| 203 Views
Korupsi Terus Terjadi, Masihkah Berharap pada Kapitalisme?

Oleh : Hanifah Fauziah
Pada akhir Maret tahun 2024 ini, publik digegerkan oleh kasus korupsi tata niaga timah di PT Timah Tbk (TINS) yang angkanya lebih fantastis lagi, yakni mencapai Rp271 triliun. Kasus ini benar-benar melukai hati nurani rakyat, mengingat ekonomi negara saat ini sedang dalam kondisi buruk hingga pelayanan atas hak-hak rakyat pun menurun akibat minimnya sumber-sumber pemasukan keuangan negara.
Problem korupsi ini memang masih menjadi PR besar di Indonesia, baik korupsi dalam kelembagaan maupun korupsi politik yang terkait dengan kekuasaan. Sudah banyak pejabat, mulai dari wakil rakyat, pejabat kementerian, pemimpin dan pejabat daerah, pejabat BUMN, bahkan aparat hukum hingga pejabat perguruan tinggi yang terjerat kasus korupsi. Hal ini menunjukkan bahwa kejahatan korupsi sudah begitu mengakar hingga menjadi sebuah budaya. Penanganan kasus-kasus dan penegakan hukumnya pun seakan tidak memberi pengaruh terhadap berkurangnya kasus korupsi, justru kian hari kian menjadi. Tidak ada satu bidang pun yang luput dari korupsi.
Keserakahan Manusia yang Berkuasa
Menyoroti kasus korupsi ini, menunjukkan betapa serakahnya manusia dalam cengkraman kapitalisme. Dalam kasus korupsi penambangan timah secara ilegal misalnya, PT Timah Tbk (TINS) sudah mendapat jatah 88.900 hektare, tetapi aktivitas pertambangan yang dilakukan mencapai 170.363 hektare baik di kawasan galian hutan maupun non hutan. Ditambah lagi, PT Timah Tbk (TINS) membiarkan kerusakan lingkungan terjadi, yang apabila ditaksir dengan uang bisa senilai Rp271 triliun.
Tentunya korupsi ini tidak dilakukan sendiri, karena menurut Kejagung, tersangka dalam kapasitasnya sebagai perpanjangan tangan atau pihak yang mewakili PT Refined Bangka Tin (RBT). Dan Pimpinan RBT kala itu adalah Robert Bonosusatya (RBS). Maka, banyak pihak menduga RBS sebagai otaknya. Kejagung sendiri telah menjadikan RBS sebagai saksi serta diproses lebih lanjut meski tidak ditahan.
Meski demikian, kasus korupsi di negeri ini seolah tidak dapat diselesaikan dan terjadi terus berulang dan seolah menjadi hal biasa, dan ini sangat berbahaya. Hal ini karena praktik korupsi di Indonesia sudah sedemikian membudaya dan biasanya melibatkan banyak pihak.
Gurita Oligarki yang Mencengkeram
Sudah menjadi budaya politik di negeri ini orang akan berebut kekuasaan demi uang dan mendapatkan kekuasaan melalui uang, “Money for Power, Power for Money”. Jadi, mendapatkan uang untuk mengembalikan uang sebagai modal meraih kekuasaan. Ini dilakukan secara bersama, sehingga membentuk kultur politik yang sulit untuk diberantas.
Hal ini sejalan dengan menguatnya cengkeraman oligarki di Indonesia. Para oligarki ini berusaha sekuat mungkin menguasai semua aset publik demi upaya mengakumulasi sebesar-besar modal. Salah satu caranya adalah membangun hubungan saling menguntungkan dengan para pemegang kekuasaan. Mereka rela memposisikan diri sebagai sponsor kekuasaan demi kompensasi mendapat legalisasi atas hal yang mereka lakukan. Konsekuensinya, korupsi politik pun kian tumbuh subur di masyarakat.
Terkait hal ini, riset The Economist menyebutkan, Indonesia ada dalam peringkat ke-8 kapitalisme kroni, yaitu orang kaya yang mempunyai hubungan erat dengan penguasa yang melonjak kekayaannya. Namun, pada saat yang sama, tidak dinafikan makin banyak pula pejabat yang memiliki kekayaan yang tidak terbayangkan. Hal ini terkonfirmasi saat banyak kasus korupsi terungkap ke permukaan. Tidak sedikit skandal korupsi yang melibatkan para konglomerat dan menyeret para pejabat, mulai dari wakil rakyat, pejabat kementerian, pejabat daerah, pejabat BUMN, bahkan aparat hukum dan keamanan. Sayangnya, tidak sedikit yang kasusnya menguap karena intervensi kekuasaan dan kekuatan uang.
