| 167 Views
Jelang Penetapan UMK 2025 Depok: Upah Buruh Termarjinalkan Terus Pasca Reformasi

Oleh : Huda Reema Naayla
Anggota Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok
Tahun 2025 sudah di depan mata, pemerintahan baru sudah selesai melangsungkan pemilihan presiden beserta jajarannya. Tentunya, harapan baru tumbuh beserta dengan pemerintahan baru ini. Masyarakat berbagai kalangan menyambut hasil kemenangan dengan suka cita. Begitu pula dengan para buruh yang berharap ada angin segar pada pemerintahan baru ini.
Sebagaimana dilansir TribunnewsDepok.com, (12/12/2024), serikat buruh menanti langkah Pemerintah Kota Depok (Pemkot) Depok menaikan Upah Minimum Kota (UMK) tahun 2025. Ketua Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Kota Depok, Wido Pratikno mengaku, upah buruh selalu termarjinalkan pasca reformasi 1998. Wido menilai, UMK Depok 2025 selayaknya naik 6,5 persen sesuai anjuran dari Presiden RI Prabowo Subianto. Pasalnya, kenaikan upah buruh dari tahun ke tahun belum menyentuh angka di atas lima persen. Kenaikan buruh ini selalu tidak imbang dengan Inflasi yang ada, kondisi real yang naik hannya 0,1-0,2, itu baru tahun lalu 3,26 persen.
Sistem kapitalisme yang saat ini diterapkan nyatanya menjadi akar masalah ketimpangan ekonomi yang dirasakan kaum buruh. Marginalisasi upah buruh pasca-reformasi mencerminkan mekanisme kapitalisme yang memberikan prioritas pada keuntungan perusahaan dan investor daripada kesejahteraan pekerja. Sistem kapitalisme mengeksploitasi buruh, karena dengan sistem upah minimum hanya menjadi bentuk eksploitasi terselubung. Para buruh dipaksa menerima penghasilan yang sangat tidak mencukupi kebutuhan dasar mereka, sementara itu pemilik modal terus menikmati surplus keuntungan.
Di sisi lain pemodal juga kerap kali dibebani berbagai pembiayaan yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara, salah satunya pembebanan pajak. Seringkali keuntungan yang diperoleh tidak optimal untuk memberikan kompensasi yang memadai terhadap kinerja buruh dan berujung pada upah buruh yang dikorbankan. Faktanya, kenaikan upah sering kali dikaitkan dengan kemampuan perusahaan untuk bersaing di pasar, bukan pada asas keadilan, sehingga terjadi ketidakseimbangan struktural antara produktivitas buruh dan kompensasi yang mereka terima.
Kenaikan upah harus lebih substansial, karena sejatinya tuntutan kenaikan upah ini bukanlah solusi. Kenaikan upah belum dirasa cukup untuk mengimbangi inflasi. Ditambah lagi dengan melemahnya daya beli buruh dan masyarakat yang sudah berlangsung lama akibat sistem kapitalisme. Di sini tentunya sangat dibutuhkan peran negara sebagai periayah yang tidak hanya mengutamakan kepentingan pengusaha, namun juga kaum buruh dan rakyat secara keseluruhan selayaknya yang sudah diperintahkan dalam Islam.
Negara di dalam Islam bertugas menjamin kesejahteraan rakyatnya, termasuk kaum buruh dengan cara memastikan harga kebutuhan pokok tetap stabil, menjamin kebutuhan baik individu berupa sandang, pangan, papan maupun kebutuhan publik seperti kesehatan, pendidikan, keamanan dan lainnya. Tentu harus ada perubahan sistemik menuju penerapan sistem syariat secara kaffah.