| 13 Views
Gaji Guru yang Tidak Manusiawi dan Akar Masalah Kesejahteraan dalam Sistem Kapitalis

Oleh: Maria Ummu Aliwa
Minimnya minat menjadi guru di Indonesia bukan semata karena generasi muda kehilangan semangat mengabdi, tetapi lebih karena ironi kesejahteraan yang tak kunjung membaik. Di tengah pentingnya peran guru sebagai pilar utama pendidikan, gaji yang mereka terima justru jauh dari kata layak. Ini bukan hanya ketidakadilan, tapi bentuk pengabaian sistematis yang mencederai masa depan bangsa.
Tak berlebihan jika anggota Komisi X DPR RI, Juliyatmono, dalam kunjungan kerjanya ke Jambi (8/5/2025), menyebut bahwa gaji ideal guru semestinya berada di angka Rp25 juta per bulan. Klaim ini bukan sekadar retorika. Guru yang sejahtera akan lebih fokus, lebih profesional, dan tentu lebih termotivasi dalam mendidik. Sayangnya, kenyataan di lapangan berkata sebaliknya. Masih banyak guru yang hanya digaji Rp500 ribu per bulan, itupun dibayarkan setiap tiga bulan sekali. Apa yang bisa diharapkan dari kondisi seperti ini?
Minimnya gaji guru telah melahirkan banyak problem turunan. Guru-guru terpaksa mengambil pekerjaan tambahan, terjerat pinjaman online, bahkan mengandalkan konten media sosial demi menutup kebutuhan hidup. Lebih parah lagi, guru dibebani segudang administrasi yang menyita energi dan waktu, membuat mereka kehilangan fokus untuk mengajar. Maka jangan heran jika fakultas keguruan sepi peminat, sementara fakultas bisnis dan ekonomi semakin diminati.
Ini bukan sekadar masalah teknis penggajian. Ini masalah sistemik. Sistem kapitalisme yang berlaku hari ini menjadikan pendidikan sebagai sektor pelayanan, bukan investasi peradaban. Profesi guru dipandang setara dengan buruh biasa, padahal tanggung jawab mereka jauh lebih besar: membentuk akhlak, intelektual, dan karakter generasi bangsa. Ironisnya, negara seolah hanya menjadi komentator yang nyaring di media, tapi nihil aksi nyata.
Memang benar, pemerintah telah mengangkat sejumlah guru honorer menjadi PPPK. Tapi prosesnya sarat ketimpangan. Banyak guru senior yang sudah puluhan tahun mengabdi justru tidak lolos seleksi karena alasan-alasan teknis yang tidak masuk akal. Keputusan ini semakin mencederai keadilan, dan menunjukkan lemahnya kehendak politik untuk benar-benar memuliakan guru.
Lalu, apakah ada sistem yang benar-benar menjamin kesejahteraan guru? Islam memberi jawabannya.
Dalam sejarah Islam, guru menempati posisi mulia. Rasulullah ﷺ bahkan bersabda bahwa memuliakan guru sama halnya dengan memuliakan beliau. Di masa kekhilafahan Umar bin Khattab, guru digaji 15 dinar per bulan, setara Rp33 juta jika dikonversikan hari ini. Di era Khalifah Harun Ar-Rasyid, gaji guru bisa mencapai Rp59 juta per bulan. Angka-angka ini bukan mimpi—ini realita yang pernah terjadi dalam sejarah peradaban Islam.
Sistem ekonomi Islam menjamin kesejahteraan rakyat karena tidak membiarkan kekayaan umum dikuasai individu. Air, energi, dan sumber daya alam dikelola negara untuk kemaslahatan rakyat, termasuk para pendidik. Bukan hanya soal gaji, beban administrasi yang memberatkan pun ditiadakan, sehingga guru bisa benar-benar fokus pada tugas mendidik.
Ketika Islam diterapkan secara kaffah, kesejahteraan guru bukan cita-cita semata. Guru akan menjalani profesinya sebagai ladang amal, bukan sekadar pekerjaan. Masyarakat pun akan kembali memuliakan profesi ini, bukan karena materialisme, melainkan karena dorongan iman dan kesadaran akan pentingnya mencerdaskan umat.
Sampai kapan kita membiarkan guru menjadi korban sistem? Sudah saatnya kita membuka mata, bahwa tanpa perubahan sistemik, pendidikan akan terus berjalan pincang. Kesejahteraan guru bukan bonus, tapi syarat mutlak untuk mencetak generasi yang unggul.
Wallahu a’lam bish-shawab.