| 113 Views

Kebocoran pajak, Negara keras terhadap Rakyat, Lunak terhadap Pengusaha

Oleh : Siti Rohmah, S.Ak.

Pekan ini ramai di perbincangkan soal kebocoran pajak yang awal mulanya di ungkapkan oleh Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, sekaligus adik Terpilih Prabowo Subianto, Hasmi Djojohadikusumo. Beliau menyebutkan akan mengejar kasus pengemplangan pajak tersebut yang membuat negara kehilangan Rp 300 triliun. Bahkan pak Prabowo sendiri sudah memegang daftar 300 pengusaha 'nakal' tersebut. Hal tersebut pun di benarkan oleh Juru bicara Menko Marves bahwa data yang diungkapkan Hasim berasal dari audit yang dilakukan  Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Beliau mengatakan bahwa potensi penerimaan negara itu bisa didapatkan dari perbaikan tata kelola sektor kelapa sawit.  (CNBCIndonesia.com, 10/10/2024).


Pengusaha Diistimewakan
 
Terbongkarnya kebocoran anggaran negara akibat pengemplang pajak, dengan nilai melebihi Rp 300 triliun. Ini adalah akumulasi pajak pengusaha yang tidak dibayarkan selama bertahun-tahun dan baru menjadi perhatian saat ini. Nampak jelas menunjukkan bahwa negara tidak tegas terhadap pengusaha yang tidak membayar pajak. Para penguasa dapat leluasa mengemplang pajak hingga 15 tahun tanpa tersentuh hukum. Para pengusaha pun leluasa menggunakan lahan jutaan hektar untuk kelapa sawit tanpa membayar pajak.

Kondisi ini menjadi bukti bahwasanya negara mengistimewakan para pengusaha. Ini menambah daftar kebijakan negara  yang cenderung bersikap lunak terhadap para pengusaha. Selama ini pemerintah telah banyak memberikan kemudahan bagi para pengusaha, perusahaan di berikan berbagai program keringanan pajak yaitu tax holiday (libur pajak) yang merupakan instensif pemerintah berupa pengurangan atau penghapusan pajak untuk sementara waktu.  Ada juga tax amnesty (amnesti pajak) ialah penghapusan pajak yang seharusnya dibayar dengan cara mengungkap harta dan membayar uang tebusan.


Hal ini berbeda dengan kebijakan pajak atas rakyat, di mana rakyat dibebani dengan berbagai macam pajak, dan terus mengalami kenaikan. Rakyat didoktrin dengan slogan orang bijak taat bayar pajak. Penerapan kebijakan pajak yang berbeda antara perusahaan dan individu ini –terlepas dari pandangan atas hukum pajak-  jelas sewenang-wenang dan mendzalimi rakyat.  Dana kebocoran pajak senilai 300 triliun seharusnya bisa di gunakan untuk membangun fasilitas kebutuhan rakyat. Ketika ada penundaan pembangunan yang di butuhkan rakyat, maka rakyat justru makin sengsara. Begitulah negara dengan sistem kapitalis di mana pembangunan dan kesejahteraan rakyat bergantung pada pendapatan pajak. Berbeda dengan sistem Islam untuk pembangunan dan jaminan lainnya tidak bergantung pada pendapatan pajak.

Pajak dalam Islam

Pembangunan dalam Islam dibiayai dengan pemasukan negara dari berbagai sumber sebagaimana ditetapkan dalam sistem ekonomi islam. Daulah memiliki baitulmal yang sumber pemasukannya dari zakat,fai,kharaz, kepemilikan umum (Sumber Daya Alam).

Negara akan mengelola sendiri sumber daya alam seperti, migas,  listrik, pertambangan, hasil laut tanpa melibatkan investasi swasta. Sehingga hasilnya pun akan maksimal di berikan untuk rakyat. Dengan banyaknya pemasukan negara tersebut maka akan cukup untuk memenuhi kebutuhan rakyat tanpa harus memungut pajak. 

Namun, ketika terjadi kondisi baitulmal kosong atau tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan rakyat saat itulah negara meminta pembiayaan (pajak) pada rakyat. Pajak hanya dipungut dalam kondisi khusus/insidental, ketika ada kebutuhan pokok yang  umat dan sangat mendesak. Namun pajak hanya diambil pada orang muslim yang kaya.  Berbeda dengan sistem kapitalisme yang membebani pajak kepada setiap orang (miskin maupun kaya). 

Oleh karena itu, kaum muslim wajib mendorong agar negara ini, termasuk pengelolaan ekonominya, diatur sesuai dengan syariat Islam, negara bersikap adil dan tidak menzalimi rakyat. Maka hanya dengan menerapkan hukum Allah Swt segala sesuatu masalah akan teratasi. Wallahu a'alam bishawab.


Share this article via

23 Shares

0 Comment