Problematika Sistemik
Sulitnya mengeliminasi kasus korupsi ini memang dipengaruhi banyak faktor. Selain soal personalitas atau integritas para pejabat, faktor budaya yang diwariskan turun-temurun bahkan sejak jaman penjajah, serta lemahnya birokrasi dan sistem hukum, juga turut berperan dalam melembagakan perilaku korup.
Hal ini diperparah dengan sistem hukum dan birokrasi yang diterapkan. Selain membuka banyak celah kecurangan, penegakannya pun sedemikian bermasalah sehingga praktik yang merusak berbagai sendi kehidupan masyarakat ini seolah sangat sulit untuk diberantas. Lihat saja, betapa banyak pelaku korupsi yang bisa bebas melenggang sekalipun sudah ditetapkan sebagai tersangka. Bahkan dengan kekuatan uang para oligarki, hukum serta lembaga hukum, dan aparatnya bisa tumpul terhadap mereka dan mereka pun berani melakukan korupsi yang berulang.
Hanya Aturan Islam yang Ideal
Sistem Islam adalah sistem yang datang dari sang Khaliq, yang berlandaskan akidah Islam. Halal-haram menjadi tolak ukur perbuatan manusia. Sistem pendidikan Islam yang mampu mencetak individu yang beriman dan bertakwa sehingga jauh dari kemaksiatan. Hal ini menjadi kekuatan dari dalam bagi individu masyarakat untuk melawan hawa nafsu dalam dirinya sehingga tidak tergoda untuk melakukan kejahatan.
Dalam Islam, negara menjamin kesejahteraan rakyat secara individu. Secara langsung, negara menyediakan layanan kesehatan, pendidikan, dan keamanan secara gratis sehingga rakyat tidak perlu mengeluarkan biaya untuk mengaksesnya. Sedangkan jaminan secara tidak langsung, negara menyediakan lapangan kerja seluas-luasnya sehingga setiap laki-laki dewasa bisa bekerja dan memperoleh penghasilan untuk menafkahi keluarganya.
Selain itu, negara juga mengurusi fakir miskin. Mereka mendapatkan santunan untuk kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Mereka juga diberi pekerjaan, baik berupa modal maupun lowongan pekerjaan yang bisa mempekerjakannya. Dengan demikian, negara secara ekonomi akan mengurangi faktor risiko terjadinya kejahatan.
Pada aspek penanganan kejahatan, Islam memiliki sistem sanksi yang khas, tegas, dan menjerakan. Setiap kejahatan akan diberi sanksi yang tegas, baik berupa hudud, jinayah, takzir, maupun mukhalafat. Penjara tidak menjadi satu-satunya jenis hukuman. Kalaupun hukumannya, penjara, tidak ada pengurangan hukuman dari masa yang sudah hakim putuskan.
Sistem hukum dan sanksi yang sangat tegas dalam Islam akan meminimalkan terjadinya penyimpangan dan kejahatan. Mereka yang berani korupsi, misalnya, harus siap-siap hartanya disita. Lalu namanya akan disiarkan hingga menjadi sanksi moral tersendiri bagi pelakunya. Khalifah pun akan menetapkan hukuman takzir seperti pemenjaraan sesuai kadar kesalahan yang dilakukan.
Banyak hal teknis yang juga diatur dalam Islam demi mencegah terjadinya kecurangan dalam jabatan. Sistem perekrutan, penggajian, dan birokrasi benar-benar diperhatikan sehingga lembaga negara benar-benar menjadi lembaga yang berwibawa dan tidak mudah diintervensi, termasuk oleh kekuatan uang. Lebih dari itu, negara dalam sistem Islam, benar-benar memfungsikan dirinya sebagai pengurus dan penjaga rakyat dengan konsisten menjalankan syariat Islam.
Kemelut korupsi ini hanyalah potret kecil dari rusaknya sistem hidup yang jauh dari tuntunan syariat Islam. Tanpa syariat, kekuasaan di tangan pejabat menjadi ajang mengeruk manfaat. Akibatnya, kezaliman dan kerusakan merajalela hingga kehidupan masyarakat pun dipenuhi berbagai kesempitan.
وَمَنْ اَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِيْ فَاِنَّ لَهٗ مَعِيْشَةً ضَنْكًا وَّنَحْشُرُهٗ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ اَعْمٰى
“Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh dia akan menjalani kehidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta.” (QS Thaha: 124).