| 46 Views
Jika THR Saja Kena Pajak, Lantas Bagaimana Negara Akan Menyejahterakan Rakyat?

Oleh : Fitria Rahmah, S.Pd.
Pendidik Generasi dan Aktivis Muslimah
Perayaan hari kemenangan umat Muslim di seluruh dunia setelah satu bulan berpuasa di bulan Ramadan biasa disebut dengan Hari Raya Idulfitri. Pada hari raya ini biasanya terdapat tradisi mudik di Indonesia, di mana para perantau yang bekerja di kota lain datang kembali ke kampung halamannya untuk bersilaturahmi dan berkumpul dengan sanak saudara mereka. Di moment ini kebutuhan mereka meningkat, dari mulai mempersiapkan biaya untuk mudik, pakaian baru untuk keluarga dan sanak saudara, makanan, berbagi kebahagiaan dengan membagi-bagikan uang, dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, biasanya pada moment ini perusahaan tempat mereka bekerja memberikan bonus yang disebut dengan uang Tunjangan Hari Raya (THR). THR ini menjadi hal yang sangat dinantikan, karena dengan THR ini budaya mudik dan kebiasaan-kebiasaan seremonial lainnya dapat dilaksanakan. Namun sayangnya, di tengah euforia hari raya, mereka harus bersedih, bukan karena THR ditiadakan, tetapi karena skema pajak THR kali ini berbeda.
Seolah tidak ikhlas dengan adanya potongan pajak THR, salah satu karyawan swasta di daerah Tendean, Jakarta Selatan, Arijal mengeluh tentang besarnya potongan pajak THR, dia mengatakan pada Tirto, Rabu (27/3/2024) "Sudah gaji seadanya, dipotong pajak seenaknya,"
Pada kesempatan yang sama, Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, mengatakan bahwa kebijakan baru ini jelas akan membebani masyarakat jika komponen bonus atau THR dijadikan sasaran objek pajak. Dampaknya, jadi lebih besar pajak yang harus dibayarkan dibandingkan metode semula meski di akhir tahun nanti akan ada penyesuaian. Kita butuh THR buat hari raya. Di bulan kita mendapatkan THR malah beban pajaknya lebih besar dibandingkan dengan mekanisme sebelumnya. Meski dalam setahun sama.
Faktanya, skema pajak yang baru makin memberatkan rakyat karena bonus, THR dan tambahan penghasilan lain terkena pajak. Dalam negara kapitalis, pajak adalah salah satu sumber utama pemasukan negara yang menyumbang sekitar 70% dari seluruh penerimaan negara. Sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003, pendapatan negara adalah hak pemerintah pusat yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih yang terdiri atas penerimaan perpajakan, penerimaan negara bukan pajak, dan penerimaan hibah.
Oleh karena itu pajak dalam sistem kapitalis niscaya adanya. Bahkan apa saja bisa ditetapkan pajaknya. Maka tak heran jika citra pemerintah layaknya pemalak, yang memeras rakyat dengan paksa atas dalih pajak. Pajak digenjot disemua hal demi mendukung ketersediaan dana kas negara, yang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, diantaranya pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, subsidi BBM, gaji pegawai negeri, dan fasilitas publik.
Tapi pada kenyataannya, biaya pembangunan infrastruktur berasal dari utang luar negeri, pendidikan dan kesehatan mahal dan sulit dijangkau oleh sebagian rakyat. Begitu pun dengan BBM, kita tidak mendapatnya secara gratis, malah makin mahal. Apalagi fasilitas publik, untuk mendapatkan fasilitas yang nyaman dan aman kita harus merogoh kocek lebih dalam, jika harganya terjangkau maka kondisinya tidak layak dan jauh dari kata aman dan nyaman. Tepatnya, ada uang ada barang inilah cerminan negara kapitalisme saat ini.
Lantas kemana perginya uang pajak yang katanya menyumbang pemasukan negara hampir 70%?
Sayangnya, penggunaan pajak ini seringkali disalahgunakan. Tidak sedikit kasus korupsi pajak dengan nilai fantastis terjadi, yang membuat masyarakat miris dan naik darah. Uang yang harusnya digunakan untuk menyejahterakan rakyat, malah digunakan untuk menyejahterakan segelintir orang saja. Padahal tujuan utama dari penarikan pajak adalah untuk menyejahterakan rakyat. Ternyata itu hanyalah sebuah ilusi.
Kenyataanya, rakyat saat ini jauh dari kondisi sejahtera, kebalikannya rakyat makin menderita dengan adanya pajak yang semakin menjadi, merasuki semua hal. Karena sejatinya, keberadaan pajak adalah beban bagi rakyat, sebab pajak berasal dari harta rakyat. Maka, jika semua hal terkena pajak, makin besar pula beban rakyat, bukan semakin sejahtera seperti yang dimaksud pada tujuan pajak.
Maka dari itu, pajak sebagai pemasukan utama negara tidak boleh diberlakukan lagi. Keberadaan pajak seharusnya sebagai pilihan terakhir yang dilakukan negara untuk mengumpulkan dana, dalam kondisi khusus atau darurat. Apabila kas negara dalam keadaan kosong dan tidak mampu membiayai beberapa keperluan negara dengan segera, maka negara boleh memungut pajak.
Pemungutannya pun tidak diberlakukan untuk semua rakyat. Hanya rakyat yang sudah mampu memenuhi kebutuhan dasarnya dengan baiklah yang berkewajiban membayar pajak. Jika keuangan negara sudah kembali normal, maka pemungutan pajak harus segera dihentikan. Maka rakyat akan terbebas dari pajak membebani. Sebagaimana yang pernah diterapkan pada negara yang berasaskan sistem Islam secara sempurna.
Negara ini memiliki sumber pemasukan yang bermacam-macam. Pertama sektor kepemilikan individu seperti zakat, hibah, sedekah, dan lain sebagainya. Kedua, sektor kepemilikan umum mencakup pengelolaan berbagai sumber daya alam milik umum atau rakyat. Ketiga, sektor kepemilikan negara mencakup jizyah, kharja, ghanimah, fai, usyur dan lain sebagainya.
Dari sumber pemasukan yang beraneka macam ini, maka tidak heran jika negara ini mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri dengan baik tanpa harus membebani rakyat. Pembangunan di semua aspek kehidupan dapat dibiayai dengan baik. Oleh karena itu,transportasi, kesehatan, pendidikan yang berkualitas dapat diberikan secara gratis. Pangan yang bermutu pun akan melimpah ruah keberadaanya, sehingga dapat dinikmati dengan baik oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali.
Konsep ini pernah dilaksanakan secara nyata dan mampu menyejahterakan rakyatnya selama kurang lebih 13 abad lamanya. Mekanisme inilah yang harusnya digunakan dalam sebuah negara, sehingga kesejahteraan rakyat terjamin secara penuh.
Wallahualam bissawab