| 230 Views
Kenaikan Tunjangan Guru: Solusi atau Ilusi Kesejahteraan?

Oleh : Rasmawati Asri
Presiden Prabowo Subianto meningkatkan anggaran untuk kesejahteraan guru ASN dan non-ASN pada tahun 2025 menjadi Rp81,6 triliun, bertambah sebesar Rp16,7 triliun dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Kebijakan ini dianggap sebagai "kado manis" bagi para guru dalam rangka peringatan Hari Guru Nasional pada 25 November. Menurut Prabowo, langkah ini merupakan salah satu upaya nyata pemerintah untuk memastikan bahwa guru memperoleh penghargaan yang pantas atas peran penting mereka dalam mencerdaskan bangsa.(Tempo.co, 01/12/2024).
Presiden menjelaskan bahwa kesejahteraan guru ASN ditambah setara dengan satu kali gaji pokok, sedangkan tunjangan profesi guru non-ASN dinaikkan menjadi Rp2 juta. Namun, pernyataan ini kemudian dianggap menimbulkan kesalahpahaman di kalangan masyarakat, termasuk para guru.
Bagi guru ASN, kenaikan tunjangan memang setara dengan satu bulan gaji, tetapi kebijakan ini sebenarnya sudah berlaku secara rutin setiap tahun. Sementara itu, untuk guru non-ASN, kenaikan tunjangan yang sebenarnya hanya sebesar Rp500.000 per bulan. Hal ini karena saat ini guru non-ASN yang telah lulus sertifikasi atau pendidikan profesi guru (PPG) menerima gaji Rp1,5 juta. Dengan kenaikan tersebut, pada 2025 nanti gaji mereka akan menjadi Rp2 juta.
Namun, untuk memperoleh gaji Rp1,5 juta itu, guru non-ASN harus memenuhi persyaratan mengajar selama 24 jam per minggu (jam tatap muka dengan siswa). Sebagai informasi, satu jam mengajar berkisar antara 35-45 menit, tergantung pada jenjang pendidikan siswa. Pada kenyataannya, banyak guru non-ASN yang telah lulus PPG namun belum menerima gaji sebesar itu karena jam mengajar mereka belum mencapai 24 jam.
Tidak hanya itu, meskipun pemerintah akan menjalankan program PPG untuk 806.486 guru ASN dan non-ASN pada 2025, mereka harus memenuhi syarat pendidikan minimal Diploma IV (D4) atau Sarjana (S1). Artinya, guru non-ASN yang tingkat pendidikannya masih di bawah D4/S1 tidak dapat berharap memperoleh kenaikan tunjangan. Selain itu, untuk mendapatkan pendidikan diploma atau sarjana, para guru harus membiayai sendiri. Dengan demikian, kenaikan tunjangan ini belum sepenuhnya meningkatkan kesejahteraan para guru. (Kompas.com, 29/11/2024).
Apakah Guru Akan Benar-Benar Sejahtera?
Memang benar bahwa peningkatan gaji guru merupakan salah satu faktor yang dapat mendukung kualitas pendidikan. Namun, dalam sistem kapitalisme, guru dipaksa untuk berjuang sendiri, karena mereka hanya dianggap sebagai bagian dari faktor produksi. Kapitalisme menempatkan pendidikan sebagai komoditas ekonomi, sehingga posisi guru terdampak secara signifikan.
Dengan kata lain, kapitalisme mendorong pengelolaan pendidikan berdasarkan paradigma bisnis yang diterapkan oleh penguasa terhadap rakyatnya. Akibatnya, biaya pendidikan menjadi tinggi, dan beban tersebut harus ditanggung oleh masyarakat. Seperti halnya dalam proses produksi, gaji guru sebagai faktor produksi ditekan serendah mungkin untuk memaksimalkan keuntungan. Bahkan, masalah yang dihadapi guru bukan hanya soal gaji, tetapi juga beban kerja yang berat dan birokrasi administratif yang rumit.
Sebenarnya, kualitas pendidikan tidak hanya ditentukan oleh guru. Pemerintah perlu memperbaiki kurikulum jika memang berniat untuk mencerdaskan bangsa. Selain itu, terdapat faktor lain yang perlu diperhatikan, seperti sinergi antara siswa, keluarga, sekolah, dan masyarakat dalam proses pendidikan. Karena itu, sekolah dengan biaya tinggi dan kurikulum internasional belum tentu menghasilkan generasi yang unggul atau siap membangun peradaban masa depan.
Permasalahan lain adalah bahwa kehidupan dalam sistem kapitalisme didasarkan pada sekularisme, yang justru memperberat beban kerja guru dan membatasi peran mereka. Di satu sisi, guru harus menjadi teladan bagi siswa, namun di sisi lain, siswa hidup dalam masyarakat sekuler yang mendorong kebebasan perilaku. Mereka juga merupakan produk dari kurikulum pendidikan sekuler, yang membuat proses pendidikan yang diberikan guru menjadi tidak sejalan.
