| 90 Views
Kriminalisasi Guru Kian Marak, Muruah Sang Pemberi Ilmu Dipertanyakan.

Oleh : Marwah
Aktivis Dakwah Kampus
Permasalahan pendidikan di negeri ini diperparah dengan semakin meningkatnya kriminalisasi guru. Martabat (rasa hormat) guru telah diremehkan dengan banyaknya kasus guru yang dilaporkan kepihak berwenang karena dituduh melakukan kekerasan terhadap siswanya. Padahal, mereka hanya ingin mendisiplinkan siswanya sebagai bentuk menempatkan pekerjaannya sebagai guru. Semua ini sangat disayangkan karena guru merupakan informan yang menentukan mutu pendidikan suatu bangsa.
Misalnya kasus guru bernama Supriyani di Konawe, Sulawesi Tenggara yang belakangan menjadi sorotan media. Supriyani dipenjara karena melakukan penyerangan terhadap seorang siswa sekolah dasar kelas satu yang kemudian diketahui adalah anak seorang polisi. Meski membantah, persidangan terhadap Supriyani tetap dilanjutkan.
Guru honorer yang sudah mengajar selama 16 tahun ini menjelaskan, Wali Kota memintanya membayar kepada orang tua siswa yang menyebut anaknya dianiaya sebesar 50 juta. Sebab menurut Wali Kota, orang tua siswa tidak akan menerimanya jika uang perdamaiannya kurang dari jumlah tersebut. Namun Supriyani tak mau membayar, selain merasa bersalah, ia tak punya banyak uang. Ia mengamini gajinya hanya Rp 300.000 per bulan, dibayarkan tiga bulan sekali.
Padahal, jauh sebelum kasus Profesor Supriyani, sudah banyak kasus serupa. Misalnya saja guru Sambudi di Sidoarjo pada tahun 2016 yang divonis bersalah karena menanamkan pada siswanya yang tidak mau salat berjamaah. Kasus lain di tahun 2023 adalah guru Zaharman di Bengkulu yang buta melihat ketika orang tuanya kesal karena anaknya dihukum karena ketahuan merokok. Masih banyak pula kasus kejahatan terhadap guru lainnya, baik yang terungkap oleh media maupun yang disembunyikan dalam pemberitaan.
Banyak faktor yang menyebabkan meluasnya kriminalisasi terhadap guru, termasuk UU Perlindungan Anak. Tidak dapat kita pungkiri bahwa aturan ini sering digunakan oleh para guru untuk menegaskan persetujuan. Faktanya, banyak upaya mendidik siswa yang sering digambarkan sebagai tindakan kekerasan terhadap anak.
Penyebab lainnya adalah adanya perbedaan pengertian dan tujuan pendidikan antara orang tua, guru, masyarakat dan negara. Setiap kelompok mempunyai pemikiran yang berbeda-beda mengenai pendidikan anak, sehingga menimbulkan konflik di antara mereka, terutama dalam hal apa yang dilakukan guru dalam mendidik siswanya.
Selain itu, di tingkat negara bagian, undang-undang yang ada tidak dapat melindungi guru. Banyak pihak yang pesimistis dan meyakini jika ada undang-undang khusus maka akan efektif memberikan perlindungan hukum bagi guru. Pasalnya negara ini dikuasai mafia keadilan. Hukum bisa dibeli dengan uang dan kekuasaan. Artinya, akan sulit bagi guru yang lemah dalam dunia usaha untuk bisa mendapatkan keadilan, padahal sudah banyak undang-undang yang dibuat untuk melindungi guru.
Jika dicermati, sebenarnya semua permasalahan di atas bermula dari sistem sekuler kapitalisme. Alasannya adalah, pertama, negara sekuler akan menciptakan undang-undang yang lemah. Hukum di negara sekuler hanya didasarkan pada hasil kemauan serta akal manusia yang lemah dan terbatas. Misalnya UU Perlindungan Anak dan UU Guru yang akhirnya saling bertentangan. Alih-alih melindungi anak-anak dan guru, undang-undang justru malah merugikan mereka.
Kedua, sekularisme menjauhkan individu dari agama. Banyak guru, siswa, dan orang tua yang kesehariannya jauh dari agama sehingga tidak bisa mengendalikan emosi. Ketiga, gaya hidup masyarakat yang materialistis, cenderung berdampak pada tujuan mereka mengenyam pendidikan. Banyak orang tua menyekolahkan anaknya sebagai upaya mengubah keuangan keluarga. Dengan kata lain, pendidikan hanya bertumpu pada prestasi materi saja. Sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa guru masa kini tercipta dari sistem pendidikan sekuler kapitalisme yang juga berorientasi pada materi.
Keempat, prinsip hubungan manusia dalam sistem sekuler hanya bersifat materi saja. Sikap tidak hormat seorang siswa terhadap gurunya tidak lepas dari pemisahan agama dari kehidupan. Siswa mungkin akan merasa bangga ketika melaporkan gurunya karena menganggap kekayaan dan status orang tuanya lebih tinggi dari gurunya.
Mengajar adalah profesi mulia yang patut dihormati. Dialah pemilik ilmu sekaligus pemberi ilmu. Ada banyak dalil yang menunjukkan pentingnya dan kedudukan guru di mata Allah dan Rasul-Nya. Siapapun yang paham agama wajib menjaga perilakunya terhadap guru. Hal ini akan memberikan perlakuan yang lebih baik kepada guru. Ia pun akan menuruti nasehat yang diberikan oleh gurunya karena ia yakin itu bermanfaat baginya.
Begitu pula dengan orang tua siswa. Islam mengajarkan umatnya untuk bersikap baik terhadap guru. Salah satu aturan perilaku yang harus diikuti oleh siswa dan orang tua terhadap guru adalah tidak mencari-cari kesalahan guru.
Allah Swt. berfirman, “Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.” (QS. Al-Hujurat [49]: 12).
Terkait peran negara, peningkatan profesi guru termasuk memastikan kesejahteraan guru memiliki struktur gaji yang terbaik sehingga guru dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Negara juga akan memberikan perlindungan yang diperlukan kepada guru dan siswa dengan menerapkan hukum Islam secara kafah. Ketika Khalifah merumuskan kebijakan, landasannya adalah Al-Quran dan Sunnah agar produk UU/kebijakan tersebut mempunyai wibawa hukum yang diperlukan dan dapat menyelesaikan permasalahan.
Memperlakukan guru dengan baik dan menghormati mereka serta menjadikan mereka sejahtera dan aman sangatlah penting bagi semua pihak. Memajukan guru dan pendidikan akan melahirkan generasi yang berkarakter Islami dan berkeinginan membangun peradaban yang mulia. Oleh karena itu amat sangat perlu menerapkan Islam secara menyeluruh, untuk menciptakan keamanan nyata bagi guru dan siswa. Wallahualaam bissawab.