| 75 Views

Gencatan Senjata: Antara Harapan dan Kenyataan, Jihad dan Khilafah Sebagai Solusi Hakiki

Oleh : Siti Aisyah, S.Pd.I 
Guru RA di Rancaekek

Kabar mengenai gencatan senjata antara Palestina, Israel, dan Hamas sempat disambut dengan kebahagiaan oleh banyak pihak di dunia. Namun, harapan untuk perdamaian tersebut dengan cepat memudar karena perjanjian gencatan senjata itu hanya berlangsung singkat. Seperti yang dilaporkan oleh KOMPAS.com, pada Minggu (19/1/2025), Israel dan Hamas saling menyalahkan atas kegagalan dalam menepati kesepakatan yang telah dibuat. BBC juga memberitakan bahwa konflik kembali memanas pada Sabtu (25/1/2025), ketika ribuan warga Palestina dilarang melintasi Koridor Netzarim untuk kembali ke rumah mereka di bagian utara Jalur Gaza.

Pemerintah Israel menutup akses utama dan menuduh Hamas telah melanggar kesepakatan gencatan senjata. Sebelumnya, Hamas telah melepaskan empat tentara perempuan Israel sebagai bagian dari kesepakatan, sedangkan Israel membebaskan 200 tahanan Palestina. Meskipun demikian, Israel tetap melarang warga Palestina untuk kembali ke rumah mereka hingga Hamas membebaskan seorang warga sipil Israel bernama Arbel Yehud, pria berusia 29 tahun yang seharusnya dibebaskan pada hari yang sama.

Pengetatan Keamanan Israel di Tepi Barat

Mengutip laporan dari CNN, Arbel Yehud sebenarnya bukan ditahan oleh Hamas, melainkan oleh kelompok Jihad Islam Palestina (PIJ). Kelompok ini menyatakan bahwa mereka akan tetap menahan Yehud hingga Israel menyepakati ketentuan pertukaran sandera dan tahanan secara adil.

Di sisi lain, Kantor Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menuduh Hamas belum sepenuhnya transparan mengenai daftar para sandera. Dalam pernyataan resmi yang dikutip oleh AFP, pihaknya menyebut bahwa "Hamas telah melakukan dua pelanggaran dalam tahap kedua pertukaran tahanan. Pertama, Arbel Yehud yang seharusnya dibebaskan belum juga dilepaskan. Kedua, Hamas belum memberikan daftar lengkap mengenai status seluruh sandera."

Sementara itu, ketegangan semakin meningkat di Jenin, Tepi Barat. Pada Kamis (23/1/2025), ratusan warga Palestina dipaksa meninggalkan rumah mereka setelah drone militer Israel memberikan peringatan melalui pengeras suara. Operasi militer yang sudah berlangsung selama tiga hari ini menyebabkan banyak rumah di kamp pengungsi Jenin hancur akibat serangan udara dan serbuan pasukan darat yang didukung oleh kendaraan lapis baja, helikopter, serta drone.

Pejabat Israel mengklaim bahwa operasi tersebut bertujuan untuk menghadapi kelompok militan yang didukung oleh Iran. Namun, serangan itu telah menyebabkan 12 warga Palestina tewas dan 40 lainnya mengalami luka-luka, menurut laporan pejabat kesehatan Palestina. Kekerasan ini juga mengundang reaksi keras dari komunitas internasional. Prancis dan Yordania secara terbuka mengecam tindakan Israel, memperingatkan bahwa hal ini dapat memicu eskalasi konflik yang lebih luas di kawasan tersebut.

Gencatan Senjata: Sebuah Tipu Daya

Di kalangan umat Islam, kabar mengenai gencatan senjata sempat disambut dengan penuh harapan. Banyak yang berharap bahwa jeda ini dapat memberikan kelegaan bagi Muslim Palestina dari serangan brutal Israel dan sekutu-sekutunya. Namun, kenyataannya, gencatan senjata hanyalah strategi musuh untuk mengulur waktu, memperbaiki kekuatan mereka, dan melanjutkan agresi mereka dengan cara yang lebih terencana.

Umat Islam harus memahami bahwa gencatan senjata bukanlah solusi yang akan mengakhiri penjajahan dan genosida yang terjadi di Palestina. Sejarah telah menunjukkan bahwa setiap kali ada gencatan senjata, Israel justru semakin memperketat kontrolnya terhadap wilayah Palestina. Oleh karena itu, solusi yang sebenarnya untuk membebaskan Palestina adalah dengan jihad dan tegaknya khilafah.

Jihad bukan hanya perlawanan fisik, tetapi juga mencakup perjuangan politik, intelektual, dan ekonomi dalam melawan penjajahan dan ketidakadilan. Dengan adanya khilafah yang tegak, umat Islam akan memiliki kepemimpinan yang mampu melindungi mereka dari ancaman luar. Selama ini, kaum Muslimin di berbagai negara hanya bisa menyuarakan dukungan moral bagi Palestina, tetapi tanpa kekuatan politik yang nyata, dukungan tersebut tidak akan mampu menghentikan kezaliman yang terus terjadi.

Momentum Rajab dan Isra Mikraj: Saatnya Membangkitkan Kesadaran Umat

Bulan Rajab dan peringatan Isra Mikraj merupakan momentum penting yang harus dimanfaatkan oleh umat Islam untuk memahami akar permasalahan penjajahan di Palestina. Allah telah memberikan kemuliaan kepada tanah Palestina, dan umat Islam memiliki tanggung jawab untuk menjaga serta memperjuangkannya.

Di Indonesia, aksi solidaritas untuk Palestina direncanakan akan berlangsung pada 26 Januari 2025. Aksi ini diharapkan tidak hanya menjadi sekadar simbol kepedulian, tetapi juga menjadi awal dari kebangkitan umat dalam memperjuangkan keadilan yang sesungguhnya. Dengan dorongan iman yang kuat, umat Islam harus bersatu dalam perjuangan ini, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia.

Jika kesadaran umat semakin meningkat, maka mereka tidak akan tinggal diam melihat saudara-saudara mereka di Palestina terus tertindas. Kesadaran ini harus diiringi dengan aksi nyata dalam memperjuangkan jihad dan tegaknya khilafah sebagai solusi hakiki. Untuk mencapai hal ini, umat Islam membutuhkan kepemimpinan yang kuat dan berbasis pada nilai-nilai Islam agar perjuangan mereka dapat mencapai kemenangan yang sesungguhnya.

Dengan adanya pemimpin yang berpegang teguh pada Islam, umat akan memiliki arah yang jelas dalam melawan ketidakadilan global. Inilah yang menjadi kunci untuk membebaskan Palestina dan menghentikan kejahatan yang telah berlangsung selama puluhan tahun. Hanya dengan jihad dan khilafah, penjajahan terhadap Palestina dapat dihentikan, dan umat Islam akan kembali mendapatkan kemuliaannya sebagai umat yang satu dan kuat di bawah naungan syariat Islam.


Share this article via

57 Shares

0 Comment