| 409 Views
Islam : Solusinya untuk Masalah Kesehatan Dunia

Oleh : Umma Hadid
Kesehatan merupakan salah satu aspek paling fundamental dalam kehidupan manusia. Kesehatan yang baik memungkinkan seseorang menjalani hidup dengan penuh produktivitas, kebahagiaan, dan kualitas hidup yang optimal. Kesehatan, yang seharusnya menjadi hak dasar setiap manusia, kini terasa semakin mahal. Biaya pengobatan yang terus merangkak naik membuat banyak orang kesulitan mengakses layanan kesehatan yang layak.
Pada awal tahun 2020, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018, yang mengatur kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Berikut rinciannya Kelas I: Naik dari Rp 80.000 menjadi Rp 160.000 per bulan per orang. Kelas II: Naik dari Rp 51.000 menjadi Rp 110.000 per bulan per orang. Kelas III: Naik dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000 per bulan per orang. Sedangkan pada tahun 2021, iuran untuk kelas III tetap mengikuti skema subsidi pemerintah, dengan peserta membayar Rp 35.000 dan pemerintah mensubsidi sebesar Rp 7.000 per orang. Kelas I: Rp 150.000 per bulan. Kelas II: Rp 100.000 per bulan. Kelas III: Rp 42.000 per bulan, dengan pembayaran peserta Rp 35.000 dan subsidi Rp 7.000.
Meskipun tidak ada kenaikan pada tahun 2024, namun rumor kenaikan iuran bpjs masih bergulir dikarenakan Kepala Humas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Rizzky Anugerah mengatakan "Jika berkaca dari kondisi rasio klaim tahun 2024 yang sudah mencapai 109,62%, sepertinya kenaikan iuran sebesar 10% tidak mencukupi untuk menutup kebutuhan biaya layanan kesehatan dan berpotensi akan terjadi defisit hingga gagal bayar," Finansial.bisnis.com (7/12/2024).
Jadi, menaikkan iuran BPJS bukanlah jalan keluar yang tepat untuk mengatasi masalah defisit. Biaya kesehatan yang terus meningkat akan membuat iuran sebesar apa pun tetap tidak mencukupi. Akibatnya, masyarakatlah yang akan semakin terbebani.
Kita semua tahu bahwa kesehatan adalah hak dasar setiap manusia. Namun, sistem kapitalis telah mengubah kesehatan menjadi bisnis yang menguntungkan. Akibatnya, banyak orang, terutama yang kurang mampu, kesulitan mengakses layanan kesehatan yang layak. Negara harus lebih proaktif dalam memastikan bahwa semua warga negara mendapatkan perawatan kesehatan yang berkualitas. Kita tidak boleh membiarkan kesehatan menjadi korban ambisi bisnis.
Peraturan pemerintah saat ini justru memberikan lampu hijau bagi komersialisasi sektor kesehatan. Ini membuat biaya layanan kesehatan semakin tidak terjangkau, meskipun rakyat sudah membayar iuran kesehatan yang terus meningkat. Pemerintah mengklaim telah memprioritaskan kesehatan, namun kenyataannya akses terhadap layanan kesehatan masih sangat terbatas. Ironisnya, pemerintah juga menetapkan standar internasional yang tinggi di sektor kesehatan, namun standar ini justru dimanfaatkan oleh pihak swasta untuk meraup keuntungan melalui bisnis akreditasi. Akibatnya, biaya pendidikan tenaga kesehatan menjadi sangat mahal dan jumlah tenaga kesehatan yang tersedia tidak mencukupi.
Islam memberikan perhatian yang besar terhadap masalah kesehatan, diantaranya :
Pertama, Islam memposisikan kesehatan sebagai kebutuhan dasar. Hal ini berdasarkan hadis, “Sesungguhnya Allah tidak menurunkan penyakit kecuali Dia juga menurunkan penawarnya.” (HR Bukhari). Hadis ini lebih memotivasi untuk serius dalam dunia kesehatan.
Kedua, Rasulullah saw. juga bersabda, “Barang siapa bangun di pagi hari dalam keadaan merasakan aman pada dirinya, sehat badannya, dan ia memiliki makanan untuk hari itu maka seolah-olah seluruh dunia dikuasakan kepadanya.” (HR Tirmidzi). Sehingga pemimpin di dalam Islam wajib menjadi raa’in (pengurus) terhadap urusan rakyat. Dan setiap warga negara berhak mendapatkan perawatan kesehatan tanpa diskriminasi.
