| 92 Views

Harga Beras Semakin Melangit, Petani Kian Tercekik

Oleh : Irmawati

Harga beras di Indonesia jika dibandingkan dengan negara lain dinilai melonjak. Bank Dunia menyebutkan harga beras di Indonesia 20% lebih tinggi dibandingkan harga pasar global (Kompas, 20/09/2024).

Badan Pusat Statistik (BPS) berdasarkan  dari hasil Survei Pertanian Terpadu mencatat petani kecil rata-rata pendapatannya kurang dari  1 dollar AS atau Rp 15.199 per hari. Sedangkan pendapatan petani setiap tahunnya hanya mencapai 341 dollar AS atau Rp. 5,2 juta.

Kepala Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor Leste Carolyn Turn menyatakan bahwa melonjaknya harga beras disebabkan beberapa hal. Seperti pemerintah memberikan kebijakan terkait pembatasan impor dan peningkatan biaya produksi hingga pengetatan sistem perdagangan melalui non-tarif.

Faktor Penyebab

Kenaikan harga beras tentu menjadi polemik dalam masyarakat. Pasalnya,  beras adalah makanan pokok yang wajib tersedia di rumah. Meski harga beras mengalami kenaikan, namun nyatanya belum mampu meningkatkan pendapatan petani. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor :

Pertama, tingginya biaya produksi. Banyak petani yang mengeluhkan harga benih dan pupuk yang sangat mahal. Bahkan, petani sering kali kesulitan mendapatkannya. Walaupun terdapat kebijakan subsidi pupuk, Faktanya tidak mampu meringankan beban biaya yang dikeluarkan petani. Akibatnya,  biaya produksi yang tinggi  akan mempengaruhi harga beras yang akan dijual dipasaran. Ditambah lagi, pengaturan distribusi diatur oleh para petani sendiri mengakibatkan bertambah bengkaknya biaya produksi. 

Kedua, skema impor yang sering kali digulirkan oleh pemerintah mengakibatkan petani rugi. Pasalnya, beras impor yang kualitas baik dan murah lebih diminati masyarakat.  Padahal jika tidak impor, ketersediaan beras dalam negeri akan berkurang. Sehingga harga beras dalam negeri akan meningkat. Disisi lain, kebijakan impor beras lebih menguntungkan negara pengespor. Akibatnya, ketahanan pangan nasional semakin terancam.

Ketiga, rantai distribusi beras yang panjang  dari produsen sampai ke konsumen. Akibatnya  harga beras ditingkat konsumen tidak mencerminkan kesejahteraan petani. Apalagi diperparah dengan banyaknya makelar  dalam distribusi beras. Pengusaha secara langsung  diberi ruang untuk membeli gabah petani. Kemudian mengolah dan mengklasifikasikan berdasarkan kualitasnya. 

Keempat, peran negara yang minim membuat sektor pertanian lebih didominasi petani bermodal besar atau oligarki. Petani bermodal besar mampu menguasai lahan pertanian yang luas dengan alat yang modern. Sementara itu, petani bermodal kecil hanya mampu menggarap dengan lahan seadanya dan peralatan yang sederhana. Akibatnya petani hanya bisa tertunduk lesu karena pendapatan kecil dan cenderung merugi. 

Apalagi lahan pertanian kian sempit karena alih fungsi lahan sawah terus terjadi. Terbukti pada 2018 luas lahan panen padi di Indonesia masih 11,38 juta hektare, pada 2023 hanya tersisa 10,21 juta hektare, turun sebanyak 10,28% dalam enam tahun terakhir. Terlebih, dari pada harus menanggung rugi akibat biaya produksi yang besar banyak petani lebih memilih menjual lahan sawahnya kepada pemodal. Disamping itu, pemodal yang membeli lahan pertanian kebanyakan tidak memanfaatkannya untuk memproduksi pangan.

Selain itu,  negara juga sedang melakukan pembatasan impor beras. Sehingga ketersediaan beras yang lebih sedikit menyebabkan harga mahal. Dengan adanya ritel-ritel yang menguasai bisnis beras bisa memainkan harga. Situasi ini berpeluang untuk membuka keran impor yang menguntungkan oligarki.

Problem Tata Kelola 

Fakta diatas menunjukan persoalan pangan tidak terlepas dari problem mendasar dari tata kelola pangan berpangkal pada sistem kapitalisme. Sistem yang diadopsi dari Barat ini memisahkan aturan agama dalam urusan politik. Kebijakan yang diambil berasaskan pada keuntungan materi semata.

Dalam sistem ini, konsep pengadaan pangan  hanya berfokus pada aspek ekonomi saja. Untuk mengejar pertumbuhan ekonomi bukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. 

Peran negara yang semestinya menjadi penanggung jawab dan pengurus rakyat. Tetapi dalam sistem ini negara hanya menjadi regulator dan fasilitator antara  pemimpin dengan oligarki. 

Karena itu, pengusaha besar banyak mengambil alih pengadaan kebutuhan pokok rakyat untuk mengejar keuntungan pribadi. Penguasaan terhadap rantai penjualan, mulai dari sektor produksi, distribusi, hingga konsumsi kerap menimbulkan praktek oligopoli yang membuka celah untuk melakukan kartel.

Jika negeri ini  masih menerapkan tata kelola dalam sistem ini dalam politik pangan. Maka rakyat hidup semakin tercekik dan petani jauh dari kesejahteraan. 

Solusi Islam

Kondisi ini tentu tidak akan terjadi jika negara menerapkan sistem Islam.  Islam dan kerangka aturannya mengatur seluruh aspek kehidupan manusia termasuk terkait pangan. 

Pangan dalam Islam merupakan kebutuhan pokok dan paling mendasar untuk setiap individu. Negara bertanggung jawab  untuk pemenuhannya terhadap rakyatnya. Tidak hanya memperkirakan kecukupan, tetapi juga memastikan kebutuhan setiap individu dapat terpenuhi. 

Islam mengharamkan pemerintah mematok harga. Agar ketersediaan pangan dan harganya tetap terjaga,Islam mengatur mekanismenya. Sedangkan untuk kebijakan impor, negara Islam tidak melarang impor, jika memenuhi kriteria syariat, seperti larangan bekerja sama dengan negara kafir harbi. Kebijakan ini bertujuan agar kaum muslim tidak bergantung pada asing dan negara bisa bersifat independen.

Untuk mewujudkan ketahanan pangan  negara dalam Islam  memiliki kebijakan dalam negeri  di antaranya ekstensifikasi dan intensifikasi pertanian. Ekstensifikasi berkaitan dengan penyediaan lahan pertanian dan minimalisasi alih fungsi lahan. Sedangkan intensifikasi seperti peningkatan kualitas benih, pupuk, cara bercocok tanam dan lain sebagainya. Agar negara dapat meminimalkan biaya, negara akan mengatur distribusinya dengan memutus rantai distribusi.

Maka hanya negara yang berlandaskan Islam yang menerapkan secara Kaffah  ketahanan pangan secara mandiri dan berkelanjutan diwujudkan. 

Wallahu A'lam


Share this article via

60 Shares

0 Comment