Selain itu, di banyak daerah, infrastruktur pendidikan masih sangat buruk. Jalan dan jembatan menuju sekolah rusak, dan transportasi umum terbatas atau bahkan tidak ada. Fasilitas pendidikan pun kurang memadai, baik dari segi bangunan sekolah maupun peralatan belajar.
Semua ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak memposisikan dirinya sebagai penanggung jawab utama dalam penyelenggaraan pendidikan. Tidak mengherankan jika nasib guru dan siswa berada dalam keadaan yang sulit, karena pemimpin tidak mengutamakan kepentingan rakyatnya. Pendidikan yang mahal sering kali dianggap sebagai indikator kualitas, meskipun kenyataannya biaya tinggi tersebut tidak selalu berkorelasi dengan peningkatan kualitas generasi, melainkan lebih menonjolkan aspek komersialisasi dan kapitalisasi pendidikan.
Para Pendidik dalam Sistem Islam
Pendidikan yang berkualitas memang membutuhkan upaya dan biaya yang besar. Namun, hal itu hanya dapat terwujud jika pemerintah berperan sepenuhnya sebagai pihak yang bertanggung jawab atas urusan rakyat. Apalagi, pendidikan merupakan kebutuhan dasar masyarakat. Jika biaya pendidikan yang tinggi dibebankan pada individu, hal ini akan menghalangi akses masyarakat kurang mampu terhadap pendidikan.
Oleh karena itu, pendidikan seharusnya diselenggarakan oleh negara secara gratis untuk rakyatnya. Pendidikan harus dianggap sebagai fasilitas umum, sehingga negara bertanggung jawab menyediakan guru, menjamin kualitas guru, menyediakan infrastruktur dan fasilitas pendidikan, serta membiayai seluruh kebutuhan pendidikan melalui anggaran negara.
Sistem pendidikan seperti ini tercermin dalam sistem Islam (Khilafah), di mana negara bertanggung jawab penuh atas kemaslahatan rakyat, termasuk pendidikan. Negara dalam Islam bukan hanya berperan sebagai pengatur, melainkan sebagai pelindung dan pengurus rakyat. Pemimpin yang terpilih dalam sistem ini harus amanah, adil, dan menghabiskan waktunya untuk mengurus kebutuhan masyarakat.
Rasulullah SAW bersabda, “Imam adalah pengurus rakyat dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR Bukhari dan Muslim). Hadis lain menyebutkan, “Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim.” (HR Ibnu Majah). Selain itu, dalam Al-Qur'an (QS Al-Mujadalah [58]: 11), Allah Ta'ala menjelaskan pentingnya kedudukan ilmu dan pendidikan dalam Islam.
Islam memandang pendidikan sebagai sesuatu yang sangat penting dan strategis, bukan sekadar untuk keuntungan materi. Dalam Khilafah, pendidikan didanai oleh dua sumber utama dari baitulmal. Pertama, dari pos fai dan kharaj, yang mencakup ganimah, khumus, jizyah, dan pajak (dharibah), yang hanya dipungut dari laki-laki muslim yang kaya ketika kas negara kosong. Kedua, dari kepemilikan umum, seperti sumber daya alam, tambang, hutan, dan laut, yang hasilnya digunakan untuk membiayai pendidikan.
Pembiayaan pendidikan ini mencakup semua jenjang, termasuk gaji guru, pengadaan infrastruktur, serta fasilitas belajar. Khilafah memiliki kewajiban menyediakan guru-guru terbaik demi mencerdaskan generasi. Gaji guru harus memadai tanpa perlu tambahan tunjangan, dan didukung oleh sistem ekonomi Islam yang menjamin distribusi kekayaan yang merata, sehingga setiap rakyat dapat hidup sejahtera dengan terpenuhinya kebutuhan pokok mereka.
Negara juga berperan dalam menjaga daya beli masyarakat, mencegah inflasi, dan menyediakan layanan publik seperti kesehatan, pendidikan, keamanan, dan transportasi secara gratis. Dengan demikian, gaji guru tidak digunakan untuk kebutuhan pokok yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara, tetapi sepenuhnya untuk kesejahteraan pribadi dan keluarga mereka.
Dalam sejarah, pada masa Khilafah Abbasiyah, gaji guru sangat tinggi dibandingkan zaman sekarang. Misalnya, guru di masa itu menerima 1.000 dinar per tahun (sekitar 83,3 dinar per bulan), yang setara dengan nilai sekitar Rp531 juta per bulan di masa kini. Ulama dan pengajar ilmu Al-Qur'an bahkan menerima gaji lebih tinggi, dan karya ilmiah mereka dihargai dengan emas seberat buku yang ditulisnya.
Inilah gambaran kesejahteraan dan penghargaan yang diberikan kepada guru dan ulama pada masa peradaban Islam. Mereka dipandang sebagai pahlawan dan dihormati atas jasa-jasa mereka. Wallahu a'lam bishawab.