| 127 Views
Langkanya Gas LPG di Lumbung Energi: Ironi yang Menyesakkan

Oleh : Oktavia
Di negeri yang digadang-gadang sebagai lumbung energi, rakyatnya justru menghirup udara penuh keresahan. Gas LPG 3 kg yang menjadi tumpuan hidup kaum kecil kini langka bak barang antik. Sejak kebijakan larangan penjualan di pengecer diterapkan per 1 Februari 2025, antrean di pangkalan resmi kian mengular. Pedagang kecil yang bergantung pada gas subsidi harus merogoh kocek lebih dalam atau bahkan menghentikan usaha mereka. Hebat, bukan? Negara penghasil gas terbesar malah membuat rakyatnya berburu tabung kosong! (MPR.go.id)
Krisis ini bukan soal ketersediaan gas semata, tapi cerminan carut-marut tata kelola energi. LPG subsidi sering kali tak tepat sasaran, lebih banyak dinikmati oleh mereka yang sejatinya mampu. Sementara itu, distribusi tidak transparan dan permainan mafia gas makin menjadi. Ah, kita memang jago membuat kebijakan setengah matang yang akhirnya hanya memperpanjang derita rakyat kecil. Alih-alih memberantas penyimpangan di tingkat atas, pemerintah lebih senang menutup akses rakyat bawah yang sudah sekarat.
Islam mengajarkan bahwa sumber daya alam adalah amanah, bukan milik segelintir elit. Rasulullah ﷺ bersabda, "Kaum Muslimin berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api" (HR. Abu Dawud). Gas, sebagai bagian dari "api", seharusnya dikelola untuk kepentingan umat, bukan diperjualbelikan dengan sistem yang menyengsarakan. Sayangnya, keserakahan dan kebijakan yang jauh dari prinsip keadilan menjadikan rakyat hanya kebagian remah-remah dari sumber daya yang sejatinya milik mereka sendiri (Jurnal Hamfara).
Lantas, apa solusinya? Pemerintah harus memastikan distribusi LPG subsidi tepat sasaran dengan sistem digital yang transparan, bukan malah membuat kebijakan dadakan yang membingungkan. Mafia energi harus diberantas hingga ke akar-akarnya, bukan sekadar wacana di podium. Selain itu, perlu diversifikasi energi agar rakyat tidak bergantung sepenuhnya pada LPG. Pengembangan biogas berbasis rumah tangga atau energi alternatif lain harus dipercepat, bukan sekadar janji kampanye yang terlupakan setelah pemilu (Suara Islam).
Sebuah negeri kaya energi seharusnya mampu menjamin kesejahteraan rakyatnya, bukan membuat mereka hidup dalam antrean dan ketidakpastian. Saatnya kembali pada prinsip keadilan dan pengelolaan amanah dengan benar. Jangan sampai kita dikenang sebagai generasi yang gagal mengelola anugerah, tapi sukses menciptakan ironi. Sebab, di balik tabung gas yang kosong, ada perut-perut yang tetap harus diisi.