| 16 Views

Ketika Satu Liter Hanya Ilusi

Oleh : Sofi Kamelia

Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman minta tiga produsen perusahaan Minyakita disegel dan ditutup, jika terdapat bukti pelanggaran, setelah produk mereka ditemukan tidak sesuai takaran, yang dijual di Pasar Lenteng Agung, Jakarta Selatan.

"Volumenya tidak sesuai, seharusnya 1 liter tetapi hanya 750 hingga 800 mililiter. Ini adalah bentuk kecurangan yang merugikan rakyat, terutama di bulan Ramadhan saat kebutuhan bahan pokok meningkat,” kata Mentan di sela melakukan inspeksi mendadak (sidak), di Pasar Lenteng Agung, Jakarta, Sabtu (8/3/2025), seperti dilansir dari Antara.

Dalam sidak untuk memastikan ketersediaan sembilan bahan pangan pokok tersedia untuk masyarakat, Mentan menemukan minyak goreng kemasan dengan merek Minyakita yang tidak sesuai aturan dan di atas harga eceran tertinggi (HET). Dilansir dari Tirto.id

Baru saja kita menonton drama Pertamax oplosan yang bikin radang kendaraan, sekarang muncul lagi drama minyak kita yang isinya menguap tidak sesuai takaran. Kalau saja kehidupan rakyat itu bisa dibuat film sepertinya negeri ini tidak akan kehabisan mengeluarkan setiap drama terbarunya.

Tidak hanya bermasalah dari isinya yang oplosan dan takaran yang kurang, minyak kita juga bermasalah dengan harganya. Harga jual yang dipasarkan Rp.18.000 tidak sesuai dengan harga yang tertera  dilabel  kemasan Rp.15.700. jadi, rakyat itu bukan hanya dikasih minyak oplosan tapi juga dipalak. Udah isinya dikurangi terus harganya dinaikan. Terus bagaimana dengan reaksi rakyat? Tentu saja rakyat marah, mengecam dan protes. Tapi hanya sebatas kemarahan virtual di medsos. Selanjutnya ya tetap minyak kita dibeli juga karena itu merupakan bahan pokok yang tidak bisa lepas dari dapur kita. Kita tidak punya pilihan lain, seandainya dikemudian hari kasus seperti ini terulang lagi, maka tetap kita akan membelinya meskipun karena terpaksa.

Selanjutnya bagaimana dengan sikap pemerintah? Ada reaksi resmi yang dilakukan yaitu Mentri pertanian langsung memerintahkan melakukan penyelidikan. Satgas pangan dan Bareskrim polri langsung dipanggil. Tapi seperti biasa, sama halnya dengan kasus kasus yang lain seperti pertamax oplosan, kelangkaan elpiji 3 kg, pagar laut dan masih banyak yang lainnya. Ini hanya berita yang rame diawal, heboh sebentar lalu hilang ditelan waktu. Sampai akhirnya berita itu hilang dengan sendirinya dan kita beradaptasi dengan kondisi yang ada.

Kondisi seperti ini adalah hal yang biasa didalam sistem kapitalis. Ini menunjukan bahwa negara gagal untuk mengurus rakyat, karena negara hadir untuk membela kepentingan para korporat yang berorientasi untung. Ini membuktikan bahwa distribusi pangan ada ditangan korporasi.

Negara hanya hadir untuk menjamin bisnis para kapital. Bahkan jika ada perusahaan yang melakukan kecurangan, tidak ada sanksi yang menjerakan. 

Penerapan ekonomi Kapitalisme dengan asas liberalismenya, memberikan ruang kepada para korporat mendapat karpet merah untuk menguasai rantai distribusi pangan (hulu hingga hilir). Sedangkan Negara hanya bertindak sebagai regulator dan fasilitator. Negara yang seharusnya bertanggung jawab sebagai pengurus dan pelayan rakyat akhirnya abai terhadap tanggung jawabnya.

Islam menetapkan pengaturan hajat hidup rakyat berada di bawah kendali pemerintah. Sebab pemimpin adalah raa'in atau pengurus umat. Paradigma dalam mengurus rakyat adalah pelayanan, bukan bisnis atau keuntungan. Pemenuhan kebutuhan pokok berupa pangan menjadi tanggung jawab negara dengan berbagai mekanisme sesuai syariat. Tidak boleh diserahkan kepada korporasi, hulu hingga hilir. Selain menjaga pasokan produk pangan seperti minyak kita, negara wajib mengawasi rantai distribusi dan menghilangkan segala penyebab distorsi pasar. Qadhi hisbah akan melakukan inspeksi pasar. Jika ditemui ada kecurangan seperti kasus minyakita oplosan, negara akan memberikan sanksi tegas, bahkan pelaku bisa dilarang melakukan usaha produksi hingga perdagangan.

"Pemimpin adalah pelayan rakyat, bukan rakyat yang menjadi pelayan pemimpin” (HR. Abu Dawud). 

Wallahu'alam bishawab


Share this article via

15 Shares

0 Comment