| 278 Views
Investasi terhadap Perempuan, Benarkah Makin Memuliakan Perempuan?

Oleh : Maryam Sakinah
Pada 8 Maret 2024 lalu, telah dilangsungkan peringatan hari perempuan internasional yang mengambil tema Invest in Women: Accelerate Progress. Oleh karena itu, UN WomenIndonesia sangat memberi perhatian pada pentingnya investasi bagi perempuan dan kesenjangan gender. Sangat diyakini bahwa berinvestasi pada perempuan dapat mempercepat kemajuan.
Dengan tema ini, perempuan didorong untuk berinvestasi. Investasi terhadap perempuan dapat dilakukan dalam dua aspek, yaitu investasi publik terhadap kebutuhan perempuan dan investasi sektor swasta. Investasi publik terhadap kebutuhan perempuan yang disediakan pemerintah bisa berupa penyediaan penitipan anak, penyediaan berbagai fasilitas untuk memudahkan pekerjaan perempuan, serta subsidi untuk melakukan pekerjaannya. Adapun investasi perempuan secara individu bisa dengan berinvestasi waktu untuk belajar, melakukan aktivitas dalam komunitas, dan investasi untuk memupuk kekayaannya. Jika negara melakukan investasi terhadap perempuan, kelak akan banyak keuntungan yang didapat. Berinvestasi terhadap perempuan dianggap langkah penting menuju pemberantasan kemiskinan. Dengan menerapkan biaya responsif gender, dapat dipastikan bahwa perempuan akan memiliki kesetaraan terhadap sumber daya dan peluang keuangan.
Peran Perempuan dalam Mengentaskan Kemiskinan dalam Konteks Kapitalisme
Peran perempuan dalam mengentaskan kemiskinan telah menjadi suatu isu yang terus diaruskan di era kapitalisme saat ini. Perempuan juga didorong untuk aktif berkontribusi dalam dunia kerja dan mencari peluang untuk berkarya guna mengatasi kemiskinan. Perempuan yang sejatinya menjadi kelompok yang dilindungi, sebaliknya menjadi kelompok yang paling rawan sebab mereka harus bersaing dengan laki-laki di sektor publik.
Sistem kapitalisme ini selalu menggunakan argumen kesetaraan gender. Oleh karena itu, perempuan harus didukung partisipasinya dalam dunia kerja. Melalui kesempatan bekerja dan berkarya, perempuan dapat meningkatkan kemandirian ekonominya serta ekonomi keluarganya. Dengan memiliki akses yang sama dengan laki-laki dalam bidang pekerjaan, perempuan dapat membantu mengurangi tingkat kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan keluarga secara keseluruhan.
Namun, di sektor publik tidak sesederhana itu. Tatkala perempuan meninggalkan sektor domestik, mereka berisiko dieksploitasi. Pemberian upah murah pada perempuan, tidak ada cuti haid, masa cuti melahirkan yang pendek merupakan lagu lama kaum perempuan pekerja. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang sejauh mana partisipasi perempuan dalam ekonomi kapitalis benar-benar memberikan kesejahteraan bagi mereka atau malah menambah beban yang lebih besar. Jawabannya tentu saja yang kedua. Kapitalisme makin menambah beban berat bagi perempuan dalam menjalani kehidupannya.
Dengan fakta ini, dapat dikatakan bila selama ini program pemberdayaan perempuan yang dijalankan telah gagal mewujudkan janji kesejahteraan bagi perempuan. Kegagalan ini menjadi cerminan faktor Peradaban seputar kapitalistik yang telah menghilangkan peran negara dalam mewujudkan kesejahteraan rakyatnya termasuk kaum perempuan. Perempuan yang seharusnya menjadi kaum yang dilindungi, justru menjadi “tulang punggung” perekonomian.
Dalam sistem kapitalisme, negara diposisikan sebagai regulator, yakni pihak yang memberi jalan tol bagi para pemilik modal, tanpa memperhatikan rakyatnya. Negara lepas tangan menjaga kehormatan perempuan, kemuliaan, dan jaminan kesejahteraan perempuan. Perempuan dalam peradaban kapitalisme juga terbentuk menjadi perempuan yang tidak memahami hak-haknya. Alhasil, alih-alih memuliakan perempuan, yang terjadi justru membuat perempuan semakin terpuruk. Saat mereka menuntukkesejahteraan, tuntutannya sering kali salah arah. Kaum pengusung feminisme dan kesetaraan gender telah menipu banyak perempuan sehingga kehilangan peran keibuan. Perempuan telah mengorbankan pengasuhan dan pendidikan bagi anak-anaknya.
Pengaturan Islam terhadap Perempuan
Islam menetapkan perempuan sebagai ummun wa rabbatulbait (ibu dan pengatur rumah tangga). Perempuan berperan sebagai ibu berkewajiban mendidik putra-putrinya. Ia merupakan sekolah pertama bagi anak-anaknya. Sosok yang menanamkan akidah dan syariat sejak mula seorang anak dilahirkan. Perempuan sebagai manajer rumah tangga memiliki tanggung jawab memelihara seluruh urusan rumah tangganya.
Peran utama perempuan ini tidak menafikan perannya di sektor publik. Perempuan tetap boleh bekerja untuk memberikan kontribusi terbaiknya pada Islam dan umat, tetapi bukan sebagai penopang perekonomian keluarga, apalagi negara. Artinya, jika perempuan berkehendak untuk bekerja maka dia bisa bekerja. Sebaliknya, jika dia tidak ingin bekerja maka itu pun juga boleh. Bekerja atau tidaknya seorang perempuan dalam negara Islam, tidak mempengaruhi laju perekonomian, apalagi kesejahteraan negara.
Negara justru akan menjamin kebutuhan pokok perempuan dengan mekanisme sesuai koridor syariat. Islam mewajibkan nafkah ada pada suami, bila seorang perempuan sudah menikah. Nafkah perempuan ada pada ayah bila belum menikah atau menjanda. Kewajiban ini berpindah pada saudara atau kerabat laki-lakinya bila ayahnya wafat atau tidak mampu lagi menafkahi karena kerentaannya. Akan tetapi, bila ayah dan kerabat lelakinya tidak mampu juga, negara yang akan menjamin langsung kebutuhan pokoknya. Dalam negara Islam, tidak pernah ada ceritanya perempuan terpaksa bekerja di luar rumah demi mencari nafkah. Dengan pengaturan semacam ini, perempuan dalam Islam sangat mulia. Anak-anak yang dilahirkannya pun menjadi generasi cemerlang.