| 100 Views

Fenomena FOMO, Tren Baru di Sistem Liberal Kapitalis

Oleh: Huda Reema Naayla

Anggota Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok 

Guys guys, siapa di sini yang enggak mau ketinggalan fenomena atau tren terbaru, coba dong angkat tangannya setinggi mungkin hihi. Fenomena tidak ingin tertinggal tren atau FOMO yang lagi marak di kalangan masyarakat lho. Mulai dari tua muda, laki-laki perempuan, anak-anak hingga orang tua semua turut serta meramaikannya. Eh tapi ada yang tahu enggak nih FOMO singkatan dari apa, ternyata FOMO merupakan singkatan dari Fenomena Fear of Missing Out atau perasaan takut ketinggalan momen atau hal-hal baru.

Akhir akhir ini jagat maya sedang dihebohkan dengan tren yang aktif di kalangan Gen Z ini. Seperti yang dilansir Money.kompas.com, (11/10/2024), tingkat adopsi layanan financial technology (fintech) oleh kalangan muda, milenial (kelahiran 1981 sampai 1996) dan generasi Z (kelahiran 1997 sampai 2012), terus meningkat. Berdasarkan laporan Lokadata.id, (10/10/2024), sebanyak 78 persen masyarakat generasi milenial dan Gen Z telah menggunakan aplikasi fintech setiap harinya, termasuk dompet digital, layanan pinjaman, dan pembayaran digital. 

Waduh ternyata luar biasa sekali ya Gen Z ini, belum lagi dilansir dari kumparan.com, (12/9/2024), Gen Z juga sering terjebak dalam siklus perbandingan sosial yang konstan, yang tidak hanya mengganggu kesehatan mental tetapi juga kualitas komunikasi. Kecemasan akan tertinggal dalam perbincangan, tren, atau kegiatan populer membuat mereka lebih banyak menghabiskan waktu di media sosial, yang pada akhirnya mengurangi komunikasi tatap muka atau interaksi nyata yang lebih substansial. 

Ternyata dampak negatif dari FOMO tidak kalah menyeramkannya lho guys, dilansir dari kompas.com, (21/9/2024), seseorang yang FOMO dapat menggadaikan harga dirinya, keluarga, juga bangsanya untuk mendapatkan hal yang sedang tren. FOMO juga dapat berdampak buruk jika seseorang melakukannya dengan cara yang melanggar hukum. Dampak negatif FOMO lainnya diungkapkan oleh Sosiolog Sunyoto Usman, bahwa FOMO dapat membuat seseorang menjadi narsistik. 

Tidak kalah ramainya, maraknya pembelian boneka labubu hingga menjamur seantero dunia membuat Gen Z merasa cemas bila belum kesampaian untuk membelinya. Seperti yang dilansir dari jawapos.com, (11/10/2024), ”demam” Labubu yang menyerbu masyarakat, sosiolog Universitas Airlangga Nur Syamsiyah SSosio MSc mengatakan, daya tarik produk populer sering kali terletak pada nilai eksklusivitas, keterbatasan produksi, dan keterkaitannya dengan budaya pop yang memiliki basis penggemar. Sebagaimana diketahui, boneka Labubu menjadi begitu booming setelah idol K-pop Lisa Blackpink memamerkannya di media sosial. 

Fenomena Fear of Missing Out (FOMO) telah mencerminkan dampak besar interaksi berbasis teknologi terhadap psikologi dan perilaku komunikasi individu, terutama di kalangan remaja dan dewasa muda. Tentu dampak yang diciptakan tidak main-main seperti kecemasan, merasa tertinggal bahkan tidak sedikit yang merasa malu karena belum bisa mengikuti tren yang tengah ramai ini. Namun, perlu diketahui bahwa FOMO bukan gaya hidup yang lahir dari Islam, tapi tren baru di sistem liberal kapitalis.

Perlu diketahui juga, akar munculnya gaya hidup FOMO adalah sistem liberal kapitalis demokrasi. Sistem rusak ini, membuat para Gen Z bergaya hidup bebas, hedonistik, konsumerisme dan materialistik. Semua kesenangan dunia sesaat mendominasi dan menjadi prioritas utama. Di sini, para Gen Z tidak lagi memandang apakah tren ini termasuk dalam kebutuhan atau keinginan. Sehingga tidak sedikit yang merasa lebih baik FOMO daripada harus fokus sekolah. 

Akibatnya terjadi pengabaian potensi Gen Z untuk berprestasi dan berkarya yang lebih baik, serta menghalangi potensinya sebagai agen perubahan menuju kebaikan. Apalagi regulasi dalam sistem hari ini tidak memberikan perlindungan bagi Gen Z, namun justru menjerumuskannya pada lingkaran materiaslistik melalui sosial media yang menciptakan gaya hidup FOMO. 

Sejatinya hal ini sudah dirasakan oleh banyak pihak namun masih juga banyak yang tidak sadar dan cenderung menikmatinya. Sehingga kita memerlukan langkah tegas agar kalangan Gen Z tidak semakin terjerumus dan terbuai begitu saja. Hawa nafsu seperti ini hanya bisa diarahkan dengan sistem Islam. 

Islam memandang pemuda memiliki potensi luar biasa dan kekuatan yang dibutuhkan umat terlebih sebagai agen perubahan menuju kebangkitan Islam. Islam memiliki sistem terbaik untuk melejitkan potensi Gen Z, mengarahkan hidupnya sesuai dengan tujuan penciptaan dan mempersembahkan karya terbaik untuk umat dan Islam. Potensi ini dibutuhkan untuk membangun kembali peradaban gemilang yang pernah dicapai umat Islam pada masa lalu dalam naungan sistem kepemimpina Islam.


Share this article via

79 Shares

0 Comment