| 173 Views
Gagal Ginjal pada Anak, Negara Gagal Menjamin Kesehatan Anak

Oleh : Sukey
Aktivis muslimah ngaji
Ramai di media sosial banyaknya anak-anak yang menjalani terapi cuci darah di RSCM. Hal itu ditanggapi oleh Dokter Spesialis Anak di RSCM Eka Laksmi Hidayati bahwa tidak terjadi adanya peningkatan pasien cuci darah pada anak, ada sekitar 60 pasien yang menjalani cuci darah di RSCM.
Banyaknya anak yang menjalani cuci darah rata-rata usianya 12 tahun ke atas, dr Eka Laksmi menyebutkan bahwa penyebab gagal ginjal pada anak bukan akibat dari obat sirup yang sempat ramai pada beberapa tahun lalu.
Merespon hal ini, Ketua Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dr. Piprim Basarah Yanuarso menyampaikan bahwa tidak ada lonjakan kasus gagal ginjal sebagaimana yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya.
Ia menjelaskan, ada berbagai penyebab gagal ginjal pada anak. Selain buruknya gaya hidup, terapi cuci darah juga dapat terjadi karena adanya kelainan bawaan pada ginjal dan saluran kemih yang dialami anak sejak lahir. Ada juga sindrom nefrotik yang menimbulkan gangguan pada ginjal.
Terdapat sekitar 60 anak menjalani terapi cuci darah di RSCM. Dokter spesialis anak di RSCM Eka Laksmi Hidayati menyampaikan bahwa penyebab gagal ginjal didominasi oleh pola hidup tidak sehat pada anak. Konsumsi makanan dan minuman kemasan dengan kadar gula tinggi dapat menyebabkan obesitas sehingga terjadi penurunan fungsi pada ginjal.
Meski Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) memastikan tidak ada lonjakan signifikan dalam kasus gagal ginjal pada anak, fenomena ini tetap memicu kekhawatiran. Sebagian besar kasus gagal ginjal pada anak-anak terkait erat dengan gaya hidup yang tidak sehat sehingga memicu obesitas. Pola konsumsi makanan dan minuman yang tidak sehat seperti produk berpemanis serta kurangnya aktivitas fisik sangat mempengaruhi terjadinya obesitas.
Tidak bisa dipungkiri bahwa pasar Indonesia hari ini dibanjiri oleh produk makanan dan minuman berpemanis yang mengandung gula dalam jumlah yang tidak sesuai dengan rekomendasi angka kecukupan gizi. Produk-produk ini sering kali mengandung gula berlebihan, yang dapat berdampak negatif pada kesehatan anak-anak.
Di sisi lain, faktor kemiskinan juga mempengaruhi tingginya tingkat konsumsi makanan instan. Keterbatasan uang dengan berbagai tanggungan lainnya, menjadikan masyarakat kesulitan memenuhi asupan gizi mereka. Mereka cenderung memilih makanan murah yang penting mengenyangkan. Ditambah bahan makanan terus mengalami harga yang tidak stabil, sehingga sulit bagi masyarakat bawah untuk memperoleh makanan bergizi.
Realita hari ini, banyak makanan dan minuman viral yang beredar di masyarakat mengandung kadar gula yang tinggi, yang tidak sesuai dengan angka kecukupan gizi. Selain itu, banyak juga produk makanan yang ditambah dengan campuran bahan kimia yang tentu akan berbahaya bagi tubuh. Tren pola makan seperti ini sudah menjadi konsumsi sehari-hari oleh masyarakat kita, termasuk anak-anak. Ditambah lagi, Kebanyakan anak pada hari ini tidak suka dengan makanan real food (makanan asli atau makanan alami yang minim proses). Akhirnya, tidak sedikit para orangtua memberikan makanan yang disukai oleh anak, sekalipun itu tidak bergizi.
Pola konsumsi yang tidak sehat tentu tidak terlepas dari budaya konsumtif dan permisif yang mengikuti tren. Pola konsumtif menjadi tren karena sistem yang mengatur kehidupan saat ini adalah kapitalisme sekularisme yakni memisahkan peran agama dengan kehidupan. Sehingga, membuat masyarakat tidak mengaitkan pola konsumsinya sesuai syariat. Alhasil, para konsumen hanya berpikir bagaimana bisa menikmati dan mengikuti tren makanan yang viral, tanpa memperhatikan halal dan thayyib (baik untuk tubuh dan kesehatan manusia).
Sementara itu, para produsen makanan juga hanya memikirkan keuntungan semata. Uang menjadi tujuan utama dari proses produksi. Hal ini sangat wajar dalam sistem kapitalisme-sekularisme yang asas dari sistemnya adalah manfaat. Pertimbangan untung dan rugi menjadi prioritasnya. Para produsen saat ini abai dengan aspek kesehatan dan keamanan pangan untuk masyarakat, termasuk anak-anak. Alhasil, Makanan dan minuman yang tren saat ini tidak sesuai dengan konsep makanan halal dan tayib.
