| 171 Views

Himpitan Ekonomi, Ibu Kehilangan Naluri

Oleh: Devi Aisyah
Pendidik Generasi

Satreskrim Polrestabes Medan meringkus empat perempuan yang terlibat jual beli bayi seharga Rp20 juta di Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara.

Wakil Kepala Satuan Reserse Kriminal Polrestabes Medan Ajun Komisaris Madya Yustadi mengatakan, terungkapnya kasus berawal dari informasi masyarakat bahwa ada rencana transaksi bayi yang baru dilahirkan di sebuah rumah sakit di Kecamatan Percutseituan pada 6 Agustus 2024.

Berdasarkan informasi tersebut, petugas melakukan penyelidikan dan mendapati MT, 55 tahun, warga Medan perjuangan, sedang menggendong bayi menumpangi becak bermotor menuju Jalan Kuningan, Kecamatan Medanarea, Kota Medan. MT akan menemui Yu, 56 tahun dan NJ, 40 tahun, untuk menyerahkan bayi yang didapat dari SS, 27 tahun, ibu kandungnya., Kamis, (15/08/2024).


Menurut KPAI, sekitar 2021-2022 kasus penjualan bayi dengan motif yang serupa mencapai 52%.

Sungguh ironi, sejatinya seorang ibu adalah tempat berlindung, teman dan ternyaman bagi anak-anaknya. Dalam Islam pun dikatakan bahwa ibu adalah wa rabbatul bayt, ibu dan pengatur rumah tangga, ibu adalah tempat anak-anaknya diasuh dan dididik untuk mengenal Rabb-Nya.

Namun, faktanya saat ini kapitalisme mampu merubah ibu menjadi sosok yang tega dan tidak berperasaan, rela menggadaikan buah hati yang telah dikandung dan dijaga dan dilahirkan dengan bertaruh nyawa hanya demi sejumlah materi, karena himpitan ekonomi.

Demi bertahan hidup, banyak ibu yang mengesampingkan naluri dan fitrahnya, tidak ada lagi kekhawatiran terhadap nasib bayi tidak berdosa itu, bahkan rasa bersalah dan berdosa pun tidak lagi ada. Kesulitan ekonomi, menjadi alasan berbagai ibu kehilangan naluri. Setiap harinya, berbagai harga kebutuhan pokok kian meroket, sedangkan penghasilan tidak juga mencukupi.

Keimanan tidak lagi menghujam, tidak mampu menjadi benteng yang menjaga fitrah ibu, untuk tetap bersabar dan bertawakal pun tidak lagi ada. Masyarakat yang kian apatis dan individualis juga memperparah keadaan karena tidak mampu menjadi suport sistem yang baik.

Kemiskinan ini sistemik, terlahir dari negeri yang mengemban ekonomi kapitalistik. Para penguasa yang sibuk mengurusi kepentingannya sendiri, sibuk balas budi terhadap para pengusungnya, para pemilik modal. Sibuk berburu kursi, mencari koalisi untuk mndukung hegemoninya. Kesejahteraan rakyat tidak lagi dianggap berarti.

Maka tidak heran, jika masyarakat kian terdorong untuk berbuat nekad, menghalalkan segala cara untuk bertahan hidup,memenuhi isi perut. Nalurinya makin terkikis, fitrah ke ibuannya hilang, demi mengisi perut yang keroncongan.

Ditambah lagi, beratnya biaya untuk merawat bayi, susu, popok, pakaian, makanan, sabun, shampo, dan berbagai kebutuhan bayi lainnya yang tidak sedikit. Biaya pendidikan juga, yang makin hari melambung memperkeruh pikiran ibu, hingga ia gelap mata untuk menjual bayi yang dianggap membebaninya.

Lemahnya keimanan menjadi salah satu faktor pendorong yang membuat ibu tidak lagi peduli halal-haram, segalanya hanya tentang keuntungan dan kepuasan yang besifat materi. Keimanan tidak mampu lagi menjadi pengingat bahwa semuanya akan ada hisab.

Dalam Islam, negara/khilafah itu adalah raa'in. Negara adalah pengurus urusan umat, Rasulullah saw. bersabda: "Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggung jawabannya atas yang dipimpin. Penguasa yang memimpin rakyat banyak akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dipimpinnya.” (HR Bukhari).

Maka kesejahteraan umat adalah tanggung jawab negara. Serta menjamin terpenuhinya seluruh kebutuhan rakyat, dari urusan sandang pangan dan papan, juga pendidikan kesehatan dan keamanan. Negara juga akan mendorong rakyat untuk memenuhi kebutuhannya yang bersifat tersier dan sekunder.

Adapun mekanismenya, yaitu membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya sehingga dapat menyerap banyak tenaga kerja. Selain itu negara juga memberikan bantuan modal dan keterampilan bagi rakyat yang ingin membuka usaha. Negara juga akan memberikan tanah yang "tidak dipergunakan" untuk dikelola oleh rakyat, sehingga tanahnya menghasilkan produk yang dapat dijual dan menghasilkan.

Khilafah mewujudkan suasana ekonomi yang sehat dan kondusif yang salah satu wujudnya adalah tidak adanya pungutan bagi pemilik usaha. Dengan demikian biaya produksi menjadi efisien dan harga barang terjangkau oleh masyarakat.

Dalam negara khilafah, para pekerja mendapatkan upah yang layak, sesuai dengan manfaat yang mereka berikan. Upah tersebut utuh diterima oleh pekerja tanpa ada pungutan, potongan pajak, maupun iuran apapun karena pendidikan dan kesehatan sudah dijamin negara.

Khilafah memastikan tiap-tiap laki-laki dewasa yang sehat bekerja untuk menafkahi diri dan keluarganya. Dengan nafkah yang cukup dan jaminan negara, perempuan tidak wajib bekerja dan tidak dalam kondisi terpaksa bekerja. Perempuan bisa fokus menjadi istri dan ibu yang mengurusi anak-anaknya tanpa pusing memikirkan nafkah, biaya pendidikan, kesehatan, dan lainnya.

Namun, jika kasusnya tidak ada yang mampu menanggung nafkah wanita tersebut, baik wali dan kerabatnya, maka kewajiban nafkah tersebut menjadi tanggung jawab negara. Selain itu masyarakat pun tidak akan segan-segan untuk menolong sesamanya, karena sistem Islam melahirkan suasana masyarakat yang memiliki kepekaan sosial yang tinggi dan gemar berbagi.

Khilafah menjamin kesehatan ibu hamil dan melahirkan, sehingga para ibu tidak akan lagi dipusingkan dengan biaya melahirkan. Selain itu khilafah juga menjamin gizi bayi dan balita, sehingga tidak akan ditemukan kasus gizi buruk dan stunting yang mengkhawatirkan seperti yang saat ini terjadi di negeri ini.

Dengan dukungan suami, sebagai individu yang saleh, serta masyarakat yang bertakwa dan negara yang  menerapkan aturan yang menjamin fitrah manusia. Maka tidak akan ada lagi ibu yang gelap mata, menukar buah hatinya dengan materi yang tidak seberapa jumlahnya. Para ibu, akan berada dalam suasana lingkungan yang kondusif untuk menjaga, mengasuh dan mendidik anak-anaknya dengan kasih sayang.
Wallahualam bissawab


Share this article via

82 Shares

0 Comment