aborsi dari turunan PP Nomor 61 Tahun 2014 serta turunan dari PP Nomor 28 Tahun 2024 untuk korban pemerkosaan atau korban kekerasan seksual hingga hamil mengisyaratkan aturan-aturan tersebut sebagai jalan atau solusi untuk korban pemerkosaan atau korban kekerasan seksual. Padahal sejatinya, hal ini justru menambah beban berat bagi diri korban secara pribadi.
Meskipun ada kebolehan aborsi jika ditinjau dari kedaruratan medis, namun kebolehan aborsi bagi korban pemerkosaan atau korban kekerasan seksual hingga hamil tentu akan beresiko besar bagi perempuan yang menjalaninya. Jika ditinjau dari sisi medis, bahkan bisa saja merenggut nyawanya apabila terjadi infeksi serta pendarahan hebat. Belum lagi perempuan korban pemerkosaan atau kekerasan seksual ini harus menanggung malu serta trauma yang cukup panjang karena hamil. Inilah beban ganda perempuan yang menjadi korban pemerkosaan atau korban kekerasan seksual.
Padahal jika ditelusuri secara mendalam, aborsi bukanlah jalan atau solusi praktis untuk korban pemerkosaan atau korban kekerasan seksual. Karenanya, perlu juga dicermati mengapa pemerkosaan atau kekerasan seksual masih saja terjadi agar dapat diambil langkah penyelesaian yang solutif.
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) merilis catatan tahunan (catahu) 2023, dimana 401.975 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2023. Fakta ini menegaskan bahwa perempuan saat ini tengah berada pada krisis keamanan tanpa perlindungan dari negara. Bagaimana tidak, perempuan kerap dieksploitasi, dibelenggu budaya patriarki, feminisme, budaya hedonisme, hingga diberi jaminan kebebasan dalam berekspresi meskipun harus melanggar rambu-rambu syariat.
Untuk itu, legalisasi aborsi bukanlah jalan atau solusi bagi korban pemerkosaan. Perlu pengkajian ulang atas PP Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan yang membolehkan korban pemerkosaan untuk aborsi. Pemerintah seharusnya memahami akar masalah maraknya kasus pemerkosaan agar solusi yang diberikan tidak menambah beban ganda bagi korbannya. Bahkan, meskipun UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) telah disahkan, tetapi UU tersebut tidak mampu menekan laju tindak kekerasan seksual pada perempuan. Pada faktanya, kasus pemerkosaan semakin marak terjadi dimana-mana.
Sungguh, kapitalisme yang berasaskan sekularisme, yakni yang pemisahan agama dari kehidupan tidak mampu menjamin dan melindungi keberadaan perempuan. Kapitalisme sekuler hanya menjadikan perempuan sebagai objek pemuasan naluri seksual yang berujung pada kekerasan.
Karenanya, dibutuhkan solusi sistematis dalam menyelesaikan persoalan pemerkosaan terhadap perempuan. Solusinya tak lain adalah kembali pada penerapan syariat Islam secara kaffah. Sebab, solusi dalam sistem kapitalisme sekular yang mana aturannya berasal dari akal manusia yang terbatas sehingga melahirkan aturan yang merugikan bagi masyarakat termasuk perempuan.
Islam memandang perempuan sebagai makhluk yang mulia dan hak-haknya harus dipenuhi. Untuk itu, Islam memiliki mekanisme yang mampu membawa perempuan dalam kesejahteraan, rasa aman, serta mulia kedudukannya.
Pertama, Islam mewajibkan perempuan dan laki-laki untuk menutup aurat secara sempurna serta mewajibkan untuk menjaga pandangannya dari hal-hal yang membangkitkan syahwatnya.
Kedua, Islam mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan. Menjaga hubungan keduanya agar tidak terjadi ikhtilat (bercampur-baur). Islam juga melarang kholawat (berdua-duaan). Terkecuali pada kondisi-kondisi tertentu, misalnya ketika bermuamalah (jual-beli), pendidikan di sekolah, dan kesehatan.
Ketiga, negara Khilafah akan menutup seluruh akses yang berbau pornografi maupun pornoaksi yang memicu terjadinya pemerkosaan atau kekerasan seksual. Keempat, Islam menerapkan kontrol sosial dengan melakukan amar makruf nahi munkar serta meminimalisir hal-hal yang memicu terjadinya kemaksiatan.
Kelima, Islam memuliakan perempuan dan menjamin keamanannya dengan memberi sanksi tegas dan menjerakan bagi pelaku pemerkosaan. Islam menetapkan sanksi bagi pelaku perkosaan berupa had zina yaitu dirajam atau dilempari batu hingga mati jika pelakunya muhshan (sudah menikah). Sedangkan dijilid (dicambuk) 100 kali dan diasingkan selama setahun jika pelakunya ghairu muhshan (belum menikah).
Semua hukum Islam diterapkan sebagai penebus dosa pelaku kemaksiatan di akhirat (jawabir) serta sebagi pencegah (zawajir) bagi orang lain yang hendak melakukan kejahatan serupa. Inilah ciri khas sistem sanksi (uqubat) dalam Islam yang hanya bisa dilakukan oleh Khalifah. Jikapun terjadi pemerkosaan, maka negara wajib melindungi dan menjamin keamanan perempuan korban pemerkosaan sesuai dengan tuntunan Islam termasuk bila korban pemerkosaan tersebut hamil.
Sungguh, hanya Khilafah yang mampu menjaga, melindungi, dan memberi rasa aman bagi perempuan. Hal ini hanya dapat terwujud jika syari'at Islam diterapkan secara kaffah. Secara fiqih, hukum aborsi diperbolehkan dengan syarat usia janin belum sampai hitungan 40 hari. Karena secara syari'at tindakan aborsi sama halnya dengan membunuh, maka hukumnya adalah haram. Sebagaimana Allah Swt. berfirman, "Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan suatu (alasan) yang benar." (TQS: Al Isra:33).
Wallahu A'lam Bishshowab