Di sisi lain, negara juga abai dalam menentukan standar keamanan pangan dan abai dalam memberikan jaminan keberadaan makanan yang halal dan tayib bagi rakyatnya. Negara dalam sistem kapitalis sekularisme terbukti tidak mampu melindungi dan mengedukasi rakyatnya dari makanan yang mengandung bahan pengawet yang tidak sehat, bahaya gula dan lain-lain. Tayangan iklan di televisi juga tidak memberikan edukasi pada masyarakat, melainkan semuanya hanya bersifat komersil semata. Alhasil, banyak masyarakat bahkan anak-anak yang menjadi korban tren makanan tidak sehat ini.
Kebebasan dalam regulasi produksi makanan dan minuman tanpa memperhatikan faktor kesehatan merupakan dampak dari ekonomi kapitalis. Sebab di dalam ekonomi kapitalis, keuntungan menjadi target utama, sehingga aspek kesehatan dan keamanan pangan sering diabaikan. Fenomena ini sangat memprihatinkan bagi kaum Muslimin karena banyak produk yang tidak memenuhi halal dan thayyib, sehingga bertentangan dengan syariat Islam.
Hal ini tidak mengherankan, sebab terjadi di negara yang menerapkan sistem Kapitalisme. Sistem yang menjunjung materi dan manfaat di atas segala-galanya, menjadikan masyarakat sebagai jalan untuk meraup untung sebesar-besarnya.
Namun, seperti inilah konsekuensi penerapan sistem produk akal. Landasannya yang lemah akan melahirkan kebijakan yang lemah pula. Sehingga kesejahteraan menjadi hal yang mustahil apabila sistem ini terus diterapkan.
Berbeda dengan kapitalisme, Islam mengatur seluruh aspek kehidupan. Dari hal terkecil hingga yang paling besar. Perihal makanan, Islam memerintahkan manusia untuk mengonsumsi makanan halal dan tayib. Allah berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat 168 yang artinya,
"Wahai manusia, makanlah sebagian (makanan) di bumi yang halal lagi baik dan janganlah mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya ia bagimu merupakan musuh yang nyata."
Makan merupakan kebutuhan tubuh manusia yang mesti dipenuhi. Sebab jika tidak, dapat menyebabkan bahaya pada tubuh. Namun, pemenuhan kebutuhan tubuh juga harus sesuai dengan aturan Islam.
Islam memiliki sejumlah mekanisme untuk melindungi umat dari makanan haram. Pertama, membangun kesadaran umat Islam akan pentingnya memproduksi dan mengonsumsi produk halal. Negara akan menanamkan pemahaman pada kaum Muslim bahwa tabiat dan karakter kaum Muslim adalah hanya mengonsumsi barang atau makanan halal dan thayyib sebagai tanda keimanan kepada Allah Ta'ala.
Kedua, mengadakan regulasi serta melakukan pengawasan dan penegakan hukum yang tegas terhadap para pelaku usaha yang melanggar ketentuan. Partisipasi masyarakat juga sangat dibutuhkan dalam membantu mengontrol kehalalan berbagai produk yang beredar. Ketiga, negara wajib mengambil peran sentral dalam pengawasan mutu dan kehalalan makanan.
Negara harus memberikan sanksi kepada kalangan industri yang menggunakan cara dan zat haram, apalagi sampai memproduksi makanan haram lalu memperjualbelikannya kepada umat Muslim. Seorang Muslim yang sengaja mengonsumsi makanan haram pun akan dikenai sanksi sesuai syariat yang berlaku.
Jaminan mengonsumsi makanan halal dan tayib tidak dapat dilakukan oleh individu semata. Individu butuh peran institusi besar yang mampu menjamin peredaran makanan di masyarakat. Aturan dengan penerapannya yang tegas, akan mencegah terjadinya peningkatan masyarakat mengidap penyakit berbahaya, seperti gagal ginjal pada generasi.
Memang sudah semestinya negara bergerak seutuhnya untuk kepentingan rakyat. Dengan landasan akidah Islam, negara tegas terhadap penerapan aturan yang merupakan aturan rabbani. Negara tidak akan berlaku sewenang-wenang, sebab memahami betul tugasnya sebagai pengurus dan pelindung umat.
Hal ini tentu tidak didapati pada negara yang menerapkan sistem Kapitalisme. Hanya negara Islam yang mampu mewujudkan kesejahteraan di tengah-tengah masyarakat. Dan sudah menjadi kewajiban bagi setiap muslim untuk memperjuangkan kembali negara dengan penerapan Islam kaffah.
Wallahu a'lam.