Ketiga, pelayanan kesehatan gratis. Sejarah peradaban Islam mencatat bahwa layanan kesehatan pada masa Khilafah luar biasa bagus dan benar-benar gratis.Rasulullah saw. mencontohkan sebagai pemimpin umat Islam beliau menyediakan layanan kesehatan gratis untuk rakyat. Dari Jabir ra., ia berkata, “Rasulullah saw. pernah mengirim seorang dokter untuk Ubay bin Kaab.” (HR Muslim).
Dari Zaid bin Aslam, dari bapaknya, ia berkata, “Saya pernah sakit keras pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab. Khalifah Umar memanggil dokter untukku.” (HR Al-Hakim).
Di Bagdad ada Rumah Sakit Al-Adhdi. Pengobatannya gratis untuk seluruh penduduk. Pasien mendapatkan perhatian yang istimewa di rumah sakit dengan mendapatkan pakaian baru yang bersih, berbagai macam gizi, obat-obat sesuai keperluan, dan setelah sembuh, pasien diberi biaya transportasi agar dapat kembali ke negerinya.
Keempat, bangunan fasilitas kesehatan yang memadai. Para khalifah membangun bimaristan (rumah sakit) dan terus-menerus menyempurnakannya. Salah satunya adalah Bimaristan Al-Mansouri yang dibangun di Kairo, Mesir pada 1248 M dengan 8.000 tempat tidur dan banyak bangsal khusus. Rumah sakit ini dilengkapi fasilitas ruang salat untuk pasien. Penerimaan pasien tidak memandang ras, warna kulit, atau agama. Tidak ada batasan waktu untuk rawat inap, pasien tetap di rumah sakit sampai benar-benar sembuh. Pasien yang pulang diberi satu set pakaian baru dan uang saku. Negara membangun bimaristan khusus untuk penyakit tertentu, seperti bimaristan psikiatri dan bimaristan kusta. Tersedia juga bimaristan keliling bagi para musafir. Rumah sakit dalam Khilafah memiliki aula yang besar untuk perkuliahan kedokteran, juga perpustakaan yang memiliki banyak koleksi buku yang diperlukan para dokter dan mahasiswa. Perpustakaan di Rumah Sakit Ibnu Thulun di Kairo memiliki lebih dari 100 ribu buku.
Kelima, menyediakan tenaga kesehatan yang profesional. Seperti negara menyediakan kampus kesehatan, staf pengajar, laboratorium, dan fasilitas lainnya. Negara juga membangun industri farmasi sehingga kebutuhan obat bisa dipenuhi secara mandiri, tidak perlu impor. Negara membiayai aktivitas penelitian di bidang kesehatan meski membutuhkan biaya besar. Pada masa Khalifah Al-Muqtadir (908—932 M) dan Al-Qahir (932—934 M) dari Khilafah Abbasiyah, negara menyediakan dokter-dokter untuk para narapidana di penjara setiap hari, membawa obat-obatan dan minuman untuk mereka, berkeliling ke seluruh bagian penjara, dan mengobati yang sakit (Ibn Qifthi, Tarikh al-Hukama’).
Keenam, berlomba berinfak dalam dunia kesehatan karena merupakan bagian dari pahala investasi. Penguasa dalam Khilafah gemar mewakafkan hartanya untuk keperluan umat, termasuk kesehatan. Seorang penguasa bernama Saifuddin Qalawun (673 H/1284 M) mewakafkan hartanya untuk memenuhi biaya tahunan rumah sakit Al-Manshuri Al-Kabir, termasuk membayar gaji karyawan rumah sakit. Di rumah sakit tersebut ada petugas yang khusus berkeliling setiap hari untuk memberikan motivasi kepada para pasien.
Dr. Ragib As-Sirjani dalam buku Masterpieces of Awqaf in Islamic Civilization menulis, rumah sakit wakaf tersebar luas pada masa Khilafah Abbasiyah. Para khalifah mendatangkan para dokter senior untuk bekerja di rumah sakit itu. Negara membeli kitab-kitab karya para ilmuwan medis dan mewakafkannya untuk rumah sakit umum sehingga para dokter junior dapat memanfaatkannya.
Terakhir, terdapat pengalokasian khusus dari baitul mal untuk kesehatan.
Semua ini menggambarkan keseriusan dan tanggungjawab pemimpin dalam islam (Khilafah) terhadap urusan kesehatan rakyat. Negara islam (Khilafah) menjamin penuh kesehatan sehingga terwujudlah kesehatan untuk seluruh rakyat.
Wallahualam bissawab.