| 236 Views
Ironi Banjir Produk Cina di Tengah Tumbangnya Pabrik Tekstil di Indonesia

Oleh : Inang
Mahasiswa UM Buton
Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) mengkritik impor tekstil dari China yang terus membanjiri Tanah Air. Pasalnya, serbuan pakaian atau impor tekstil dari negara Tirai Bambu tersebut dalam waktu dekat diyakini akan memiliki dampak yang sangat dalam bagi UMKM nasional. Ketua Umum HIPPI, Erik Hidayat, menilai, impor tekstil asal China yang kini menguasai pasar Indonesia telah menjadi kekhawatiran kalangan UMKM, pengusaha nasional dan sejumlah pihak. Bahkan, kata Erik, di level kabinet pun Menteri Keuangan Sri Mulyani, telah bersuara mengenai hal tersebut.
Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menilai pemerintah enggan mengambil risiko besar untuk menyelamatkan industri tekstil.Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi INDEF Andry Satrio Nugroho mulanya menyoroti kinerja industri tekstil dan industri pakaian jadi (wearing apparels) di dalam negeri yang terpuruk.Ia melihat pemerintah lebih memprioritaskan hilirisasi di bidang pertambangan dibanding mengurus industri tekstil dan industri pakaian jadi di Indonesia. (CNN Indonesia, 08/08/2024)
Rakyat Terpojok, Kondisi ini membutuhkan kebijakan tegas dari penguasa karena banjir produk impor di pasar dalam negeri menunjukkan terjadinya liberalisasi pasar yang sudah menyentuh tingkat akar rumput. Lebih jauh lagi, banjir impor tidak akan terjadi tanpa keberpihakan pemerintah kepada para pengusaha importir. Hal ini sangat mungkin terjadi karena melalui impor, pemerintah akan mendapatkan renten impor.
Sayang, penguasa tidak berupaya lebih baik untuk melindungi perputaran bisnis rakyat. Tidak heran jika nasib pedagang di sektor fesyen—termasuk tekstil—di dalam negeri masih saja merana, malah memburuk. Belum lagi tantangan lainnya perihal turunnya daya beli masyarakat. Kelas menengah saja banyak yang menahan uangnya untuk belanja, apalagi yang kelas bawah. Selain itu, meski penduduk miskin pada Maret 2024 diklaim turun sebanyak 0,68 juta orang dibandingkan Maret 2023, tetap saja jumlahnya tahun ini masih sebesar 25,22 juta orang. Ini bukan jumlah yang sedikit karena merepresentasikan 9% dari total penduduk negeri ini.Terlebih jika bicara soal kemiskinan, ini semestinya menjadi titik kritis taraf hidup seseorang yang tidak boleh diabaikan oleh penguasa. Namun, langkah yang diambil penguasa sangat tidak strategis. Pembentukan satgas impor masih diragukan efektivitasnya, mengingat rekam jejak kebijakan penguasa yang kadung lekat dengan keberpihakannya kepada para korporat dan pemilik modal.Akibatnya, rakyat pun ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Sudahlah terpojok dengan kondisi ekonomi yang kian turun, pemerintah memperburuknya dengan fakta pahit PHK, tetapi untuk melakukan usaha mandiri pun mereka kalah bersaing dengan produk asing.
Titik Kritis Perdagangan luar negeri versi kapitalisme dinilai memiliki manfaat besar dalam perolehan devisa yang banyak. Di dalamnya berlaku politik perdagangan luar negeri yang tentu saja dibangun berdasarkan landasan tertentu yang sifatnya mengikat, yakni kapitalisasi dan liberalisasi ekonomi. Selain itu, konsep perdagangan luar negeri versi kapitalisme meniscayakan mekanisme perdagangan bebas. Karakteristik ini sejatinya menginginkan hilangnya kontrol negara. Tidak heran, pemerintah seperti tenang-tenang saja meski produk impor sudah membanjir.Tingginya angka impor hanya menguntungkan negara eksportir. Di samping itu, permintaan negara luar terhadap mata uang negara kita juga menurun. Akibatnya, nilai tukar rupiah terhadap dolar makin anjlok. Singkat kata, semua ini merugikan negara kita.Miris, di tengah kondisi banjir produk ini pemerintah justru mengeluarkan Permendag 8/2024 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor yang salah satu isinya adalah relaksasi impor yang berkonsekuensi pada terbuka lebarnya pintu impor. Alih-alih melindungi, pemerintah malah menghancurkan industri tekstil dalam negeri.
Berbeda dengan Islam, dalam Islam sistem perlindungan terhadap banjir produk impor akan diminimalisir. Dengan pengabaian Negara dalam sistem kapitalis saat ini membuktikan bahwa adanya kegagalan dalam menjaga daya beli dan tingkat ekonomi warga, serta iklim bisnis dan industri padat karya. Ketika pemerintah “membiarkan” produk impor membanjir, ini menegaskan arah keberpihakannya kepada pengusaha importir, bukan kepada pengusaha industri padat karya di dalam negeri, apalagi kepada masyarakat luas.Peran negara semestinya adalah melindungi rakyat dan menjamin kebutuhan mereka, bukan menjadi kepanjangan tangan kepentingan korporasi. Sayang, negara justru berperan sebaliknya, yaitu memuluskan kepentingan korporasi dengan penerapan sistem ekonomi kapitalisme liberal.
Pada akhirnya, peran negara makin jauh dari fungsi hakikinya dalam melayani kepentingan rakyat. Jika kita mencermati kondisi ini secara menyeluruh, sungguh penerapan sistem Islam adalah solusi mendasar bagi perlindungan ekonomi warga. Di satu sisi, masyarakat tidak akan dikotak-kotakkan berdasarkan kelas ekonominya, tidak ada pembedaan antara penerima subsidi dan nonsubsidi karena semua rakyat berhak mendapatkan jaminan dari negara. Dalam sistem Iskam akan menjamin ketersediaan dan pemenuhan kebutuhan warganya secara individu per individu, tanpa membedakan kaya atau miskin.
Wallahu'alam